Kisah WNI Korban Banjir Australia Bertahan di Atap Rumah
- abc
Katie Suhartoyo dan suaminya yang berasal dari Indonesia, Yoyok Hendrix, sudah tak asing lagi dengan banjir yang kerap melanda Kota Lismore, Australia.
"Kami tinggal di Lismore yang sering kena banjir. Jadi kita semua sebenarnya merasa siap karena pada tahun 2017 sudah pernah banjir besar juga," kata Katie kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.
Merasa aman dan siap, Katie bersama dua anaknya pun pergi ke rumah ibunya di bagian lain kota itu dan membiarkan Yoyok bersama anjing mereka bertahan di rumahnya.
Rumah pasangan suami-istri ini terletak di Jalan Molesworth Street, dekat dengan sungai namun berada di bagian yang agak tinggi. Rumahnya punya tiang sehingga ada kolong di bagian bawah.
Lismore merupakan kota di New South Wales utara yang berbatasan dengan Queensland. Lokasinya lebih dekat ke Brisbane daripada ke Sydney.
Saat banjir besar di tahun 2017, ketinggian air di kolong rumah Katie dan Yoyok sekitar 1 meter dari lantai.
Tapi ternyata keadaan banjir yang menerjang rumah mereka tahun ini "benar-benar mengerikan sekali".
Katie mengatakan beberapa kali ada peringatan pada jam 11 malam dari SES, menanyakan apakah Yoyok aman tinggal di rumah.
"Dia dibolehkan tinggal tapi dipastikan siap dan aman, selain itu di luar banyak jalan yang sudah terputus," katanya.
Yoyok dan Katie bahkan masih sempat telepon-teleponan, listrik dan air pun masih menyala.
"Tapi kemudian datang angin besar dan hujannya deras sekali. Yoyok baru tidur sekitar jam 2 malam," ujar Katie.
Harus mengungsi ke atap rumah
Yoyok terbangun pukul setengah enam pagi setelah ditelepon oleh ibu mertuanya. Saat dia bangun, air sudah masuk ke dalam rumahnya.
"Kalau ibuku tidak membangunkan dia, bisa hanyut kemana Yoyok, kita tak tahu," ujar Katie.
"Terus dia keluar melihat air sudah naik di rumah, di jalan, air mengalir cepat sekali. Seperti sungai yang benar-benar marah," katanya.
Katie langsung menelepon SES namun tidak ada yang mengangkat. Akhirnya ibunya menelepon 000 yang diarahkan ke Sydney dan mereka menyuruh Yoyok naik ke atap.
Yoyok terlebih dahulu melempar anjingnya ke atap, lantas dia loncat ke dalam banjir dan mencoba menggapai atap tetangganya.
"Yoyok berada di atas atap dari sekitar jam 6 pagi sampai tengah hari," ujar Katie.
Saat itu, situasi banjir di sana masih sangat deras, sehingga regu penyelamat juga belum ada yang dibolehkan masuk.
"Saya khawatir karena kalau SES tak bisa, lantas siapa yang bisa menyelamatkan suami saya?" kata Katie.
Apalagi, telepon Yoyok juga sudah mati juga karena basah.
Untungnya, kata Katie, tiba-tiba ada anak tetangga mereka yang datang membawa perahu sendiri.
"Dia menyelamatkan ibunya dulu terus mutar di jalan rumah kami, ambil tetangga yang lain dan jemput Yoyok juga," jelasnya.
Mereka menyeberangi jalan yang sudah menjadi sungai. Meski menggunakan mesin, perahunya tetap sulit bergerak karena airnya begitu deras.
Setelah mengambil seorang tetangga, mereka mendatangi rumah seorang ibu yang terjebak di dalam rumah.
"Airnya naik sudah sampai ke leher. Dia membawa ember yang berisi kucing piaraannya," jelas Katie.
Untuk menolong ibu itu, Yoyok harus memecahkan kaca rumahnya sebelum mereka mengangkatnya ke atas perahu.
"Jadi di atas perahu itu ada sembilan orang manusia, seekor anjing dan seekor kucing," ujar Katie.
"Saat Yoyok tiba di rumah ibuku, ibuku yang umur 80 tahun hampir pingsan, tapi Yoyok malah joget-joget... dasar orang Indonesia," tutur Katie seraya tertawa.
Sementara itu, ABC News melaporkan pada Rabu (02/03) siang bahwa ada empat korban meninggal akibat banjir di Lismore, sebelah utara New South Wales (NSW) yang berbatasan dengan Queensland.
Korban keempat adalah seorang pria berusia 70-an ditemukan jasadnya di sebuah apartemen.
Korban ketiga juga seorang pria yang jasadnya ditemukan mengapung di genangan air di jalan utama Kota Lismore pada Rabu (02/03) pagi.
Sebelumnya jasad dua adalah perempuan berusia 80-an tahun ditemukan oleh petugas di South Lismore dan di Lismore kemarin.
Banjir surut, tapi warga Queensland terbentur tantangan baru
Sementara itu, warga Indonesia di Queensland sudah mulai melihat titik terang dari bencana banjir yang dialami mereka dua hari terakhir ini.
Adlan Bagus Pradana, misalnya, pagi hari ini (02/03) sudah mulai bisa memasuki rumahnya di St Lucia, Queensland, yang sebelumnya terendam banjir setinggi hampir dua meter.
Mahasiswa S3 University of Queensland yang tadinya mengungsi di penampungan tersebut namun harus membersihkan lumpur yang memenuhi rumahnya.
Tantangan lain yang memberatkan Adlan dan beberapa warga lain adalah bagaimana mereka harus segera mencari tempat tinggal baru di tengah banyaknya orang yang terdampak.
"Kan rumah yang kami tempati dan terendam banjir mau direnovasi, jadi kami harus mencari tempat baru," kata Adlan.
"Sementara yang menghadapi masalah itu kan enggak cuma kami, semua juga mencari tempat baru, jadi kayak berebut begitu [dan] cepat-cepat barang harus dikeluarkan atau nanti dibuang."
Walau demikian, Adlan bersyukur karena uluran tangan dari warga Indonesia di Queensland tidak pernah berhenti diterimanya selama di penampungan.
"Saya akui solidaritas orang Indonesia di luar negeri itu mantap lah," ujar Adlan yang menerima bantuan dari IMCQ dan beberapa warga Indonesia lainnya.
"Kita sampai masalah makanan sampai minggu depan itu sudah ada yang supply [menyediakan] terus … masyarakat Indonesia menyediakan baju, selimut, dan macam-macam."
Menteri Utama Queensland Annastacia Palaszczuk mengatakan negara bagian tersebut belum selesai menghadapi bencana dengan masih adanya imbauan waspada banjir bagi beberapa wilayah di sebelah tenggara.
"Kemungkinan akan ada petir yang sangat berbahaya disertai hujan es raksasa, angin kencang, dan hujan deras hari Kamis siang dan malam besok," ujarnya.
"Jadi saya meminta warga di tenggara untuk menyimak radio, media, dan Badan Meterologi. Ada kekhawatiran muncul petir yang sangat berbahaya."