Cerita Rasisnya Orang Ukraina ke Pengungsi Non Kulit Putih
- tvonenews.com/Associated Press
VIVA – Rusia terus menggempur habis-habisan sejumlah kota-kota besar di Ukraina. Akibat situasi tersebut sejumlah penduduk yang sebelumnya bertahan harus mengungsikan diri ke sejumlah negara di sekitar Ukraina.
Dikutip dari Aljazeera, Kamis 3 Maret 2022, dijelaskan bahwa para pengungsi mulai meninggalkan kota Kharkiv, sebuah kota di timur laut Ukraina yang saat ini telah dibombardir Rusia.
Dalam penjelasannya, para pengungsi tak mudah mendapatkan perlakukan baik dari otoritas setempat. Khususnya bagi para pengungsi non warga asli Ukraina dan warga non kulit putih.
Baca juga: Tak Ikut Jatuhkan Sanksi, China: Aksi Rusia ke Ukraina Bukan Invasi
Hal itu diungkapkan oleh Ayoub (25 tahun), seorang mahasiswa farmasi Maroko yang telah enam tahun berada di Ukraina dan telah membangun kehidupan yang ia banggakan di Kharkiv, sebuah kota di timur laut negara itu.
Ayoub telah belajar bahasa Rusia, yang digunakan secara luas di kota berpenduduk 1,4 juta jiwa. Selain itu, ia juga mempelajari budaya Ukraina, dan berteman dengan warga dari seluruh dunia.
Dia dijadwalkan lulus dalam tiga bulan ke depan, tetapi invasi Rusia ke Ukraina telah memaksanya untuk melarikan diri dari negara itu, dan mengeksposnya ke tingkat rasisme yang belum pernah dia alami sebelumnya.
Awalnya, Ayoub berencana untuk menunggu invasi di Kharkiv, berharap serangan Rusia akan berhenti. Tetapi kemungkinan itu tampaknya semakin tidak mungkin, sehingga dia bergabung dengan teman-teman sekelasnya untuk melakukan perjalanan panjang melintasi negara itu ke perbatasan Polandia.
Namun, di Lviv, sebuah kota 80 kilometer dari perbatasan Polandia, Ayoub bersama dengan siswa internasional non-kulit putih lainnya dihentikan oleh penjaga Ukraina.
“Mereka ingin orang Ukraina duluan, jadi orang kulit putih yang mendapat prioritas. Sopir taksi juga menagih kami uang gila, tapi saya pikir akan selalu ada oportunis, bahkan dalam perang. Tidak sampai saya mencapai salah satu 'pos pemeriksaan' pada pendekatan ke perbatasan Polandia, saya benar-benar didorong mundur dan disuruh menunggu,” katanya kepada Al Jazeera.
Tak hanya itu, Ayoub menjelaskan setelah lama menunggu akhirnya dia dan teman-temannya berpindah dan memutuskan untuk mencoba menyeberang ke Hongaria, di mana akhirnya tiba pada Rabu lalu.
Namun, ketika dirinya berbicara dengan para penjaga dalam bahasa Rusia, mereka mengatakan kepadanya bahwa Ayoub harus berbicara bahasa Ukraina dan mempertanyakan di pihak siapa saya berada.
Perlu diketahui, Universitas di seluruh Ukraina telah menarik mahasiswa internasional karena pendidikan berkualitas tinggi yang ditawarkan dengan biaya yang relatif rendah, berkisar antara US$4.000-US$5.000 setahun.
Siswa dari negara-negara seperti India, Nigeria, dan Maroko telah membantu menjadikan Kharkiv kota universitas yang dinamis dan telah berkontribusi pada ekonomi lokal. Banyak yang tetap tinggal di Ukraina setelah lulus dan bekerja di rumah sakit dan bisnis negara itu.
Tetapi beberapa siswa internasional mengatakan sekolah mereka tidak menawarkan bantuan untuk meninggalkan negara itu ketika pasukan Rusia melancarkan invasi.
“Tidak ada yang membantu kami untuk pergi atau mengatur apa pun, kami hanya dibiarkan sendiri,” kata Deborah, seorang siswa berusia 19 tahun dari Nigeria utara.
“Teman-teman saya pergi ke perbatasan Polandia dan diperlakukan dengan buruk oleh penjaga Ukraina. Bukan hanya orang kulit hitam seperti saya, siapa pun yang tidak berkulit putih,” ujarnya.