China Tuding Negara Sekutu Five Eyes Ikut Campur Pemilu Hong Kong

Pemilu Hong Kong pekan lalu banyak disoroti karena adanya aturan yang membatasi hanya politisi pro-Beijing yang boleh menjadi caleg. (AP: Vincent Yu)
Sumber :
  • abc

Beijing menuduh Australia dan sekutunya dalam Aliansi Five Eyes telah ikut campur dalam Pemilu legislatif di Hong Kong pekan lalu.

Para caleg yang setia kepada Partai Komunitas China (PKC) berhasil memenangkan mayoritas kursi dalam Pemilu hari Minggu kemarin.

Hal ini dimungkinkan setelah UU Pemilu di Hong Kong diubah untuk memastikan bahwa hanya politik "patriot" pro-Beijing yang boleh mencalonkan diri.

Pendukung demokrasi di berbagai negara telah menyerukan pemboikotan Pemilu, dan hanya sekitar sepertiga pemilih yang datang ke TPS-TPS.

Kelompok negara-negara Five Eyes – Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru – menyatakan prihatin dengan terjadinya kemunduran demokrasi di Hong Kong.

Aliansi Five Eyes pada awalnya dibentuk sebagai jaringan berbagi intelijen tapi cakupannya telah diperluas dalam beberapa tahun terakhir.

Pernyataan aliansi ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne pada hari Senin.

"Tindakan yang merusak hak-hak, kebebasan, dan otonomi Hong Kong mengancam keinginan kita bersama untuk melihat keberhasilan Hong Kong," kata pernyataan itu.

Dikatakan, Pemilu hari Minggu telah menghentikan tren ke arah pandangan politik yang beragam di Hong Kong akibat perubahan pada sistem Pemilu yang "menghilangkan oposisi politik yang berarti."

"Sementara itu, banyak politisi oposisi terutama mayoritas 'NSL 47' berada di penjara menunggu persidangan, dan yang lainnya berada di pengasingan di luar negeri," katanya.

Kedutaan Besar China di Australia merilis kecaman keras pada hari Selasa (22/12) yang mengatakan Beijing "dengan tegas menentang dan mengutuk keras pernyataan bersama (aliansi Five Eyes)".

Kedubes China mengatakan negara-negara Fiev Eyes ini "dengan ceroboh mengabaikan fakta dan membalikkan kebenaran, ikut campur dalam urusan internal China" dalam kaitannya dengan Hong Kong.

"Pemilu ini berjalan adil, merata, terbuka, aman dan bersih. Hak-hak demokrasi pemilih dihormati dan dilindungi sepenuhnya. Pemilu didukung secara luas oleh masyarakat Hong Kong," katanya.

Kedubes China mengatakan Hong Kong adalah "Hong Kong China" dan Beijinglah yang paling tahu cara menjaga kemakmuran dan stabilitasnya.

"Fakta membuktikan sekali lagi bahwa semua upaya negara-negara tertentu untuk ikut campur dalam politik Hong Kong, dalam urusan internal China dan menghambat pembangunan China, akan sia-sia dan pasti gagal," demikian bunyi pernyataan itu.

"Dalam beberapa tahun terakhir, Australia habis-habisan melancarkan penentangannya terhadap apa yang disebut 'campur tangan asing'," katanya.

"Sementara itu, Australia terus saja mencari alasan untuk mencampuri urusan dalam negeri China. Hal ini sepenuhnya mengungkapkan sifat munafik standar ganda," tambahnya.

"China mendesak Australia untuk merenung dan berhenti merusak stabilitas dan pembangunan negara lain dengan dalih apa pun," kata Kedubes China.

Pada konferensi pers pada hari Senin, Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan "puas" dengan jumlah pemilih meskipun persentasenya terendah sejak Inggris menyerahkan Hong Kong ke China pada tahun 1997.

Di bawah UU Pemilu yang baru, jumlah politisi yang dipilih secara langsung dikurangi dari 35 menjadi 20, padahal badan legislatif justru diperluas dari 70 menjadi 90 kursi.

Sebagian besar anggota legislatif ditunjuk oleh badan-badan yang besar pro-Beijing, untuk memastikan bahwa mereka menjadi mayoritas.

Semua kandidat juga diperiksa oleh komite yang sebagian besar pro-Beijing sebelum mereka dapat dicalonkan.

Aktivis pro-demokrasi di luar negeri, termasuk Nathan Law yang berada di London, mendesak boikot Pemilu Hong Kong dengan dalih tidak demokratis.

Berdasarkan UU Pemilu yang baru, ajakan memboikot pemungutan suara atau memberikan suara yang tidak sah dapat dihukum maksimal tiga tahun penjara dan denda 200.000 dolar Hong Kong

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.