Kisah Juang Aktivis Perempuan Somalia Gagal Diculik dan Dibunuh
- bbc
"Kami tidak dapat membunuhmu di Somalia, dan sekarang kamu punya kebebasan di Inggris, sekarang kami akan membungkammu lewat Facebook."
Itu merupakan peringatan yang diterima aktivis pembela hak-hak perempuan Somalia yang sekarang tinggal di Inggris.
Hanna Paranta, yang dikenal sebagai Hanna Abubakar di dunia maya, membantu para penyintas pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga melalui halaman Facebooknya.
Ia mengatakan telah menerima panggilan telepon setahun lalu dari seseorang yang ikut menentang kampanyenya.
Perempuan 44 tahun itu mengatakan, fungsi laporan terkait aktivitas di Facebook diciptakan untuk memastikan ruang aman internet yang bebas dari kekerasan, tapi sekarang kondisinya jadi terbalik.
Halaman Facebook-nya memiliki 130.000 pengikut, tapi dia meyakini bahwa sebagian orang Somalia yang menetang kesetaraan perempuan, telah melaporkan media sosialnya itu sebagai upaya untuk membekukan akunnya.
Facebook mengatakan setiap laporan diperlakukan dengan serius dan diselidiki.
Makanan beracun
Kini tinggal di Inggris, Paranta pindah dari Somalia ke Swedia saat berusia tujuh tahun. Di sana, dia memulai karir sebagai pekerja sosial, dan dalam satu dekade terakhir ia mendedikasikan diri sebagai pembela hak-hak perempuan.
Dia mulai menolong korban kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan di kalangan diaspora Somalia di Swedia.
Di Somalia, dia juga terlibat dalam pelbagai gerakan badan amal - kadang hal ini mengganggu kelompok konservatif di negara mayoritas Muslim tersebut.
Ketika dia pergi ke Somalia, dia selalu didampingi oleh pengawal pribadi untuk melindunginya. Dan, pada kunjungan terakhir September 2020, seseorang berusaha untuk meracuni makanannya di sebuah hotel di Kota Mogadishu.
Beruntung, berkat petunjuk yang diterima, dia tak jadi memakan hidangan tersebut. Tapi kemudian geng bersenjata berusaha untuk menculiknya - para pengawal priadinya turun tangan, dan geng bersenjata itu melarikan diri.
Setelah meninggalkan Somalia, datanglah panggilan telepon dan sejak itu halaman Facebooknya sering dinonaktifkan atau dibatasi oleh raksasa media sosial tersebut.
Dia meyakini, mereka yang sering menentangnya berada di balik laporan-laporan ini, yang menginginkan akunnya ditutup permanen.
Meskipun menghadapi persoalan dengan Facebook, menurutnya perusahaan ini tak mampu untuk mengidentifikasi dan mengatur laporan-laporan palsu tersebut.
Dan, menurut Paranta, dia telah menjadi korban serangan massal yang terkoordinasi.
Laporan palsu
"Saya mulai menghubungi Facebook di bulan Desember. Saya mengatakan semuanya kepada mereka. Bahwa kelompok ini ingin menutup halaman akun saya, dan mengirim ancaman kepada saya, tapi tak ada yang mendengarkan," kata Paranta.
Dia yakin, orang-orang di balik laporan ini "memiliki grup pesan Facebook lebih dari 300 anggota, di mana mereka menargetkan dan melaporkan orang".
Seorang simpatisan Paranta bergabung dengan grup ini, dan mengirimkan tangkapan layar dari percakapan di dalamnya.
Tangkapan layar ini - juga rincian tentang keluhannya telah dilaporkan ke kepolisian Inggris - yang kemudian dikirim ke Facebook.
Sejumlah tangkapan layar percakapan orang-orang ini terkait dengan keberhasilan mereka dalam membatasi halaman Facebook Paranta dan berencana untuk menghapus akun YouTube-nya.
Paranta sendiri kecewa, karena Facebook telah membekukan akunnya tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu atas laporan-laporan yang masuk.
Saat menghadapi Facebook pun membuatnya frustasi: kerap dilempar ke departemen lainnya, atau dibiarkan berkomunikasi dengan pesan otomatis (bots).
Setelah BBC menghubungi Facebook untuk menanggapi tuduhan itu, Paranta mengatakan sejumlah pembatasan dalam halaman akunnya mulai dicabut beberapa bulan lalu, seperti fitur siaran-langsung atau live streaming.
Seorang juru bicara Facebook mengatakan, saat diskusi kritis diizinkan, pihaknya tidak membiarkan orang untuk melakukan "penyalahgunaan atau pelecehan" terhadap orang lain di Facebook.
"Kami menghapus konten kekerasan yang melanggar dalam aspek perhatian kami, dan penyelidikan kami tidak menemukan batasan dalam akun aktivis yang bersangkutan."
Perempuan-perempuan yang dipelihara
Amina Musse Wehelie, jurnalis dan pegiat kesehatan mental, menemukan ada seorang figur berpengaruh di Somalia yang menyokong kelompok-kelompok penggugat itu ke Facebook.
Bersama sejumlah laki-laki Somalia lainnya, pria itu telah "memelihara" para penggugat itu di diaspora dan mengerahkan mereka untuk memerangi para aktivis perempuan, ujar Wehelie.
"Mereka menghubungi ibu-ibu yang tidak punya pekerjaan atau tidak punya kerabat dekat - para perempuan yang sendirian dan merasa sangat jauh dari negeri mereka [Somalia].
"Mereka lantas bilang kepada ibu-ibu itu bahwa mereka `bisa berbuat apa saja` dan mereka itu `spesial.` Setelah itu para perempuan tersebut dibujuk untuk bekerja sama dengan mereka dan mendapat ditawari imbalan."
Maka muncul kampanye negatif dengan menyebarkan kabar-kabar bohong di media sosial atas para aktivis Somalia - dan serangan itu kian brutal terhadap Paranta dalam beberapa bulan terakhir.
"Pemimpin geng itu awalnya mengatakan bahwa saya menyelundupkan organ-organ tubuh.
"Lalu dia menuduh saya menjual para perempuan Somalia sebagai pekerja seks dan kini dia menuding saya berupaya membuat orang-orang Somalia pindah agama jadi umat Kristen," ujarnya.
Propaganda seperti ini membuat makin banyak yang melaporkan Paranta di Facebook, seakan-akan dia adalah seorang kriminal, dan itu kian menyulitkan dia untuk bekerja.
Bagi Wehelie dan Paranta, bahasa adalah alasan utama mengapa Facebook tidak menginvestigasi laporan-laporan palsu itu - dan mereka merasa tidak dianggap serius karena merupakan perempuan dari komunitas Somalia.
"Pandangan saya adalah saat orang-orang ini menggunakan bahasa mereka, Facebook tidak mengerti," kata Wehelie, yang menduga fungsi translasi di Facebook untuk Bahasa Somalia tidak berjalan baik.
Jurnalis itu yakin bahwa jalan keluarnya adalah Facebook perlu mempekerjakan lebih banyak orang Somalia untuk melakukan penerjemahan.
Sedangkan Paranta khawatir halamannya di Facebook akan terus jadi sasaran dan orang-orang yang dia tolong justru tidak akan punya siapa-siapa lagi untuk diandalkan.
Layla Mahmood merupakan reporter investigasi yang berbasis di London.
Anda mungkin juga tertarik dengan tayangan berikut ini: