Hak-hak Jelang Eksekusi Mati dan Kontroversinya di Berbagai Negara
- bbc
Seorang terpidana mati di Amerika Serikat, John Ramirez, tidak ingin mati begitu saja. Dia ingin pendeta yang membimbingnya mengantar kepergiannya dengan tenang.
Namun, permintaan itu ditolak oleh Departemen Peradilan Pidana Texas dan sekarang saat-saat terakhirnya berada di tangan Mahkamah Agung AS.
Ramirez adalah mantan marinir berusia 37 tahun.
Dia dijatuhi hukuman mati karena merampok dan melukai seorang pekerja toko pada 2004. Ramirez mengatakan "doa, nyanyian, dan sentuhan manusia" menjelang kematian adalah bagian penting dalam kehidupan pribadinya sebagai pemeluk Kristen.
Dia merasa upacara terakhir untuk dirinya, yang dilakukan oleh pendeta baptisnya, adalah haknya.
Tetapi pihak yang berwenang di Texas tidak menerima klaimnya.
Menurut mereka, Ramirez hanya menunda eksekusinya dan memanipulasi prosesnya dengan "permainan gerejawi".
Baca juga:
- Kisah penyelundup narkoba yang ditunda hukuman gantungnya karena Covid
- Napi terpidana mati di Jepang menggugat karena pemberitahuan eksekusi yang mepet
- Arab Saudi bebaskan Ali al-Nimr yang sempat divonis hukuman mati ketika masih remaja
Ramirez lantas menggugat otoritas Texas, mengklaim pelanggaran kebebasan beragama Amandemen Pertama, dan hakim menerima keberatannya. Hasilnya, tanggal eksekusi Ramirez yang dijadwalkan pada 8 September, ditunda sampai setelah sidang hari Selasa.
Eksekusi Ramirez adalah eksekusi ketiga yang dihentikan oleh Mahkamah Agung dalam tiga tahun terakhir. Mereka juga mengizinkan jika ada pemuka agama yang ingin menghadiri eksekusi mati tahanan.
Pada 2019, muncul kritik publik terkait kebijakan tersebut.
Publik protes, mengapa permohonan seorang narapidana Muslim yang meminta seorang imam mendampinginya saat eksekusi mati ditolak, tetapi permintaan serupa dari seorang tahanan Buddha diizinkan.
Padahal kedua eksekusi mati itu hanya berjarak sebulan kemudian.
Debat tentang hak ritual keagamaan dan hak-hak lain bagi tahanan menjelang pelaksanaan eksekusi hukuman mati tidak hanya terjadi di AS.
Di seluruh dunia, di negara-negara yang menerapkan hukuman mati, negosiasi terkait mana yang boleh dan mana yang tidak selalu menjadi rumit. Pihak berwenang pun tidak selalu melakukannya dengan benar.
Pekan lalu di Jepang, dua terpidana mati mengambil tindakan hukum setelah diberitahu bahwa mereka akan dieksekusi di hari itu juga. Pemberitahuan eksekusi itu datang hanya beberapa jam sebelum mereka digantung.
Kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia (HAM) mengatakan pemberitahuan singkat itu "sangat tidak manusiawi" dan secara material mempengaruhi kesehatan mental.
Para tahanan kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan Osaka pada Kamis lalu, dan gugatan itu adalah yang pertama kalinya.
Menurut mereka, pemberitahuan yang sangat mendadak tidak memberi mereka waktu yang cukup untuk mempersiapkan mental dan merenungkan akhir hidup mereka.
Sementara itu di Iran, eksekusi rahasia menyebabkan negara itu dikecam dunia internasional.
Dalam kasus pembunuhan di Iran, di mana terdakwa dijatuhi hukuman qisas (eksekusi), anggota keluarga korban diminta untuk melaksanakan sendiri eksekusi yang sebenarnya.
Keluarga korban juga dapat memberikan penangguhan hukuman kepada pelaku hukuman mati, dan hal itu pernah terjadi.
Seorang terdakwa pembunuhan sudah siap dihukum gantung. Namun, ibu korban yang menyaksikan proses eksekusi itu memutuskan untuk memaafkannya dan melepaskan talinya.
Ibu korban dan ibu terdakwa itu kemudian berpelukan di depan banyak orang yang berkumpul untuk menyaksikan eksekusi.
Menurut hukum Iran, perwakilan hukum dari terdakwa harus diberitahu 48 jam sebelum eksekusi, tetapi aktivis mengatakan hal ini tidak selalu terjadi, terutama dalam kasus yang berhubungan dengan politik dan keamanan.
Organisasi pembela HAM di Iran mengatakan praktik standar yang diterapkan di negaranya adalah dengan membawa tahanan ke sel isolasi beberapa hari sebelum kematian dan membiarkan mereka diborgol secara permanen.
Sementara itu, di Singapura muncul kekhawatiran tentang eksekusi seorang laki-laki yang memiliki IQ 69, kondisi yang diakui secara luas sebagai indikasi disabilitas intelektual.
Nagaenthran Dharmalingam ditangkap pada 2009 karena membawa 42,7 gram heroin ke Singapura dan akan digantung pada Rabu (10/11) pagi.
Kasusnya memicu protes yang jarang terjadi di Singapura, yang biasanya mendukung hukuman mati.
Pengacara Dharmalingam dan kelompok HAM yang berjuang untuk menyelamatkannya mengatakan Singapura melanggar hukum internasional dengan mengeksekusi seseorang yang mengalami gangguan mental.
Mereka sudah mengupayakan semua jalur hukum untuk banding dan juga mengirim permintaan grasi ke presiden, namun usaha ini tidak berhasil.
Pemerintah Singapura tetap kukuh dengan keputusan mereka dan mengatakan pria berusia 33 tahun itu "dengan jelas memahami tindakannya dan bisa membedakan antara benar atau salah".
Prosedur hukuman mati di Mesir juga memicu kemarahan.
Meskipun hukum di negara tersebut menetapkan bahwa semua anak di bawah usia 18 tahun yang dinyatakan melanggar KUHP tidak akan "dihukum mati, dipenjara seumur hidup, atau kerja paksa", sebuah laporan dari Reprieve -- kelompok kampanye global yang dipimpin oleh para pengacara internasional -- mengatakan bahwa setidaknya 17 anak telah menerima hukuman mati sejak 2011.
Reprieve mengatakan jaksa menggunakan celah untuk membawa anak-anak ke pengadilan orang dewasa untuk diadili, karena undang-undang mengizinkan mereka yang berusia di atas 15 tahun dan memiliki rekan terdakwa lain yang berusia dewasa, bisa diadili bersama.
Ketika Mahkamah Agung AS pada minggu ini memutuskan kasus Ramirez, Mahkamah Agung akan diminta untuk fokus pada cara mengeksekusi seseorang dengan tidak melanggar hak-hak beragama.
Namun, ketegangan antara prinsip martabat manusia dan praktik hukuman mati selalu tak bisa dipisahkan dan terjadi di seluruh dunia.
Ini pasti akan berubah menjadi perdebatan yang lebih besar di seputar hak-hak semua laki-laki dan perempuan yang menghadapi eksekusi hukuman mati.