3 Gadis Muda Berhijab Asal Garut Manggung di Belanda Kala Pembatasan

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Sekitar 100 penikmat musik duduk dengan rapi di bangku yang berjarak satu sama lain, mengikuti aturan pembatasan Covid-19 yang diberlakukan pemerintah Belanda.

Kasus Covid yang terus meningkat di negara itu, membuat pemerintah terpaksa melakukan pengetatan, termasuk membatasi jam penyelenggaraan even budaya, hanya hingga pukul 17:00 saja.

Imbasnya, gelaran musik di Haarlem yang sedianya digelar pada pukul 19:00 malam, terpaksa dijadwal ulang menjadi pukul 16:00.

Beberapa menit sebelumnya, band tuan rumah bergenre black metal, Neroth, tampil memukau sebagai band pembuka.

Aksi panggung band cadas beranggotakan lima personil dengan vokalis perempuan itu berhasil memanaskan suasana di tengah dinginnya suhu musim gugur yang kala itu berkisar 7 derajat C.

Tak lama kemudian, tirai berwarna gelap terbuka diiringi oleh hentakan musik yang dimainkan oleh tiga gadis muda yang bermain atraktif di atas panggung.

Lampu panggung silih berganti menyoroti ketiganya, yang dalam penampilan perdananya di benua Eropa itu berseragam setelan berwarna hitam dengan aksen rantai dan hiasan berwarna perak di celananya.

Jilbab berwarna senada menutupi kepala ketiganya.

Voice of Baceprot, band metal yang digawangi tiga perempuan muda berhijab asal Garut, Jawa Barat, akhirnya berhasil meraih mimpi seumur hidup mereka tampil di luar negeri.

Sesuatu yang oleh Widi Rahmawati - sang pembetot bas - sebut membuatnya merasa "floating in the air" di tengah jeda penampilan mereka.

"Ini tuh konser yang aku tunggu-tunggu lho selama beberapa tahun. Karena corona jadi enggak ada panggung yang ada penontonnya secara langsung. Jadi pas tadi lihat penonton, seneng banget," ujar Widi dengan penuh semangat ketika berbicara dengan BBC News Indonesia usai penampilan mereka di Haarlem, Belanda pada Minggu (28/11).

"Asa (seperti) di awang-awang," lanjutnya kemudian.

Sementara sang penggebuk drum, Euis Siti Aisyah, masih merasa tidak percaya dirinya bisa manggung di panggung internasional.

"Makanya tadi pas manggung banyak aksi panggung di luar rencana saking aku excited (semangat) setelah dua tahun belum ketemu penonton," kata gadis yang akrab disapa Siti itu.

Aksi panggung sore itu sekaligus menandai tur mereka ke berbagai negara di Eropa. Selain di Belanda, tur bertajuk Fight, Dream, Believe ini digelar di Belgia, Perancis dan Swiss.

Tur yang berlangsung sejak 28 November hingga 10 Desember 2021 ini merupakan rangkaian dari promo single terbaru VoB bertajuk "God, Allow Me (Please) to Play Music".

 

`Bukan hanya mewujudkan mimpi`

 

Single bertajuk "School Revolution" yang mengkritisi kondisi pendidikan Indonesia - dirilis pada 2018 - menjadi lagu pembuka aksi panggung mereka di Patronaat, Haarlem sore itu.

Dua lagu lama mereka, "Age Oriented" dan "The Enemy of Earth is You" menyusul kemudian, membuai penonton yang didominasi oleh warga Indonesia yang tinggal di Belanda dengan musik keras besutan tiga dara ini.

Kendati baru tiba di Belanda pada pagi harinya setelah menempuh belasan jam perjalanan dari Indonesia, ketiganya tetap menampilkan aksi panggung yang energik dan dinamis.

Ketiganya lantas menghantarkan cover dua lagu cadas "Killing in the Name" milik Rage Against the Machine dan "Refuse/Resist" milik band metal legendaris Sepultura.

Di hadapan penonton, gitaris sekaligus vokalis VoB, Firda Marsya Kurnia, menyebut penampilan mereka "bukan hanya untuk mewujudkan mimpi", tapi juga menyuarakan "harapan para perempuan yang masih memperjuangkan kemerdekaan mereka di tengah budaya patriarki".

"We love you, sisters!," seru sang drummer kepada para perempuan, menyela Marsya.

Penonton lantas bersorak menyambut pernyataan dua gadis berusia 21 tahun itu. Sementara yang lain tertawa dengan spontanitas Siti di atas panggung.

Ketiganya langsung mempersembahkan lagu "PMS", singkatan dari Perempuan Merdeka Seutuhnya.

"Akulah merdeka, merdekalah seutuhnya" adalah penggalan lirik lagu yang menyuarakan kesetaraan gender yang dinyanyikan dengan lantang oleh Marsya.

Dalam percakapan kami di balik panggung usai penampilan mereka, Marsya mengatakan tur Eropa ini membawa misi "menjadi wakil untuk mimpi-mimpi perempuan lain".

"Perempuan kan sudah bilang langkahnya terbatas, nanti habis nikah berhenti sendiri dan segala macam yang membatasi. Kami ingin melawan itu dan mau buktiin, `Tuh, enggak kok, kita [perempuan] juga bisa`."

"Kita inginnya sedikit demi sedikit membuka jalan untuk mimpi-mimpi perempuan yang lain."

 

Sempat `gugup` dan `panik`

 

Pengaturan penonton dengan posisi duduk dan berjarak - berbeda 180 derajat dengan penonton konser musik metal pada umumnya yang berdiri berdesakan disertai dengan moshing, bahkan wall of death - menjadi tantangan tersendiri bagi ketiganya.

Ketiganya mengaku sempat gugup pada awal penampilan mereka.

"Jadi kita sempat [berpikir], `Wah penontonnya duduk, berarti kita harus bangun suasana`. Makanya di awal-awal tadi agak panik," aku Marsya.

"Agak panik dan ngerasa kaya enggak ada feedback energi dari penonton," timpal Siti.

Namun, kekhawatiran Marsya dan Siti tak terbukti, sebab sepanjang penampilan mereka, Marsya sebagai frontman VoB berhasil menguasai panggung dan sanggup berinteraksi dengan baik dengan penonton.

Adapun sejumlah penonton, meski harus duduk dengan manis di bangkunya, tetap melakukan headbang (menganggukkan kepala ke atas dan ke bawah), sesuai dengan hentakan musik keras yang dihadirkan oleh VoB.

Salah satu penonton, Francis, yang berasal dari Leiden di Belanda, memuji penampilan dan interaksi mereka dengan penonton.

"Mereka dapat berinteraksi dengan semua orang. Mereka memiliki penampilan panggung yang sangat bagus dan mereka lucu, dan musik mereka sangat kencang. Sangat, sangat bagus," puji Francis usai menonton penampilan mereka.

Baca juga:

 

 

Single terbaru mereka," God, Allow Me (Please) to Play Music" semestinya menjadi lagu terakhir aksi mereka sore itu.

Namun, mereka menghadiahi para penonton dengan single yang belum dirilis sebagai lagu encore dalam aksi panggung mereka - setelah mereka meneriaki VoB untuk menyanyikan lagu lagi.

"We want more! We want more!," sorak para penonton.

Akhirnya, penonton sore itu menjadi orang-orang pertama yang mendengar lagu terbaru mereka, "(not) Public Property".

Siti mengaku tak menyangka para penonton akan meminta mereka membawakan lagu lagi. Kepada BBC News Indonesia, ia mengaku "ketar-ketir" ketika mendengar mereka menyerukan bandnya untuk membawakan lagu kembali.

"Aduh-aduh, kumaha ieu (bagaimana ini), lagu apa [yang akan dibawakan]. Makanya aku bilang kalau mau [kami] main lain, kalian harus bayar lagi," canda Siti.

"Dengan orang-orang minta `we want more` kita ngerasa bahwa mereka suka, mereka menikmati, makanya kita merasa prestasi tertinggi sebagai musisi itu, ketika orang minta lagu lagi," tambah Marsya.

Adi, warga Indonesia yang tinggal di Belanda mengaku bangga dengan VoB yang menurutnya "bisa mewakili perempuan Indonesia di dunia metal".

"Untuk kita-kita, ini semacam mengobati rasa rindu kita ke Indonesia ya, karena di masa pandemi kita agak sedikit sulit untuk berkunjung [ke Indonesia]," ujar Yana, pria berusia 49 tahun yang tinggal di Amersfoot.

"Jadi dengan event-event seperti ini, apalagi saya juga dari Sunda, sekalian reuni dan melihat antusiasme masyarakat Belanda," katanya.

Adapun, Joana, perempuan Belanda dari Haarlem yang menyaksikan konser bersama pasangannya mengaku penasaran dengan penampilan ketiga gadis itu.

"Mereka ini seperti girl band, tapi bukan band biasa. Jadi, sangat berbeda. Musik mereka bukan genre musik yang saya dengarkan, jadi kami di sini hanya karena kami penasaran dengan band tersebut dan kami suka bereksperimen dalam musik dan live music," kata Joanna ketika ditemui sebelum konser.

 

Meredam stigma

 

Di awal karier mereka, stereotip dan stigma terhadap mereka sebagai perempuan muda berhijab yang memainkan musik metal mengemuka.

Meski hingga kini hal itu belum memudar, ketiganya mengaku lebih rileks menghadapi cibiran dan cap buruk terhadap mereka.

"Awalnya sih agak tegang, karena kesel juga. Manusiawi. Tapi sekarang udah bisa lebih rileks, karena mikirnya gini, kemanapun kita pergi, pasti orang seperti itu akan ada," katanya.

Sementara, salah satu penonton konser mereka, Deni, warga Indonesia yang tinggal di Belanda, mengatakan VoB membuktikan bahwa "muslimah itu tidak hanya baca Al Quran, bisa juga main musik".

Ia menambahkan publik di Belanda tak menganggap penampilan mereka dengan hijab namun memainkan musik metal bukanlah suatu kontroversi.

"Di sini musik bukan dilihat dari agamanya. Jadi musik hanya bermusik saja, jangan kita ngelihat dari latar belakang," imbuh pria yang tinggal di Leiden ini.

Penonton konser yang juga warga Belanda, Joanna mengaku, meski jarang ditemui, tak ada yang aneh dengan perempuan berhijab memainkan musik metal.

"Saya di sini untuk mendukung mereka. Bagi saya itu adalah alasan tambahan untuk datang ke konser, untuk melihat betapa normalnya hal itu," katanya.

 

Dua konser dibatalkan karena pandemi

 

Kepada BBC News Indonesia, Marsya mengaku sempat khawatir harus manggung di tengah pandemi.

"Kita khawatirnya bukan karena takut terinfeksi, takut manggungnya di-cancel," ujarnya sambil tergelak tawa.

"Karena kita sudah jauh-jauh dari Indonesia, perjuangan selama 15 jam di pesawat, jadi kalau misalnya ke sini tiba-tiba acaranya nggak jadi kan nyesek juga. Jadi kita berdoa semuanya lancar," harap Marsya.

Sayangnya, situasi pandemi Covid di Belanda yang kian buruk, di tambah kehadiran Omicron, varian baru yang disebut lebih berbahaya ketimbang varian Delta, membuat pemerintah Belanda memperketat aturan pembatasan mereka.

Imbasnya, dua penampilan VoB di dua kota lain di Belanda terpaksa dibatalkan. Namun, pada 1 Desember, VoB menggelar private gig di Groningen di lokasi konser mereka semestinya digelar.

Adapun, mereka masih dijadwalkan tampil dalam tur mereka di beberapa negara Eropa termasuk Brussel dan Prancis.