Apakah Hidrogen Biru bisa Membuat Jepang Tinggalkan Batu Bara
- bbc
Pada suatu sore yang indah saat musim gugur, saya berdiri memandangi Teluk Tokyo. Di samping saya berdiri Takao Saiki, pria berusia 70 tahun yang biasanya bersikap lembut.
Tetapi pada hari itu, Saiki-San merasa marah.
"Ini benar-benar lelucon," kata Saiki-San dalam bahasa inggris yang sempurna. "Ini konyol!"
Hal yang membuat dia marah adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 1,3 gigawatt yang menghalangi pandangan kami ke seberang teluk.
"Saya tidak mengerti mengapa kita masih membakar batu bara untuk menghasilkan listrik," kata Rikuro Suzuki, yang merupakan teman dari Saki-San. "Pabrik ini saja akan menghasilkan lebih dari tujuh juta ton karbon dioksida setiap tahun!"
Suzuki-San menyampaikan poin yang tepat. Bukankah seharusnya Jepang mengurangi konsumsi batu bara, alih-alih meningkatkannya, di saat ada kekhawatiran besar mengenai dampaknya terhadap iklim?
Lalu, mengapa Jepang memilih batu bara? Bencana nuklir Fukushima 2011 adalah jawabannya.
Pada 2010, sepertiga aliran listrik di Jepang berasal dari tenaga nuklir. Saat itu ada rencana untuk membangun lebih banyak lagi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Kemudian bencana 2011 melanda. Gempa bermagnitudo 9,1 mengguncang pesisir timur Jepang dan memicu kebocoran di PLTN Fukushima. Setelah peristiwa itu, semua PLTN di Jepang ditutup. Sebagian besar masih tutup setelah satu dekade sejak bencana Fukushima terjadi, dan ada penolakan untuk membukaya kembali.
Setelah itu, pembangkit listrik berbahan bakar gas banyak berperan menggantikan PLTN. Hanya saja, gas alam berbiaya mahal.
Oleh sebab itu, pemerintah Jepang membangun 22 pembangkit listrik tenaga batu bara, menggunakan batu bara murah yang diimpor dari Australia. Secara ekonomi, keputusan itu masuk akal. Namun tidak dari sudut pandang lingkungan. Jepang saat ini menghadapi tekanan kuat untuk berhenti menggunakan batu bara.
Alih-alih menutup PLTU batu bara dan beralih ke energi terbarukan, Jepang menjawab situasi ini dengan beralih ke pembakaran hidrogen atau amonia.
"Investasi perusahaan tenaga listrik pada pembangkit batu bara tiba-tiba menjadi sia-sia dan tidak bernilai dalam neraca keuangan mereka," kata Prof Tomas Kaberger, pakar kebijakan energi di Universitas Chalmers di Swedia.
Baca juga:
"Itu akan membuat perusahaan tenaga listrik mengalami krisis keuangan, begitu juga bank dan dana pensiun. Ini menjadi tantangan bagi Jepang."
Meski demikian, Prof Kaberger mengatakan pembangkit listrik yang ada bisa beralih ke hidrogen dan amonia. Ini dianggap sebagai solusi yang baik mengingat hidrogen dan amonia tidak menghasilkan karbon dioksida.
Tetapi, pemerintah Jepang memiliki ambisi yang jauh lebih besar dari itu. Mereka ingin menjadi negara dengan "ekonomi hidrogen" pertama di dunia.
Pada titik ini lah perusahaan pembuat mobil Toyota mengambil peluang.
Saya berada di pusat kota Tokyo pada suatu hari yang cerah, tepatnya di stasiun pengisian hidrogen yang baru dibangun. Di depannya terdapat Toyota Mirai, sebuah mobil mewah besar seukuran Lexus.
Saya masuk ke kabin berlapis kulit, kemudian menekan tombol "start" dan meluncur ke jalan. Laju mobil ini terasa sangat mulus, benar-benar senyap, dan satu-satunya buangan yang keluar dari mobil ini adalah sedikit air.
Mirai, yang berarti masa depan dalam bahasa Jepang, merupakan mobil listrik tanpa emisi pertama yang diproduksi oleh Toyota. Berbeda dengan mobil listrik lainnya, Mirai tidak memiliki baterai besar di bawahnya.
Mobil ini memiliki sel bahan bakar di bawah kap mesinnya, juga tangki hidrogen di bawah jok belakang. Hidrogen kemudian dialirkan melalui sel bahan bakar, diubah menjadi listrik, sehingga menyalakan motornya. Teknologi ini sama dengan yang digunakan untuk menggerakkan pesawat ruang angkasa Apollo saat menjalani misi ke Bulan.
Bagi banyak orang, teknologi ini merupakan pilihan yang aneh. Biayanya lebih mahal dan lebih rumit dibandingkan baterai. Elon Musk bahkan menyebut mobil hidrogen "bodoh".
Kepala divisi urusan publik Toyota, Hisashi Nakai mengatakan pendapat itu tidak benar. Menurut dia, perusahaannya memiliki visi yang jauh lebih besar ketimbang sekedar mobil terkait bahan bakar ini.
"Saya paham bahwa orang lain berpendapat berbeda," katanya kepada saya, "tetapi yang penting adalah menyadari netralitas karbon. Kita perlu memikirkan bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi sel bahan bakar secara maksimal. Kami percaya bahwa hidrogen adalah bahan bakar yang kuat dan penting."
Apa yang Nakai-san sampaikan menunjukkan bahwa bahan bakar hidrogen akan digunakan di mana-mana di masa depan, seperti di rumah, kantor, pabrik, dan mobil. Toyota juga ingin menjadi yang terdepan dalam hal ini.
Ini membuat saya mempertanyakan, dari mana hidrogen yang digunakan Jepang berasal?
Jawabannya adalah "hidrogen biru".
Apabila Anda membuat hidrogen dari air menggunakan energi terbarukan, maka Anda akan menghasilkan "hidrogen hijau"? Persoalannya, menghasilkan hidrogen hijau berbiaya sangat mahal.
Sebaliknya, sebagian besar hidrogen yang terbuat terbuat dari gas alam dan batu bara menghasilkan banyak gas rumah kaca meski biayanya lebih rumah. Tetapi, apabila Anda menangkap gas rumah kaca itu dan menguburnya di dalam tanah, itulah yang kemudian menjadi "hidrogen biru".
Hal itu yang akan dilakukan oleh Jepang.
Pada awal tahun ini, Jepang dan Australia meresmikan proyek bersama di negara bagian Victoria untuk mengubah jenis batu bara yang disebut lignit, atau batu bara coklat, menjadi hidrogen. Hidrogen tersebut kemudian dicairkan hingga suhu minus 253 derajat Celcius, kemudian disalurkan ke kapal khusus yang akan membawanya ke Jepang.
Lalu, bagaimana dengan gas rumah kaca yang dihasilkan di lokasi?
Untuk saat ini, gas rumah kaca tersebut akan langsung terbuang ke atmosfer. Tetapi, Jepang dan Australia berjanji akan menangkap gas rumah kaca yang dihasilkan di Lembah Latrobe itu dan menyuntikkannya ke dasar laut di lepas pantai.
Para aktivis perubahan iklim mengkhawatirkan rencana ini. Menurut mereka, teknologi untuk menangkap dan menyimpan gas rumah kaca belum teruji dan akan membuat Jepang menggali batu bara coklat dalam jumlah besar selama beberapa dekade ke depan.
Sedangkan menurut Prof Kaberger, kendala terbesar dari rencana tersebut justru ada pada sisi ekonomi.
"Secara teknis hal itu memungkinkan untuk dilakukan, tetapi biayanya mahal," kata dia.
"Menggunakan bahan bakar fosil dengan menangkap dan menyimpan karbon akan selalu lebih mahal dibanding memanfaatkan bahan bakar fosilnya saja. Sementara di berbagai tempat di dunia, energi terbarukan sudah lebih murah dibanding bahan bakar fosil tanpa penangkapan karbon sekali pun."
Prof Kaberger menduga keputusan pemerintah Jepang memilih hidrogen biru dibuat satu dekade lalu, ketika energi terbarukan masih mahal. Saat ini, mereka terjebak dalam rencana yang tidak lagi masuk akal.
"Perusahaan Jepang membutuhkan energi yang murah untuk bisa bersaing, namun mereka juga membutuhkan energi yang bersih untuk dapat diterima secara internasional," kata dia. "Itu artinya mereka membutuhkan energi terbarukan. Menunda pembangunan ini akan merugikan bagi ekonomi Jepang."
Sementara itu, di tepi Teluk Tokyo, pembangunan terus berlanjut. Pembangkit listrik tenaga batu bara raksasa itu akan beroperasi mulai 2023 dan akan berjalan setidaknya 40 tahun.
"Saya malu dengan Jepang," kata Hikari Matsumoto, seorang aktivis berusia 21 tahun yang turut menyaksikan pemandangan itu bersama kami.
"Saya sangat frustrasi," ujar dia. "Di negara lain, anak muda turun ke jalan untuk protes, tapi orang Jepang hanya diam. Generasi kita perlu menyuarakan pendapat."