Obituari: Desmond Tutu Pastor Humoris yang menginspirasi Dunia

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Desmond Tutu adalah pastor Afrika Selatan yang murah senyum dan kepribadiannya yang kuat membuatnya mempunyai banyak teman dan pengagum di seluruh dunia.

Saat Desmond Tutu berpulang pada usia 90 tahun, sehari setelah Natal, para pemimpin dunia menyampaikan penghormatan kepada sosoknya yang dianggap sebagai salah seorang pahlawan gerakan menentang apartheid di Afrika Selatan.

Presiden AS Joe Biden mengatakan dirinya bersama istri mengagumi keberanian dan kejelasan moral mantan Uskup Agung Cape Town itu.

Getty Images
Desmond Tutu sangat mengagumi Nelson Mandela, tetapi tidak selalu setuju dengannya dalam isu-isu seperti penggunaan kekerasan demi mengejar keadilan.

Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut Tutu sebagai sosok yang besar bagi perdamaian dan inspirasi berbagai generasi.

Adapun pemimpin Tibet di pengasingan, Dalai Lama mengatakan Desmond Tutu adalah inspirasi bagi dunia.

Yayasan Nelson Mandela menggambarkan Tutu sebagai manusia luar biasa yang menjadi pemikir, pemimpin dan penggembala.

Dilahirkan di kota kecil penghasil emas yang dulu dikenal sebagai Transvaal, Desmond Mpilo Tutu dilahirkan pada tahun 1931.

Sebagai pemuka gereja berkulit hitam yang terkenal, ia akhirnya terseret ke pusaran perjuangan menentang kekuasaan kelompok minoritas kulit putih tetapi selalu menegaskan bahwa motifnya berlatar belakang agama, bukan politik.

Pemimpin Afrika Selatan Nelson Mandela mengangkatnya sebagai ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk untuk menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh kedua kubu selama era apartheid.

Baca juga:

 

 

Tutu juga disebut sebagai sosok yang membuat istilah Rainbow Nation atau Bangsa Pelangi untuk menggambarkan keragaman etnik pasca-apartheid di Afrika Selatan.

Pada awalnya ia mengikuti jejak ayahnya sebagai guru, tetapi meninggalkan kariernya setelah pengesahan Akta Pendidikan pada 1953 sebagai landasan aturan segregasi rasial di sekolah-sekolah.

Ia masuk ke lingkungan gereja dan sangat dipengaruhi oleh banyak pendeta kulit putih di Afrika Selatan, khususnya sosok lain yang juga menentang keras sistem apartheid, Uskup Trevor Huddleston.

 

Getty Images
Tutu (kanan) dengan sesama anggota staf Sekolah Tinggi Pretoria Bantu pada 1961.

 

Ia menjabat sebagai uskup Lesotho dari 1976-78, asisten uskup Johannesburg, dan rektor sebuah paroki di Soweto, sebelum diangkat sebagai uskup Johannesburg.

Sebagai seorang dekan, dia pertama kali mulai bersuara menentang ketidakadilan di Afrika Selatan dan sejak 1977 serta seterusnya sebagai Sekretaris jenderal Dewan Gereja Afrika Selatan.

Tampil sebagai sosok terkenal sebelum pemberontakan 1976 di kota-kota kulit hitam, persisnya pada bulan-bulan sebelum kekerasan Soweto, dia pertama kali dikenal oleh warga kulit putih Afrika Selatan sebagai juru kampanye untuk reformasi.

 

Menyelamatkan tersangka informan polisi

 

Atas upayanya itu membuatnya dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 1984 dalam apa yang dipandang sebagai penghinaan besar oleh komunitas internasional terhadap penguasa kulit putih Afrika Selatan.

Penobatan Desmond Tutu sebagai Uskup Agung Cape Town dihadiri oleh Uskup Agung Canterbury saat itu, Dr Robert Runcie, dan janda Martin Luther King.

Baca juga:

 

 

Sebagai kepala Gereja Anglikan di Afrika Selatan, da terus aktif berkampanye melawan apartheid. Pada Maret 1988, dia menyatakan: "Kami menolak diperlakukan sebagai keset bagi pemerintah untuk membersihkan sepatu botnya."

Enam bulan kemudian, dia mempertaruhkan kemungkinan dipenjara lantaran menyerukan boikot pemilihan tingkat kota.

Dia terjebak dalam tembakan gas air mata pada Agustus 1989, ketika polisi mengambil tindakan terhadap orang-orang yang meninggalkan gereja di sebuah kota kecil dekat Cape Town, dan bulan berikutnya, dia ditangkap setelah menolak untuk meninggalkan rapat umum yang dilarang.

 

Getty Images
Dia sering berkunjung ke pelosok dan sudut kota, dan sering di bawah pengawasan petugas kepolisian.

 

Sebagai uskup agung, seruannya untuk sanksi hukuman terhadap Afrika Selatan menyentuh seluruh dunia, terutama karena dibarengi dengan kecaman total atas aksi-aksi kekerasan.

Pada 1985, Tutu dan uskup lainnya dengan berani dan dramatis menyelamatkan seorang tersangka informan polisi ketika dia diserang dan akan dibakar sampai mati oleh massa yang marah di sebuah kota kecil di sebelah timur kota utama Afrika Selatan, Johannesburg.

Para pendeta menghalau massa dan menolong sang pria yang setengah sadar dan berdarah-darah, sesaat sebelum ban yang disiram bensin di lehernya dibakar.

Tutu kemudian kembali menegur para penyerang pria itu, dan mengingatkan mereka tentang "perlunya menggunakan cara benar dan adil demi perjuangan yang benar dan adil".

Tutu menyambut hangat reformasi liberalisasi yang diumumkan oleh Presiden FW de Klerk tidak lama setelah ia menjabat.

Upaya itu termasuk pencabutan larangan Kongres Nasional Afrika (ANC) dan pembebasan Nelson Mandela pada Februari 1990.

Segera setelah itu, Tutu mengumumkan larangan pendeta bergabung dengan partai politik, yang dikutuk oleh gereja-gereja lain.

 

Tentang Israel dan Palestina

 

Dia tak pernah takut untuk menyuarakan pendapatnya.

Pada April 1989, ketika dia pergi ke Birmingham di Inggris, dia mengkritik apa yang dia sebut bahwa Inggris merupakan "dua negara", dan mengatakan ada terlalu banyak orang kulit hitam di penjara negara itu.

Kemudian dia membuat marah warga Israel ketika, selama ziarah Natal ke Tanah Suci, dia membandingkan orang kulit hitam Afrika Selatan dengan masyarakat Arab di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki.

Dia mengatakan dia tidak dapat memahami bagaimana orang-orang yang telah menderita seperti orang-orang Yahudi, dapat menimbulkan penderitaan seperti itu pada orang-orang Palestina.

 

Getty Images
Terperangkap dalam serangan gas air mata setelah menghadiri sebuah pertemuan anti-apartheid.

 

Desmond Tutu sangat mengagumi Nelson Mandela, tetapi tidak selalu setuju dengannya dalam isu-isu seperti penggunaan kekerasan demi mengejar keadilan.

Pada November 1995, Mandela, yang saat itu menjadi presiden Afrika Selatan, meminta Tutu untuk mengepalai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan tugas mengumpulkan bukti kejahatan era apartheid dan merekomendasikan apakah orang yang mengaku terlibat harus menerima amnesti.

Di akhir penyelidikan komisi, Tutu menyerang mantan pemimpin kulit putih Afrika Selatan, dengan mengatakan sebagian besar dari mereka berbohong dalam kesaksian mereka.

Komisi juga menuduh ANC melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama perjuangannya melawan apartheid. Kedua belah pihak menolak laporan tersebut.

 

Berurai air mata

 

Tutu sering diliputi kepedihan terhadap mereka yang menderita di bawah apartheid dan, pada lebih dari satu kesempatan, dia tak kuasa menahan tangisnya.

Dia juga menemukan banyak hal untuk dikritik dalam pemerintahan mayoritas kulit hitam baru di Afrika Selatan. Dia melancarkan serangan pedas terhadap pemerintahan ANC yang dipimpin oleh Presiden Thabo Mbeki.

Dia mengatakan ANC belum berbuat cukup untuk mengentaskan kemiskinan di antara orang-orang termiskin di negara itu dan bahwa terlalu banyak kekayaan dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan elit politik kulit hitam yang baru.

Dia kemudian mendesak Jacob Zuma, yang telah dituduh melakukan kejahatan seksual dan korupsi, agar meninggalkan bisnisnya untuk menjadi presiden.

Dia juga vokal mengutuk Robert Mugabe, yang pernah dia gambarkan bahwa presiden Zimbabwe itu sebagai "figur kartun diktator Afrika". Mugabe, pada gilirannya, menggambarkan Tutu sebagai "setan".

Dia juga bisa kritis terhadap gereja Anglikannya sendiri terutama setelah pertikaian tentang penahbisan uskup gay.

 

Pernah menjadi pemberontak

 

"Tuhan sedang menangis," dia pernah berkata ketika dia menuduh gereja membiarkan "obsesi" dengan homoseksualitas agar didahulukan ketimbang perjuangan melawan kemiskinan dunia.

Dia kembali ke persoalan kemiskinan ketika dia mengunjungi Irlandia pada 2010. Dia mendesak negara-negara Barat supaya mempertimbangkan dampak pemotongan bantuan luar negeri di tengah kemerosotan ekonomi.

 

Getty Images
Tutu memainkan peran penting dalam kebijakan rekonsiliasi Mandela.

 


Tutu secara resmi pensiun dari kehidupan publik pada tahun yang sama, ujarnya, dan menghabiskan lebih banyak waktu "minum teh semak merah dan menonton kriket" ketimbang berada "di bandara dan hotel".

Tetapi walau pernah menjadi pemberontak, dia muncul dalam mendukung bantuan bunuh diri pada 2014, dengan menyatakan bahwa kehidupan tidak boleh dipertahankan "dengan biaya berapa pun".

Bertentangan dengan pandangan banyak tokoh gereja, dia berpendapat bahwa manusia berhak memilih untuk mati.

Dia mengatakan sahabat karibnya dan rekan kampanye Mandela, yang meninggal pada Desember 2013, telah menderita penyakit yang lama dan menyakitkan yang menurutnya "penghinaan terhadap martabat Madiba".

Pada 2017, Tutu dengan tajam mengkritik pemimpin Myanmar dan sesama peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, dengan mengatakan "tidak sesuai untuk simbol kebenaran" memimpin negara di mana minoritas Muslim menghadapi "pembersihan etnis".

 

Getty Images
Bertemu Duchess of Sussex dan putranya Archie selama tur ke Afrika Selatan pada 2019.

 

Belakangan, dia menentang keputusan Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota resmi Israel. "Tuhan sedang menangis," demikian cuitannya di Twitter, atas tindakan "menghasut & diskriminatif" ini.

Seorang pria kecil, "The Arch", begitu ia dikenal, suka berteman dan bersemangat, memancarkan semangat kegembiraan meskipun memiliki misi yang kuat.

Dia cerdas, dan percakapannya sering diselingi oleh tawa riang.

Tapi di luar ini, Desmond Tutu adalah seorang pria dengan keyakinan moral yang kuat tanpa cela yang berusaha untuk mewujudkan Afrika Selatan yang damai.