Pendukung Utama Wisata, Pekerja Seks di Thailand Minta Diakui Resmi
- abc
Sebelum pandemi, kawasan yang dikenal dengan nama "Walking Street' di kawasan wisata Pattaya di Thailand dipenuhi dengan turis dan warga setempat di tengah gemerlapnya lampu dan suara musik yang keras setiap malam.
Namun, sekarang Pattaya yang terletak sekitar 149 km dari ibu kota Bangkok sepi, seperti 'gurun pasir' kata beberapa orang.
Kursi-kursi bar tertumpuk dan berdebu, lampu tidak lagi berkelip, dan tanda "Disewakan" dipasang di berbagai bar, kelab malam dan restoran di sepanjang jalan tersebut.
Bagi pekerja seks berusia 41 tahun, Doa, Pattaya sekarang terasa seperti kuburan.
"Pattaya sebelumnya adalah kota yang tidak pernah tidur. Dulu ada begitu banyak orang, sehingga kadang seperti tidak ada tempat untuk berdiri," katanya kepada ABC.
"Sekarang begitu sepi, sendirian dan merana."
Pattaya adalah salah satu gambaran yang dialami Thailand semasa pandemi, di mana banyak kawasan 'lampu merah' lain di Bangkok, Phuket, Chiang Mai juga meredup.
Karenanya, pendapatan para pekerja seks yang menggantungkan hidup di kelab malam juga mengering.
Mulai 1 November, Thailand akan membuka lagi perbatasan internasional bagi pelancong asing yang sudah mendapat vaksinasi penuh dari 60 negara yang dianggap berisiko rendah, termasuk Australia.
Namun, bar dan pusat hiburan masih ditutup karena pemerintah was-was virus bisa menyebar di tempat-tempat tersebut.
Para pekerja seks khawatir masih akan diperlukan waktu beberapa tahun sebelum keadaan kembali normal.
Industri miliaran dolar yang beroperasi dalam bayang-bayang
Dao adalah satu dari sekitar 50 ribu pekerja seks yang mengais rezeki di Pattaya sebelum pandemi.
Pakar mengatakan di seluruh Thailand jumlahnya mungkin empat kali lebih besar.
Ibu dari lima anak tersebut sekarang mendapat penghasilan yang sangat sedikit dalam seminggu, lebih sedikit dari pendapatannya per jam sebelum pandemi.
"Tentu tidak cukup untuk hidup. Saya harus mengggunakan tabungan saya dan juga hampir habis," katanya.
"Tujuan utama adalah bekerja agar anak-anak saya bisa sekolah, jadi saya perlu ada pekerjaan."
LSM yang mendukung para pekerja seks, Service Workers in Group [SWING] sudah membantu Dao dengan memberikan tempat berjualan di pinggir jalan, meski dia kadang masih melayani kebutuhan seks warga lokal.
Tapi pendapatannya masih tidak cukup untuk menghidupi keluarganya.
"Saya masih lebih suka bekerja sebagai pekerja seks seperti yang saya lakukan sebelum pandemi," kata Dao.
Presiden SWING yang juga adalah professor ilmu politik di Thammasat University, Chalidaporn Songsamphan, mengatakan sebelum pandemi industri seks di Thailand menyumbangkan $USD 8 miliar bagi perekonomian negeri itu.
"Perekonomian Thailand sudah lama menggantungkan diri pada industri wisata," kata Professor Chalidaporn kepada ABC.
"Turisme menjadi pendapatan utama bagi seluruh perekonomian wisata dan pekerja seks merupakan bagian besar dari industri wisata ini."
Meski begitu, para pekerja seks ini harus bekerja secara gelap karena prostitusi secara resmi masih dinyatakan ilegal.
Mereka yang ditangkap bisa dikenai denda antara Rp400 ribu sampai Rp16 juta dan bahkan dikenai penjara maksimum dua tahun.
Setelah COVID-19 berdampak pada perekonomian yang menggantungkan diri pada turis tersebut, para pekerja seks Thailand sekarang mendesak agar pemerintah mengakui keberadaan mereka yang bisa menjadi bagian dari pemulihan ekonomi.
Bagian kecil yang tidak dipedulikan
Dalam sebuah unjuk rasa baru-baru ini, sekelompok laki-laki dan perempuan membawa sepatu hak tinggi dan pakaian dalam, berkumpul di depan gedung pemerintah dan mendesak agar pekerjaan mereka diakui dan diatur secara hukum.
"Kami adalah rakyat Thailand dan kami menghasilkan pendapatan bagi negeri ini. Terimalah realitas tersebut bahwa prostitusi memang ada dan memiliki nilai dan derajat yang sama seperti pekerjaan lain," kata salah seorang pengunjuk rasa kepada media.
Pandemi hanya membuat pekerja seks ini menjadi lebih sulit.
Mereka juga tidak bisa mendapat bantuan sosial dari pemerintah, yang diberikan bagi mereka dengan profesi lain yang mengalami kesulitan selama pandemi.
"Pengalaman pekerja seks selama pandemi menunjukkan kepada kita mengenai ketidakjelasan status mereka yang membuat mereka tidak bisa mendapat bantuan dari pemerintah," kata Professor Chalidaporn .
"Jadi ini mungkin waktu yang baik untuk memikirkan agar tidak menjadikan pekerja seks sebagai sesuatu yang kriminal karena status kriminal sudah membuat banyak orang menderita."
"Mereka tidak bisa bernegosiasi, mereka tidak bisa melakukan tawar-menawar dengan siapa saja, dan mereka sudah dieksploitasi oleh begitu banyak kelompok karena status pekerja seks dianggap kriminal."
Dao mengatakan, dia ingin melihat pekerja seks diakui dan dia mengatakan pemerintah melihat para pekerja seks sebagai 'bagian kecil dari masyarakat yang tidak dapat perhatian dan tidak dipedulikan."
Dia mengatakan paling tidak di Pattaya, mereka sudah menjadi salah satu pelaku ekonomi utama.
"Seluruh turis asing yang ke sini untuk mencari perempuan seperti saya, tidak ada turis yang datang hanya untuk melihat kuil atau hanya untukmencuci mata," katanya.
Karena pelanggan mereka tidak ada lagi sementara pandemi tetap berlangsung, pekerja seks harus menemukan sumber penghasilan lain.
Bagaimana masa depan pekerja seks Thailand?
Om, pekerja seks berusia 36 tahun di Pattaya, sekarang menggunakan internet untuk mendapatkan klien.
Orangtua tunggal dari tiga anak tersebut mengatakan dia tidak mau terkena virus sehingga dia hanya bertemu klien yang didapatnya dari aplikasi HP.
"Saya takut keluar untuk bertemu mereka karena saya tidak tahu siapa saja yang sudah mereka temui, jadi bikin janji lewat internet adalah yang terbaik," katanya.
"Jadi kami membuat perjanjian, bila saya menunjukkan bagian tubuh saya, kamu harus membayar sejumlah uang yang telah disepakati."
Uang yang didapatnya hanya sekitar 10 persen dari pendapatannya sebelum pandemi, hal yang membuatnya sulit untuk membiayai anak-anaknya yang tinggal di provinsi lain.
"Sebelum pandemi keadaan sangat baik, mudah mencari uang, dan saya tidak mengalami kesulitan mengirim uang ke rumah," katanya.
"Saya harap COVID segera berlalu sehingga keadaan bisa kembali normal."
Om mengatakan dia ingin menjadi pekerja seks resmi sehingga 'kami tidak harus kerja sembunyi-sembunyi."
Tetapi Professor Chalidaporn mengatakan pemerintah Thailand tidak pernah membuat usaha untuk melegalkan industri seks karena masalah ini 'tidak pernah menarik perhatian publik Thailand."
"Bila kita mau membicarakan soal industri seks, kita tidak bisa sekadar berbicara mengenai dekriminalisasi pekerja seks, tapi juga berbicara mengenai masalah dasarnya yaitu seks di luar pernikahan.
"Ini akan menjadi pembicaraan sulit bagi banyak kelompok dalam masyarakat dan itulah sebabnya mereka tidak membicarakannya, sehingga kemudian mereka tidak mempedulikan soal pekerja seks."
Pemulihan ekonomi masih panjang
Thailand mulai secara perlahan membuka diri lagi dari turis asing yang sudah divaksinasi sejak bulan Juli, dengan sebagian besar tiba lewat program tanpa karantina khusus di pulau Phuket.
Setelah karantina hotel dihapus atau dikurangi jumlah harinya mulai bulan November di bagian Thailand lainnya, kegiatan sektor wisata mulai hidup lagi.
Namun, Professor Chalidaporn mengatakan keadaan tidak akan kembali normal dalam waktu segera.
"Bila kita beruntung mungkin diperlukan waktu setidaknya satu tahun, tidak saja untuk industri seks tapi juga untuk seluruh industri wisata di Thailand," katanya.
"Dan masalahnya, berapa orang di industri ini yang akan bisa bertahan bila misalnya ada pandemi lagi?"
Tidak adanya bantuan keuangan dari pemerintah, membuat banyak pekerja seks menggantungkan diri pada bantuan, baik itu dari mantan pelanggan di luar negeri atau bantuan makanan dari badan amal seperti SWING.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News