Masa Depan Afghanistan di Bawah Kekuasaan Taliban

Anak-anak calon pengungsi di Bandara Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/1stLt. Mark Andries/U.S. Marine Corps/Handout via REUTERS/aww

VIVA â€“ Amerika Serikat telah menyelesaikan penarikan tentaranya dari Afghanistan menandakan berakhirnya perang selama 20 tahun di negara itu dengan kembalinya Taliban menguasai negara itu. Taliban pun mendeklarasikan kemerdekaan penuh atas Afghanistan, usai tentara AS terakhir meninggalkan bandara Kabul, Selasa 31 Agustus 2021.

Dengan Taliban menguasai pemerintahan dan seluruh wilayah Afghanistan, timbul pertanyaan tentang nasib negara itu di bawah pemerintahan baru Taliban. Kini situasi di Afghanistan, di mana Taliban merebut kembali kekuasaan setelah 20 tahun dipaksa keluar oleh invasi pimpinan AS, tetap tidak stabil dan tidak pasti. 

Sistem keamanan, finansial, dan pemerintahan lumpuh usai Taliban mengambil alih Afghanistan dari pemerintahan sah Presiden Afghanistan Ashraf Ghani. Ribuan warga sipil melarikan diri dari rumahnya dan mengungsi ingin meninggalkan negara yang telah dilanda perang selama 20 tahun.

Taliban telah mengumumkan pembentukan negara Emirat Islam Afghanistan pada Kamis 18 Agustus 2021 usai merebut ibu kota Kabul. Taliban menyatakan mereka ingin membentuk "pemerintahan Islam yang inklusif" dengan faksi-faksi lain. Mereka melakukan negosiasi dengan politisi senior, termasuk para pemimpin di pemerintahan sebelumnya.

Mereka telah berjanji untuk menegakkan hukum Islam, dan akan menyediakan lingkungan yang aman untuk kembalinya kehidupan normal setelah beberapa dekade perang.

Mereka telah berjanji untuk menghormati hak-hak perempuan menurut syariat Islam, memaafkan mereka yang berperang melawan mereka, dan mencegah Afghanistan digunakan sebagai basis serangan teror. 

Pernyataan itu disampaikan oleh Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, dalam konferensi pers pertama mereka, 17 Agustus 2021. Mujahid menerangkan, terdapat perbedaan besar antara Taliban yang digulingkan AS pada 2001 dengan sikap mereka setelah kembali berkuasa. "Kami tak ingin mengulangi konflik dan perang apa pun, serta ingin meniadakan faktor-faktor konflik," katanya.

Namun, banyak warga Afghanistan tidak mempercayai Taliban. Mereka takut Taliban akan kembali menindas dan menerapkan hukum Islam yang keras, seperti ketika berkuasa pada 1996 hingga 2001. Ketika itu, wanita dilarang belajar di sekolah atau bekerja di luar rumah. Kaum perempuan harus memakai burka yang tertutup dan ditemani saudara laki-lakinya ketika keluar rumah. Taliban melarang musik, memotong tangan pencuri dan pezina dirajam.

Benjamin Jensen, pakar hubungan internasional dari Scowcroft Center for Strategy and Security seperti dikutip Atlanti Council, mengatakan Taliban memahami bahwa mereka tidak dapat memerintah Afghanistan dengan cara yang sama seperti pada tahun 1990-an. 

"Taliban akan bersikap keras dan menggulingkan hak asasi manusia, tetapi akan berusaha untuk menjaga negara itu tetap terhubung dengan dunia dan dolar bantuan mengalir. Kelompok tersebut kemungkinan ingin menghindari terulangnya kegagalan pemerintahan pada 1990-an dengan meminta banyak pejabat pemerintah untuk tetap berada di posisi teknis dan memastikan bahwa layanan dasar dan ekonomi terus berfungsi," katanya.

Pasukan Taliban dengan seragam taktikal bersenjata di Kabul Afghanistan

Photo :
  • Twitter @TalibanSoldiers

Setelah AS angkat kaki dari Afghanistan, China dan Rusia menyatakan bersedia mengembangkan hubungan dengan Taliban dan membantu membangun Afghanistan. China mengharapkan Afghanistan dapat mengadopsi kebijakan Islam moderat. China telah mengutip ekstremisme agama sebagai kekuatan destabilisasi di wilayah barat Xinjiang, dan telah lama khawatir bahwa wilayah yang dikuasai Taliban akan digunakan untuk menampung pasukan separatis.

Presiden China, Xi Jinping, mengatakan bahwa China mendorong semua faksi di Afghanistan membangun kerangka kerja politik inklusif dengan melibatkan beberapa pihak yang lebih luas. Afghanistan harus bisa mengambil kebijakan dalam dan luar negeri yang moderat, dan memutus hubungan dengan semua kelompok teroris agar bisa bergaul dengan dunia internasional, terutama negara tetangga.

Selain China dan Rusia, Iran secara implisit membuka peluang untuk menjalin relasi dengan Taliban. Presiden baru Iran, Ebrahim Raisi mengatakan "kegagalan militer" Amerika Serikat di Afghanistan akan memberikan peluang bagi perdamaian yang lebih langgeng di Afghanistan.

"Kekalahan militer Amerika dan penarikan mundur mereka harus menjadi kesempatan untuk memulihkan kehidupan, keamanan, dan perdamaian yang langgeng di Afghanistan," ujar Raisi sebagaimana dikutip stasiun televisi pemerintah Iran.

Hadapi Krisis Kemanusiaan

Tapi benarkah akan ada perdamaian panjang di Afghanistan? Warga Afghanistan masih hidup dalam ketakutan akan kembalinya interpretasi keras hukum Islam yang diberlakukan pemerintahan Taliban.

Ratusan ribu warga sipil Afghanistan putus asa ingin meninggalkan negaranya sendiri usai Taliban berkuasa. Lebih dari 123 ribu penduduk telah dievakuasi dari Kabul lewat operasi pengangkutan udara pimpinan AS sejak 14 Agustus 2021. Iran dan Pakistan saat ini sudah menampung 2,2 juta warga Afghanistan. 

Ribuan orang memadati bandara di Kabul untuk keluar dari Afghanistan.

Photo :
  • Twitter/Matthieu Aikins

Afghanistan menghadapi krisis kemanusiaan. Perang di Afghanistan telah menyebabkan ratusan ribu orang terlantar di tengah pandemi dan kekeringan parah yang mempengaruhi wilayah tersebut.  Puluhan ribu warga sipil di Afghanistan terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri.

"Saya merasa seperti saya bukan lagi menjadi bagian negara ini, dan saya tidak bisa memiliki kembali negara saya karena situasinya semakin hari semakin buruk," kata seorang wanita kepada Reuters.

"Kami membutuhkan waktu 20 tahun untuk membangun negara kami dan sekarang semuanya telah runtuh," tambah wanita lain.

Risiko kelaparan, penyakit dan penganiayaan meningkat pada 39 juta penduduk yang tetap berada di Afghanistan, kata Badan Pengungsi PBB. Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi mengatakan, 500.000 warga Afghanistan akan menghadapi kondisi krisis pada akhir tahun ini.

Benjamin Jensen mengatakan, krisis kemanusiaan dan terorisme tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kelompok-kelompok radikal seperti ISIS-K akan memanfaatkan krisis keamanan Afghanistan pasca-konflik untuk meradikalisasi pengikut generasi baru yang merasa ditinggalkan oleh institusi Barat.

ISIS-K atau lebih tepatnya Negara Islam Provinsi Khorasan (ISKP) merupakan kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di Afghanistan dan Pakistan. Mereka adalah kelompok yang paling ekstrem dan paling kejam dibandingkan semua milisi jihad di Afghanistan. Mereka dalang di balik tragedi bom bunuh diri di luar Bandara Kabul yang diperkirakan menewaskan 90 orang dan 150 orang terluka. 

ISIS-K menjadi ancaman keamanan domestik maupun internasional.  ISIS-K berupaya menyerang negara Barat, entitas internasional, dan kelompok kemanusiaan di mana pun mereka dapat menjangkau mereka.

Hilangnya Kebebasan 

Sementara itu, kaum Perempuan Afghanistan melihat tidak ada masa depan bagi mereka setelah Taliban berkuasa. Warga Afghanistan di provinsi-provinsi yang dikuasai Taliban menceritakan kehidupan di bawah pemerintahan Islamis fundamentalisnya.

Dilansir BBC, hari kerja bidan Nooria Haya secara rutin meliputi pertemuan dan diskusi dengan dokter laki-laki. Mereka membicarakan perawatan bagi penduduk setempat dan prioritas untuk klinik umum tempat ia bekerja di Ishkamish, sebuah distrik pedesaan dengan fasilitas terbatas di provinsi Takhar, perbatasan timur laut Afghanistan dengan Tajikistan.

Pembatasan Taliban pada perempuan dirasakan Nooria untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Baru-baru ini, perempuan berusia 29 tahun itu mendapati bahwa pertemuan antara staf laki-laki dan perempuan dilarang. Itu adalah perintah pertama yang diberikan Taliban kepada mereka ketika kelompok tersebut menguasai Ishkamish. 

Perempuan Afghanistan.

Photo :
  • Istimewa

Taliban berjanji menghormati hak perempuan Afghanistan menurut syariah (hukum Islam). Namun, mereka tak merinci aturan dan pembatasan macam apa yang bakal diterapkan terhadap perempuan.

Sejumlah kelompok advokasi hak-hak sipil khawatir kebebasan perempuan akan sangat dibatasi oleh Taliban. Aktivis Pashtana Durrani mengatakan, Taliban sedang mencari legitimasi dari semua negara-negara, agar diterima sebagai pemerintah Afghanistan yang sah. Tapi pada saat bersamaan, praktik apa yang mereka lakukan?

"Entah mereka tidak punya kendali atas prajurit di lapangan, atau ingin legitimasi tapi tidak mau bekerja. Itu adalah dua hal yang berbeda."

Durrani juga menekankan bahwa manakala Taliban berbicara soal hak-hak perempuan, kelompok itu menyampaikannya dalam istilah yang tidak jelas: apakah Taliban bicara soal hak perempuan untuk bepergian, hak bersosialisasi, hak politik, hak perwakilan dan/atau hak memilih? Tidak jelas apakah semua hak akan dijamin atau sebagian dari hak-hak tersebut, ujarnya.

Di lain pihak, ada perempuan Afghanistan yang menanti kesungguhan janji Taliban. "Jika kami bisa bekerja dan mendapat pendidikan, itulah definisi kebebasan buat saya, itu adalah batasan saya. Itu adalah batasan yang belum dilanggar Taliban," kata seorang perempuan Afghanistan.

"Selama hak saya untuk belajar dan bekerja dilindungi, saya tidak keberatan memakai hijab. Saya hidup di negara Islam dan saya bersedia menerima aturan busana Muslim—selama bukan burka karena itu bukan aturan busana Muslim."

Para perempuan di Afghanistan kini harus menunggu bagaimana nasib mereka di bawah kekuasaan Taliban, selagi kerisauan dan ketidakpastian tercipta manakala tidak ada pemerintahan yang berfungsi.