Kayu Jarrah Dilarang Ditebang di Australia, Pebisnis Lirik Milik RI

Jarrah adalah kayu keras khas negara bagian Australia Barat, tapi kini sudah dilarang untuk diambil di hutan-hutan. (Supplied: Jackie and Dean Malcolm)
Sumber :
  • abc

Satu bulan yang lalu negara bagian Australia Barat melarang penebangan hutan tanaman asli. Kini para pembuat 'furniture' atau perabotan harus mencari bahan baku dari negara lain. 

Bahan baku yang digunakan adalah kayu keras dari tanaman khas Australia yang sangat ikonik, dikenal dengan sebutan 'jarrah wood'.

Presiden asosiasi produsen 'furniture' di Australia, Michael D'Andrea mengatakan harga kayu jarrah telah melonjak 60 persen sejak pemerintah Australia mengumumkan akan berhenti mengambil tanaman kayu khas Australia, seperti jarrah, marri, dan karri mulai tahun 2024.

"Kalau mau meja jarrah yang cantik dan bagus, atau meja marra, harganya akan naik banyak," katanya.

Michael mengaku jika ia sudah menerima harga dari pemasok kayu keras dari Indonesia, seandainya persediaan jarrah hampir habis.

Ia berencana untuk mulai mengimpornya dengan kontainer.

"Saya sebenarnya tidak mau melakukannya, tapi kalau mau bisnis saya bertahan, tak ada pilihan lain," katanya.

"Jarrah adalah kayu langka dan banyak negara menginginkannya."

Di tahun 2020, Forest Products Commission, yang mengelola hutan tanaman khas Australia, menyediakan 85.000 ton kayu jarrah untuk industri kayu.

Asosiasi produsen 'furniture' memperkirakan 50.000 ton akan cukup bagi industri kayu untuk bertahan hidup.

"Itu [50.000 ton] termasuk furniture, lemari, lantai dan lainnya, serta untuk pemeliharaan gedung cagar budaya yang dilindungi," kata Frank Parker, sekretaris asosiasi tersebut.

Pada tahun 2013, setengah dari kayu yang ditebang secara ilegal di dunia berasal dari Indonesia.

Padahal moratorium Pemerintah Indonesia soal pembukaan hutan sudah mulai berlaku sejak tahun 2011.

Sejak saat itu Indonesia terus berusaha melindungi hutannya, tapi praktik penebangan hutan secara ilegal belum juga berakhir.

Interpol memperkirakan 15 hingga 30 persen dari semua kayu di seluruh dunia ditebang secara ilegal pada tahun 2019.

Skema sertifikasi keberlanjutan, seperti label 'Forestry Stewardship Council' (FSC), mencoba mengatakan jika kayu impor telah diawasi oleh pihak ketiga yang independen.

Namun, label FSC sendiri juga menjadi bahan penyelidikan.

Konsultan kehutanan Rob de FĂ©gely memimpin salah satu perusahaan pertama yang menerima sertifikasi di Papua Nugini pada tahun 2013.

"Anda tidak dapat membandingkan FSC di Australia, di mana hampir tidak mungkin untuk mendapatkannya, dengan negara berkembang di mana sertifikasi didapatkan dengan mudah," katanya.

"Itu bisa didapatkan secara legal tetapi tidak menjamin sudah dilakukan secara berkelanjutan."

Tak dapat tergantikan

Para pelaku lingkungan memuji berakhirnya  larangan penebangan hutan dengan tanaman asli khas Australia.

"Kebijakan baru ini sangat penting dan akan disambut dengan hangat oleh komunitas Australia Barat," kata direktur kampanye WA Forestry Alliance, Jess Beckerling.

Tapi pakar kehutanan dan produsen kayu menjadi memperdebatkan apakah budi daya hutan atau kebun dapat menggantikan tanaman asli yang diambil di hutan.

"Kami tidak pernah bisa menanam jarrah atau karri dengan baik di perkebunan," kata Rob, konsultan kehutanan di Australia.

"Tiga puluh tahun dianggap muda untuk kayu dari tanaman khas Australia, pasar tersebut lebih memilih kayu tua yang tumbuh lambat," kata konsultan kehutanan lainnya di Australia Barat, Andy Wright.

"Jika penebangan dihentikan, kemungkinan besar kayu itu tidak akan tersedia."

'Negara yang kaya dan egois'

Setidaknya satu produsen kayu di Australia Barat percaya jika Australia Barat bisa beradaptasi dengan pasokan kayu dari tanaman asli yang menyusut.

Dean Malcolm membuat dan menjual perabotan yang terbuat dari kayu asli di kawasan Albany.

Menurutnya semakin sedikit proses yang dilakukan, maka larangan penebangan hutan sebenarnya tidak akan terlalu berdampak. 

Tapi menurut Rob pasokan kayu menjadi sebuah pertanyaan terkait moral dan ekonomi.

"Australia memiliki lebih dari lima setengah hektar [hutan] untuk setiap pria, perempuan dan anak di Australia, sedangkan rata-rata di negara lain jumlahnya hanya setengah hektar," katanya.

"Seharusnya kita tidak menekan negara lain untuk mengambil sumber daya alam mereka, sementara kita tidak memanfaatkan sumber daya sendiri, yang kita tahu bisa dilakukan secara berkelanjutan."

"Saya rasa kita hanya berperilaku seperti negara kaya dan egois."

Artikel ini dirangkum dan diproduksi oleh Mariah Papadopoulos dari laporannya dalam bahasa Inggris