Sekolah di Afghanistan Dibuka Kembali, Tanpa Kehadiran Murid Perempuan
- bbc
Taliban mengecualikan para siswa perempuan dari sekolah menengah di Afghanistan, dan hanya murid laki-laki dan guru pria yang diizinkan kembali ke ruang-ruang kelas.
Para murid perempuan berkata kepada BBC bahwa mereka sangat terpukul lantaran tidak bisa kembali bersekolah.
"Semuanya terlihat amat gelap," ujar salah-seorang siswi.
Para pejabat Taliban - yang merebut kekuasaan bulan lalu - mengatakan mereka tengah bekerja guna mencapai keputusan perihal persoalan tersebut.
Banyak yang khawatir akan kembalinya rezim tahun 1990-an ketika Taliban sangat membatasi hak-hak anak perempuan dan kaum perempuan.
Di bawah pemerintahan baru mereka, para pejabat Taliban mengatakan bahwa perempuan akan diizinkan untuk belajar dan bekerja sesuai dengan interpretasi kelompok tersebut atas hukum Islam.
Tetapi para perempuan yang bekerja telah diberitahu agar tinggal di rumah sampai situasi keamanan membaik, dan para petempur Taliban memukuli para perempuan yang memprotes pemerintahan sementara yang semuanya laki-laki.
Pada hari Jumat, Taliban sepertinya telah menutup kementerian urusan perempuan dan menggantinya dengan sebuah departemen yang pernah menegakkan doktrin agama yang ketat.
`Saya sangat khawatir tentang masa depan saya`
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan menjelang pembukaan kembali sekolah di Afghanistan pada hari Sabtu (18/09), menyebutkan: "Semua guru pria dan murid laki-laki harus datang ke sekolahnya masing-masing."
Sekolah menengah biasanya untuk para siswa berusia antara 13 dan 18 tahun, dan sebagian besar digelar secara terpisah antara siswa perempuan dan lelaki.
Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, belakangan dikutip Kantor Berita Afghanistan, Bakhtar, mengatakan bahwa sekolah untuk perempuan akan segera dibuka.
Dia mengatakan para pejabat terkait saat ini sedang menyiapkan "prosedur" secara rincin untuk masalah ini, termasuk tentang pembagian kerja para guru.
Zabihullah mengatakan kepada BBC bahwa para pejabat terkait juga mencoba untuk memilah-milah transportasi untuk siswa perempuan yang lebih tua.
Para siswi dan orang tuanya mengatakan prospek mereka suram.
"Saya sangat khawatir tentang masa depan saya," kata seorang murid perempuan Afghanistan, yang berharap kelak menjalani profesi pengacara.
"Semuanya terlihat amat gelap. Setiap hari saya bangun dan bertanya pada diri sendiri mengapa saya hidup?
"Haruskah saya tinggal di rumah dan menunggu seseorang mengetuk pintu dan meminta saya untuk menikah dengannya? Apakah ini tujuan menjadi seorang perempuan?"
Ayahnya berujar: "Ibu saya buta huruf, dan ayah saya terus-menerus menggertaknya dan menyebutnya idiot. Saya tak ingin putri saya menjadi seperti ibu saya."
`Saya ingin menjadi dokter! Dan mimpi itu telah sirna...`
Siswi lainnya, yang berusia 16 tahun dari Kabul, mengatakan hal itu merupakan "hari yang menyedihkan".
"Saya ingin menjadi dokter! Dan mimpi itu telah sirna. Saya tidak berpikir mereka akan mengizinkan kita kembali ke sekolah. Bahkan jika mereka membuka sekolah menengah lagi, mereka tidak ingin para perempuan menjadi terpelajar."
Awal pekan ini, Taliban mengumumkan bahwa kaum perempuan akan diizinkan untuk melanjutkan studi ke bangku kuliah.
Namun mereka tidak akan dapat mengikuti perkuliahan bersama para mahasiswa pria dan bakal ada tata cara berpakaian yang baru.
Sejumlah kalangan menduga aturan baru itu akan membuat kaum perempuan tersisih dari dunia pendidikan tinggi, karena pihak universitas tidak memiliki sumber daya untuk menyediakan kelas-kelas secara terpisah.
Membatasi para perempuan dari sekolah menengah berarti tidak ada yang bisa melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Semenjak Taliban digulingkan dari kekuasaan pada 2001, kemajuan luar biasa sudah dilakukan dalam meningkatkan keterjangkauan akses pendidikan dan tingkat melek huruf di Afghanistan - terutama bagi anak-anak perempuan dan kaum perempuan.
Jumlah anak perempuan di sekolah dasar meningkat dari nyaris nol menjadi 2,5 juta, sementara tingkat melek huruf perempuan hampir dua kali lipat dalam satu dekade menjadi 30%. Namun, banyak kemajuan yang lebih berarti dicapai di kawasan perkotaan.
"Ini adalah kemunduran dalam pendidikan kaum perempuan dan anak-anak perempuan Afghanistan," kata Nororya Nizhat, bekas juru bicara Kementerian Pendidikan.
"Ini mengingatkan semua orang tentang apa yang dilakukan Taliban di tahun 90-an. Kami mengakhirinya dengan generasi perempuan yang buta huruf dan tidak berpendidikan."