Sri Lanka Krisis Ekonomi dan Utangnya ke China Menumpuk
- bbc
"Harga tabung gas untuk memasak naik hampir dua kali lipat dan kami tidak mampu membelinya lagi," kata Niluka Dilrukshi.
Ibu empat anak berusia 31 tahun ini selalu memasak dengan gas untuk menyiapkan makanan bagi keluarganya, tetapi kayu bakar adalah satu-satunya pilihan.
"Dulu setiap hari saya memasak ikan dan sayuran buat anak-anak saya. Sekarang mereka hanya bisa makan sayuran dan nasi," katanya. "Dulu kami makan tiga kali sehari, sekarang kadang-kadang kami hanya mampu makan dua kali."
Dilrukshi dan keluarganya tinggal di pinggiran Kolombo, Sri Lanka. Suaminya adalah buruh harian tetapi melonjaknya harga kebutuhan pokok, terutama makanan, membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan.
Selama empat bulan terakhir, harga tabung gas standar melonjak sekitar 85%, dari US$7,50 (sekitar Rp107.000) menjadi US$13,25 (sekitar Rp189.000)
Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Cadangan devisanya turun menjadi sekitar US$1,6 miliar (sekitar Rp 22,8 triliun) pada akhir November, hanya cukup untuk membayar impor selama beberapa minggu.
Utang ke China pun menumpuk hingga melampaui US$5 miliar (Rp71,7 triliun) untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.
Akibatnya, pemerintah terpaksa membatasi impor beberapa komoditas penting, termasuk bahan makanan, untuk mempertahankan cadangan dolar vitalnya. Langkah ini, ditambah dengan meningkatnya harga bahan bakar dan angkutan, membuat harga kebutuhan pokok seperti susu bubuk dan beras jauh lebih tinggi.
Biaya hidup yang meroket bukan hanya masalah bagi Sri Lanka. Beberapa negara lain di Asia, seperti India dan Pakistan, juga sedang berjuang melawan lonjakan inflasi.
Situasinya sangat genting di Sri Lanka, karena negara itu sangat bergantung pada impor luar negeri untuk memberi makan penduduknya. Industri susu di negara itu, misalnya, tidak dapat memenuhi permintaan lokal sehingga mengimpor susu bubuk.
Situasi di pasar
Namun di pasar induk sayur-mayur di Kolombo, puluhan pemilik toko menjual banyak persediaan wortel, bit, daun kari, dan sayuran lainnya. Banyak pembeli secara terbuka mengeluh tentang harga yang melonjak dan menawar habis-habisan untuk mendapatkan harga yang lebih murah atau membeli dalam jumlah yang sangat terbatas.
"Dengan gaji bulanan kami saat ini, kami hanya bisa bertahan selama dua minggu karena harga-harga naik. Kami tidak punya harapan untuk masa depan. Harga beras juga naik. Ada antrean panjang di luar toko-toko milik pemerintah," kata salah satu pembeli bernama Swarna.
Pemintaan tinggi terhadap beberapa bahan makanan pokok membuat harga makanan Sri Lanka meningkat dengan rekor 21,1% bulan lalu, dibandingkan dengan waktu yang sama di tahun sebelumnya.
Sementara itu, kenaikan 12,5% harga susu bubuk membuat asosiasi pemilik kafe memutuskan untuk menghentikan penjualan menu populer, seperti teh susu. Mereka mengatakan teh susu hanya akan ditawarkan sesuai permintaan, dengan harga yang lebih tinggi.
"Warga Sri Lanka cukup sensitif terhadap inflasi harga pangan. Kami melihat sudah ada banyak sentimen negatif terkait kendala tersebut," kata Deshal de Mel, ekonom lembaga Verité Research. "Menurut saya, hal itu mungkin mendekati titik yang tidak bisa toleransi jika kenaikan harga ini terus terjadi."
Baca juga:
Tepat sebelum Tahun Baru, pemerintah berhasil meningkatkan cadangan devisa menjadi US$3,1 miliar (sekitar Rp44,3 triliun) yang didapatkan dari pengaturan pertukaran mata uang.
Namun total utang luar negeri Sri Lanka diperkirakan lebih dari US$45 miliar (sekitar Rp643 triliun) dan perlu mencari lebih dari US$6 miliar (sekitar Rp85,8 triliun) tahun ini untuk membayar utang. Sri Lanka bukan satu-satunya negara yang berada di posisi ini, Pakistan dan Maladewa juga diperkirakan menderita.
Pandemi dan meningkatnya biaya bahan bakar global menambah kesengsaraan Sri Lanka. Pendapatan terbesar negara itu berasal dari pariwisata, tapi pandemi melumpuhkannya karena penerbangan internasional dihentikan.
Sri Lanka memperoleh hampir US$4 miliar (sekitar Rp57,2 triliun) dari pariwisata pada 2019. Jumlah itu turun 90% karena pandemi.
Pemerintah mengatakan pilihannya terbatas.
"Kami harus membatasi impor karena tekanan pada transaksi berjalan dan juga defisit perdagangan terus meningkat karena situasi pandemi. Namun sebagai pemerintah yang bertanggung jawab, kami harus mengelolanya," kata Menteri Shehan Semasinghe kepada BBC.
Pihak oposisi protes atas kenaikan biaya hidup. "Situasi ini sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Kami hidup di luar kemampuan kami. Kami menyerap lebih dari yang kami hasilkan," kata Harsha De Silva, seorang anggota parlemen oposisi dan mantan menteri reformasi ekonomi.
Untuk menenangkan kemarahan publik yang meningkat karena kenaikan biaya hidup, baru-baru ini pemerintah mengumumkan paket bantuan US$1 miliar (sekitar Rp14,3 triliun), termasuk kenaikan gaji dan pensiun untuk pegawai pemerintah. Bantuan itu juga termasuk penghapusan pajak atas beberapa makanan dan obat-obatan, dan secara bersamaan mengumumkan bantuan bagi warganya yang paling miskin.
Hal tersebut dilakukan untuk mengimbangi harga minyak global yang tinggi, yang membuat biaya rata-rata pengiriman kontainer standar dari Eropa ke Asia meningkat dari sekitar US$2.000 (sekitar Rp28,6 juta) pada 2020, menjadi lebih dari US$10.000 (sekitar Rp143 juta) tahun lalu.
Badan PBB, Unctad, baru-baru ini memperingatkan pemulihan ekonomi global terancam oleh tarif angkutan yang tinggi. Unctad memperkirakan negara-negara kepulauan kecil seperti Sri Lanka, yang bergantung pada pengiriman melalui laut, kemungkinan akan mengalami dampak terbesar akibat lonjakan harga impor.
Kenaikan harga bahan bakar dan energi memiliki efek cascade pada harga grosir dengan biaya transporter yang meningkat. Di India, inflasi berbasis harga grosir tahunan mencapai titik tertinggi sepanjang masa sebesar 14,2% pada November lalu.
Sementara di Pakistan, inflasi harga konsumen naik menjadi 12,3% pada Desember, tertinggi dalam hampir dua tahun. Kenaikan harga bahan bakar dituding sebagai biang keladi kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya.
Data terbaru Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan indeks harga pangan global pada 2021 rata-rata 28% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
"Biaya input yang tinggi, pandemi global yang sedang berlangsung, dan kondisi iklim yang semakin tidak menentu hanya menyisakan sedikit ruang optimisme tentang kembalinya kondisi pasar yang lebih stabil, bahkan pada 2022," kata ekonom senior FAO Abdolreza Abbassian.
Sementara itu, di Kolombo, orang-orang seperti Dilrukshi, yang sekarang hidup sebagai pencari nafkah, khawatir jika harga lokal naik sedikit lebih saja, mereka bakal kesulitan menjaga kayu bakar tetap menyala di dapurnya.