Tidak Ada Jeans dan Musik Terdengar di Afghanistan
- visijobs.com
VIVA – Sebelum penerbangan AS terakhir meninggalkan Kabul pada Senin 30 Agustus 2021 tengah malam, banyak pemandangan mencolok dan suara kehidupan kota di Afghanistan bahkan mulai berubah. Mereka yang masih berada di negara itu berusaha menyesuaikan diri dengan gaya tegas pemerintah baru mereka, Taliban.
Taliban sejauh ini telah berusaha menunjukkan wajah yang lebih menenangkan kepada dunia. Tak ada hukuman keras dipertontonkan di depan publik dan tak ada larangan menggelar hiburan rakyat seperti yang mereka terapkan saat berkuasa dulu, sebelum digulingkan pasukan Sekutu pada 2001.
Kegiatan budaya diperbolehkan, kata mereka, sejauh tidak melanggar hukum Syariat dan budaya Islam Afghanistan. Otoritas Taliban di Kandahar, kota kelahiran gerakan itu, menerbitkan perintah formal pekan lalu yang melarang stasiun radio memutar musik dan suara penyiar perempuan.
Namun bagi kebanyakan orang, perintah formal tidak mereka perlukan.
Reklame warna-warni di depan salon-salon kecantikan sudah dicat ulang, jeans telah diganti dengan pakaian tradisional, dan stasiun radio mengubah menu siaran mereka dengan musik pop Hindi dan Persia, serta musik patriotik yang muram.
"Bukan karena Taliban memerintahkan kami mengubah apa pun, kami mengganti program sekarang karena kami tidak ingin Taliban memaksa kami berhenti siaran," kata Khalid Sediqqi, produser stasiun radio swasta di Kota Ghezni.
"Lagi pula tak seorang pun di negara ini berminat mencari hiburan, (karena) kami semua sedang syok," kata dia.
"Saya malah tak yakin ada orang yang menyalakan radio sekarang."
Selama 20 tahun hidup di bawah pemerintah dukungan Barat, budaya populer tumbuh di Kabul dan kota-kota lain yang diwarnai kemunculan tempat kebugaran, minuman berenergi, gaya rambut kekinian dan lagu-lagu pop yang berdencing-dencing.
Opera sabun dari Turki, program siaran panggilan di radio, dan pertunjukan bakat di televisi seperti 'Bintang Afghan' menjadi kegemaran masyarakat.
"Racun"
Bagi petinggi Taliban, yang banyak dibesarkan di madrasah dan mengalami tahun-tahun yang sulit akibat peperangan, perubahan itu dianggap sudah melampaui batas.
"Budaya kami telah teracuni, kami melihat pengaruh Rusia dan Amerika di mana saja bahkan pada makanan yang kami santap, sesuatu yang harus disadari oleh masyarakat dan perlu diubah," kata seorang komandan Taliban.
"Ini mungkin perlu waktu tapi itu akan terjadi." Di seluruh negeri, perubahan telah terlihat.
Meski petinggi Taliban berulang kali mengatakan pasukan mereka harus menghormati penduduk dan tidak sembarangan menghukum, banyak warga tidak percaya mereka mampu mengendalikan anggota-anggota yang ada di bawah.
"Tak ada musik di seluruh Kota Jalalabad, orang ketakutan dan khawatir dipukul Taliban," kata Naseem, mantan pejabat di provinsi timur, Nangarhar.
Zarifullah Sahel, wartawan lokal di Provinsi Laghman dekat Kabul, mengatakan bahwa kepala komisi budaya lokal Taliban memberi tahu stasiun radio pemerintah dan enam stasiun radio swasta untuk menyesuaikan siaran mereka agar sejalan dengan hukum Syariat.
Sejak itu, program musik dan program berita, politik, dan budaya yang tidak berkaitan dengan masalah agama telah dihentikan.
Namun meskipun perintah formal belum dikeluarkan, pesannya sudah terbaca dengan jelas: era kebebasan telah berakhir dan lebih aman untuk tidak terlihat mencolok.
"Saya takut menjadi target Taliban kalau saya terlihat memakai jeans atau pakaian Barat," kata Mustafa Ali Rahman, mantan petugas pajak di Provinsi Lagman.
"Tak ada yang tahu apa yang mungkin akan mereka lakukan untuk menghukum kami."
Seorang mantan aktivis sipil di kota utara, Mazar-i-Sharif, mengatakan toko dan restoran tampaknya sudah sepakat untuk mematikan radio.
"Tak ada peringatan soal musik, tapi kami sendirilah yang menghentikannya," kata dia. (Ant/Antara)