Uni Eropa Desak Negara-negara Terapkan Pajak Karbon
- U-Report
VIVA – Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, meminta negara-negara untuk memberlakukan pajak karbon ketika berbicara dalam KTT Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Senin 1 November 2021.
"Kita perlu menyetujui kerangka aturan yang kuat, misalnya, untuk mewujudkan pasar karbon global menjadi kenyataan. Beri harga pada karbon, alam tidak dapat membayar harga itu lagi," kata Von der Leyen, yang bergabung dengan para pemimpin dari lebih dari 100 negara di COP26.
Pembahasan tentang merancang sebuah pasar yang memperdagangkan pengurangan emisi karbon di bawah kesepakatan iklim Paris telah menggagalkan KTT iklim PBB terakhir pada 2019, karena negara-negara bertengkar tentang bagaimana sistem tersebut akan diperhitungkan terhadap target iklim nasional mereka.
Sebanyak 27 negara EU berjanji untuk mengurangi sedikitnya 55 persen emisinya pada tahun 2030 dari tingkat tahun 1990.
Von der Leyen mendesak negara-negara lain untuk berkomitmen pada pengurangan lebih banyak emisi dalam dekade ini.
“Kita harus memberikan komitmen yang kuat untuk mengurangi emisi pada tahun 2030. (Tujuan) nol karbon bersih pada tahun 2050 itu baik, tetapi tidak cukup," ujar dia.
EU sedang merundingkan kebijakan hijau baru yang menempatkannya di depan banyak negara yang telah menetapkan target iklim yang jauh, tetapi belum menyusun undang-undang yang diperlukan untuk mewujudkannya.
Proposal EU termasuk menghapus penjualan mobil dengan mesin pembakaran internal pada 2035 dan meluncurkan pasar karbon kedua EU untuk sektor bangunan dan transportasi.
Usulan kebijakan itu telah memicu ketegangan di antara negara-negara EU barat yang lebih kaya, yang mendukung tindakan iklim yang ambisius dibandingkan negara-negara timur yang lebih miskin yang takut akan dampak sosial dan ekonomi.
Perdana Menteri Ceko Andrej Babis memanfaatkan COP26 untuk menyerang apa yang disebutnya proposal iklim "berbahaya" EU.
"Ini bukan kesepakatan tetapi ideologi," kata dia.
Babis mengatakan bahwa proposal itu akan merugikan warga karena membuat harga bahan bakar fosil jadi lebih mahal. (Ant/Antara)