Bagaimana Para Influencer Dibayar Membungkam Demokrasi? Kasus Kenya
- bbc
Menghadapi pelecehan atau gangguan dari influencer (pemengaruh) Kenya di Twitter seperti bertempur dalam perang gerilya, menurut seorang aktivis yang terlibat pertarungan hukum demi menghentikan perubahan atas sebuah undang-undang.
"Serangan itu dilancarkan kepada Anda sampai membuat Anda lelah," kata Daisy Amdany kepada BBC tentang serangan Twitter yang dihadapi oleh mereka yang membela kasus tersebut.
Hinaan itu menyebabkan seorang aktivis memilih keluar dari gerakan kampanye dan "setidaknya membuat tiga orang lain berhenti karena hujatan serta hoaks yang menimpa mereka," katanya.
Amdany menanggapi laporan organisasi nirlaba Mozilla Foundation - berjudul "Di dalam dunia yang sarat disinformasi bayaran di Kenya" - yang memuat temuan mengejutkan.
Ini menunjukkan bagaimana para penyandang dana membayar pasukan influencer di Twitter untuk menggalang kampanye disinformasi demi mendukung amandemen undang-undang dasar yang didukung pemerintah, yang dikenal sebagai Building Bridges Initiative (BBI).
RUU amandemen itu diklaim sebagai upaya mencegah kecurangan dalam pemilu, tapi dikritik sebagian kalangan karena malah dianggap akan melanggengkan kekuasaan para elit.
Pencurian tagar
Menurut penelitian yang dilakukan antara Mei dan Juni 2021, mereka dibayar untuk secara langsung melecehkan dan mendiskreditkan jurnalis, hakim, dan aktivis di Twitter.
Tidak mengherankan Twitter menjadi sasaran, mengingat negara di Afrika bagian timur itu memilliki komunitas di dunia maya paling keras dan aktif, yang dikenal sebagai Kenya di Twitter (#KoT).
Penelitian ini menunjukkan bisnis disinformasi yang menguntungkan, pemengaruh untuk isu politik dibayar sentara Rp142.000 sampai Rp213.000 agar berpartisipasi di tiga kampanye setiap hari. Beberapa pemengaruh berhasil meningkatkan jumlah pengikut dan dibayar sekitar Rp3,5 juta per bulan.
Pembayaran dikirim langsung ke ponsel mereka melalui layanan perbankan seluler M-Pesa.
Pemengaruh yang diwawancarai menolak untuk mengungkap siapa yang membayar mereka, tapi ada seseorang yang memberi tahu para peneliti bahwa terkadang uang itu diberikan sebelum kampanye digaungkan dan kadang setelahnya.
Mereka yang berada di belakang gerakan kampanye menggunakan grup WhatsApp untuk mengirim konten buatan si pemengaruh beserta rincian instruksi.
Mereka diminta untuk mempromosikan tagar di Twitter, yang merupakan target utama.
Tujuannya untuk mengelabui orang agar berpikir bahwa opini yang sedang tren itu populer - setara dengan "membayar orang banyak agar muncul di rapat umum politik", kata peneltian itu.
Akun dinonaktifkan
Twitter diduga mendapat untung dari pemasangan iklan di kampanye disinformasi tersebut.
Agensi yang menjual iklan di Twitter di Kenya menawarkan tren yang dipromosikan seharga hampir Rp50 juta per hari, kata laporan itu.
"Meskipun kami tidak dapat secara independen mengonfirmasi aktivitas cuitan berbayar yang dijelaskan dalam laporan itu, kami dapat memastikan keberadaan setidaknya satu jaringan akun yang terkoordinasi," kata Twitter memberi tanggapan.
Sekitar 100 akun yang dijalankan oleh pemengaruh Kenya di Twitter itu kini telah dinonaktifkan oleh raksasa teknologi tersebut karena melanggar kebijakan manipulasi platform dan spam.
Suatu gelombang serangan yang dilancarkan kepada para hakim, contohnya, dimaksudkan untuk mendeskreditkan independensi mereka, dengan menggunakan tagar #hakimanarkis, #pembalasanperadilan, #keadilanuntukdijual.
Setiap dua hari, setidaknya satu kampanye disinformasi terungkap selama periode sebelum dan setelah putusan Pengadilan Tinggi pada bulan Mei.
Para hakim menyatakan proposal BBI itu ilegal dan inkonstitusional. Keputusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Banding pada Agustus -meskipun pertempuran berlanjut karena Jaksa Agung menolak putusan di Mahkamah Agung.
Semuanya dimulai di Twitter dengan foto-foto tentang orang-orang di balik penawaran untuk membatalkan BBI, yang berpendapat bahwa proses yang dijalankan untuk mengubah beleid itu cacat dan tidak konstitusional.
"Mereka berbicara tentang bagaimana kita tidak peduli pada perdamaian," jelas Amdany, yang termasuk di antara mereka yang meluncurkan Gerakan Linda Jatiba (dalam bahasa Swahili artinya "Lindungi Konstitusi") pada Februari.
"Bahwa kami adalah agen asing yang dibayar untuk mengacaukan negara atau [kami] orang-orang yang tidak bertanggung jawab, jahat, pembuat kekacauan, pembual."
"Banyak dari sebutan itu dipakai untuk memobilisasi kebencian dan melontarkan fitnah."
Aktivis juga digambarkan sebagai pihak yang didanai oleh Wakil Presiden William Ruto -lawan utama BBI.
Beberapa akun menggunakan gambar sugestif perempuan sebagai profil untuk memancing pria agar mengikuti mereka.
Ketakutan akan demokrasi
Laporan organisasi nirlaba Mozilla Foundation menemukan sedikit bukti bahwa disinformasi memengaruhi opini publik tentang proses pengadilan BBI.
Namun, pemengaruh yang disewa telah berhasil menakut-nakuti suara-suara kritis dari diskusi di Twitter, yang mana aktivis mengatakan mereka saat ini menyensor diri di platform tersebut.
"Yang sebelumnya menjadi tempat di mana seseorang dapat melakukan diskusi yang sehat tentang beragam topik, sekarang telah teracuni. Suara-suara yang berbeda akan sering ditemui bahwa seluruh pasukan akun bot akan menyerang Anda jika menyuarakan pendapat," kata seorang aktivis.
Amdany sepakat dengan hal itu -memutuskan untuk menghapus akun Twitter pribadinya beberapa waktu lalu karena diserang - meskipun organisasi hak-hak perempuan yang ia pimpin, Crawn Trust, tetap ada di Twitter.
Ada kekhawatiran praktik ini bisa berdampak jelang Pemilu yang dijadwalkan Agustus 2022.
Kekerasan mematikan telah merusak pemilu sebelumnya, tapi Twitter kini menjadi area yang memungkinkan debat politik berkembang.
"Twitter bisa menimbulkan pertumpahan darah karena terus melakukan pembiaran dalam platform mereka," laporan itu memperingatkan.
Pakar media sosial Samuel Kamau setuju bahwa banyak hal telah berubah.
"Mulanya media sosial adalah kekuatan untuk kebaikan dalam merevitalisasi demokrasi," katanya kepada BBC.
"Namun seiring berjalannya waktu, orang telah belajar bagaimana menggunakannya untuk memanipulasi opini publik. Pertanyaannya sekarang adalah apakah media sosial baik untuk demokrasi."
Bagi Brian Obilo, salah satu penulis laporan tersebut, salah satu solusi yang bisa dilakukan Twitter adalah menghentikan tren di masa-masa genting seperti pemilu.
"Twitter juga bisa mempekerjakan moderator manusia di beberapa negara untuk meninjau tren sebelum mencapai topik teratas," katanya kepada BBC.
Anda mungkin juga tertarik: