Terancam Tutup, Sejumlah Toko Roti di Australia Krisis Pekerja
- abc
Yang dijual oleh Mitchel Talbot adalah hal yang akan membuat warga Australia ingat masa kecil mereka.
Hidangan tradisional yang menjadi favorit banyak orang Australia, seperti vanila, selai kelapa, dan irisan apel, juga roti yang baru dipanggang, selalu laris terjual dalam waktu sekejap.
Pelanggan tak berhenti datang ke toko roti kecilnya di Emu Park di pantai Queensland tengah, sekitar 659 kilometer dari Brisbane.
"Ada sesuatu yang ajaib," kata Micthel, soal tokonya yang selalu laris.
Tapi keajaiban di toko rotinya yang tersebar di sejumlah kawasan mulai memudar.
Toko roti milik Mitchel adalah satu dari toko roti milik keluarga yang tersisa di Emu Park, sebuah kawasan pemukiman di tepi pantai dengan penduduk sekitar 2.300 orang.
Dia berjuang untuk menemukan asisten yang "tepat" untuk membantunya sejak membeli toko roti awal tahun ini.
Menurutnya, keterampilan membuat roti bukan lagi "sekarat, tapi sudah hilang".
"Orang-orang tidak menginginkan pekerjaan itu."
Pekerjaan membuat roti dan kue memang melelahkan.
Mulai dari jam kerja yang tidak ramah karena dilakukan di tengah malam, sampai ruangan tanpa pendingin ruangan untuk membuat roti, belum lagi oven yang panas.
Belum lagi suhu udara di Queensland saat musim panas yang bisa mencapai 40 derajat Celsius selama berhari-hari.
Tapi semua itu tidak menghalangi Mitchel, yang sudah bekerja dengan adonan sejak kecil saat ia membantu orang tuanya di toko roti milik mereka.
"Saya suka jam kerjanya. Saya pernah bekerja dengan jam kerja kantor dari jam 9 sampai jam 5, tapi tidak suka," katanya.
Bekerja di tengah malam baginya juga berarti tidak ada gangguan.
"Kita bisa melakukan apa saja yang diinginkan. Lama-lama juga akan terbiasa."
Upah jadi masalah
Yang juga menjadi masalah adalah soal upah.
Ketika Mitchel menyelesaikan magangnya menjadi tukang roti di pertengahan tahun 2000-an pendapatannya cukup bersaing dengan pekerjaan lain di Australia.
"Namun, kemudian terjadi booming di industri pertambangan dan pendapatan mereka besarnya melampaui kami," katanya.
"Kami masih bisa membayar tagihan bulanan dengan gaji sebagai tukang roti," ujarnya.
Tapi menurutnya nilai upahnya saat ini tidak semenarik dibanding zaman ayahnya.
Data yang dikeluarkan lembaga pemerintah Australia Job Outlook menunjukkan tukang roti yang bekerja penuh waktu rata-rata mendapatkan penghasilan AU$996, atau hampir Rp9,7 juta per minggu, sementara rata-rata pekerjaan lain mendapatkan bayaran sekitar AU$1.460, atau lebih dari Rp11,4 juta.
Inilah yang jadi masalah yang sedang dihadapi industri toko dan kue di Australia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemanggang Roti Australia, Tony Smith mengatakan banyak toko roti di Australia memiliki bisnis yang terus berjalan bagus saat ini, tapi yang menjadi perhatian besarnya adalah bagaimana mendapatkan pekerja baru.
Salah satu anggota asosiasi ini terpaksa menutup usahanya di Tasmania karena kekurangan pekerja.
"Mereka tidak bisa lagi tertolong. Mereka mengatakan 'kami tidak bisa lagi melakukan ini'. Hal yang menyedihkan untuk didengar," katanya.
Tony Smith juga mengingatkan masalah yang jauh lebih besar.
"Sistem pendidikan kita sudah mengarahkan murid sekolah untuk bisa menyelesaikan kelas 11 dan 12, kemudian setelah lulus berharap mereka masuk universitas untuk menjadi akuntan atau pengacara," katanya.
"Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi tidak semua orang bisa melakukannya , ada banyak orang di luar sana yang cukup terampil dengan tangan mereka."
Memutar kembali waktu
Menurut Tony Smith di beberapa negara bagian di Australia, seperti Australia Selatan dan Victoria, sekolah sudah mulai menawarkan program kejuruan untuk siswa mulai kelas 10.
Asosiasi Pemanggang Roti Australia sekarang tengah menjalankan program percontohan di kawasan regional Victoria, di mana toko roti mengadakan pelatihan di sekolah dan kemudian mengundang murid yang berminat untuk bekerja bersama mereka.
"Ada 31 murid yang hadir sore itu. Sebanyak 17 di antaranya magang di beberapa toko roti dan kami kemudian menawarkan untuk magang kepada 6-7 siswa untuk belajar membuat roti," katanya.
"Angkanya memang tidak masif, tapi mereka sudah mulai terlibat saat ada di kelas 10."
Tony mengatakan ia ingin melihat pemerintah negara bagian memberikan arahan kepada sekolah-sekolah untuk memberikan akses yang lebih baik ke industri kue dan roti, tanpa mereka harus datang ke sekolah-sekolah.
"Sangat sulit untuk datang ke sekolah dan berkata, 'Hai, kami ingin datang dan berbicara dengan siswa Anda'," katanya.
Di Queensland, Departemen Tenaga Kerja, UMKM dan Pelatihan saat ini mendanai tiga kursus di bidang pembuatan roti lewat program Magang Bebas Biaya untuk mereka yang berusia di bawah 25 tahun.
Juru bicara Departemen tersebut mengatakan Queensland memiliki jumlah sekolah terbanyak yang menawarkan pelatihan di bidang kejuruan di Australia sebanyak 50,5 persen, dengan sekitar 9.000 peserta dari keseluruhan 17.830 di seluruh Australia.
Bertahan dari pelanggan
Mitchel senang konsumen masih mau datang ke toko roti kecil tradisional.
"Bila kita menjual produk yang bagus, memperlakukan pembeli dengan baik dan mendengar apa yang mereka inginkan, serta memiliki pekerja yang bagus, bisnis ini bisa bertahan," katanya.
Namun ada satu hal yang sulit: menemukan pekerja yang tepat.
Dan Mitchel pun masih mencarinya.
"Saya bisa mengajarinya menjadi baik, atau saya bisa mengajarinya menjadi hebat. Itu ada bedanya," janjinya.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.