Malaysia di Tengah Krisis Politik dan Sistem Kesehatan Hampir Ambruk
- abc
Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengundurkan diri setelah kehilangan dukungan mayoritas di parlemen, menyusul ketidakpuasan publik dalam cara pemerintah menangani COVID.
Malaysia terus mengalami peningkatan kasus dan kematian akibat COVID, meski sudah menerapkan kebijakan 'lockdown' secara nasional sejak bulan Mei.
PM Muhyiddin Yassin menyerahkan kembali kekuasaan kepada Yang Dipertuan Agung hari Senin, setelah kehilangan dukungan mayoritas di parlemen.
Namun, ia masih akan terus menjalankan pemerintahan sementara mengingat pemilihan umum tidak aman untuk dilaksanakan dalam situasi pandemi saat ini.
"Negara sedang dalam keadaan lockdown, warga kehilangan pekerjaan, tingkat bunuh diri mengkhawatirkan, dan yang paling penting adalah sistem layanan kesehatan kini kewalahan dan hampir ambruk," kata Vinod Balasubramaniam, pakar penyakit menular di Monash University Malaysia.
Angka kasus resmi COVID sudah melewati 1 juta kasus di bulan Juli dan terus meningkat dengan cepat.
Hari Jumat minggu lalu, pihak berwenang melaporkan angka kasus tertinggi harian yakni 21.468 kasus.
Salah seorang warga, Niresh Kaur, sedang mengalami salah satu masa paling sulit dalam hidupnya.
Virus menyebar di keluarganya pada bulan Mei di saat Malaysia memasuki lockdown nasional yang ketiga.
Ayahnya, saudara laki-laki dan keponakannya sudah sembuh, tetapi ibunya akhirnya meninggal dunia karena COVID.
"Kondisinya memburuk dan saya mengalami masa-masa yang sangat menyedihkan selama dua minggu lamanya," kata Kaur.
"Ibu meninggal dunia dua minggu setelah terkena virus."
Ratusan orang meninggal dunia setiap hari di Malaysia karena COVID dengan jumlah kematian total sekarang sudah melebihi 12.500 orang.
Ketika Malaysia memasuki lockdown total di awal Juni, jumlah kasus hariannya masih kisaran 7 ribu kasus, namun sekarang jumlahnya meningkat tiga kali lipat meski pergerakan warga sangat dibatasi.
Malaysia tidak memiliki pemerintahan 'yang stabil'
Seorang dokter yang tinggal di ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur, Sarah Aliah Azman, sudah terlibat dalam penanganan pasien sejak pandemi dimulai.
Menurut Sarah, dalam beberapa bulan terakhir kebanyakan pasien COVID tidak mendapatkan perawatan yang memadai karena tidak tersedia tempat tidur dan dokter untuk merawat mereka.
"Saya melihat keluarga saya terinfeksi dalam waktu bersamaan, dan anak-anak kehilangan orangtua yang meninggal karena COVID-19."
Seperti yang dialami negara-negara tetangganya, Indonesia, Vietnam dan Thailand, penyebaran varian Delta sulit dibendung di kawasan padat penduduk di Malaysia.
Malaysia memiliki jumlah penduduk sebanyak 32 juta orang dengan 50 persen kasus terjadi di dan sekitar ibu kota Kuala Lumpur.
Dr Balasubramaniam dari Monash Malaysia mengatakan meski diberlakukan lockdown, banyak sektor ekonomi termasuk manufaktur tetap diizinkan beroperasi dengan kapasitas 50 sampai 60 persen. Tempat kerja yang sempit ini meningkatkan jumlah penularan.
Yang lain mengatakan, 'kekisruhan' di dunia politik menjadi penyebab memburuknya pandemi.
"Ada banyak masalah politik yang dialami oleh Malaysia, selain masalah kesehatan akibat virus dan varian Delta," kata Syed Mohamed Aljunid, seorang pakar masalah kesehatan Malaysia yang tinggal di Kuwait.
"Kita memerlukan pemerintahan yang stabil dan kuat bila kita ingin bisa menguasai pandemi."
Muhyiddin mulai menjadi Perdana Menteri di bulan Maret 2020 dengan kemenangan tipis di parlemen dan tanpa melalui proses pemilu.
Penentangan terhadap pemerintahannya meningkat dalam beberapa bulan terakhir, di tengah masalah ekonomi yang disebabkan karena pandemi dan lockdown.
Para pengunjuk rasa sudah mendesak Muhyiddin mengundurkan diri dan menyelenggarakan pemilu.
Sebuah survei yang dilakukan baru-baru ini oleh Australian National University (ANU) menyimpulkan bahwa 54 persen warga Malaysia 'sangat khawatir' akan adanya krisis ekonomi berkepanjangan karena COVID-19.
Nadiah Zul adalah seorang insinyur teknik mesin yang kehilangan pekerjaan di industri penerbangan ketika lockdown mulai diumumkan bulan Mei.
"Saya kira saya akan bisa bertahan karena hidup sendiri, namun kondisi sekarang sangat buruk untuk kesehatan mental saya," katanya.
"Kontrak saya tidak bisa diperpanjang, dan banyak perusahaan tempat saya melamar mengatakan tidak bisa menerima lamaran karena lockdown.
"Rasanya berat sekali, dan saya seperti ingin menyerah namun saya masih butuh uang untuk hidup."
Nadiah Zul mulai membuatdan berjualan kue, tapi hal yang sama juga dilakukan sebagian besar warga Malaysia yang kehilangan pekerjaan sehingga persaingan menjadi ketat.
"Tidak mudah juga berjualan karena banyak orang lain yang juga memulai bisnis untuk kelangsungan hidup mereka," katanya.
Tingkat vaksinasi di Malaysia cukup tinggi
Salah satu harapan yang ada adalah Malaysia memiliki tingkat vaksinasi yang lebih tinggi dari banyak negara tetangganya, termasuk Australia.
Pada awalnya, program vaksinasi Malaysia mendapat banyak kritikan, tetapi sekarang vaksinasi sudah dipercepat setelah adanya beberapa pusat vaksinasi massal.
Lebih dari 50 persen populasi Malaysia sudah menerima dosis pertama vaksin, dan 30 persen di antaranya sudah mendapatkan vaksinasi penuh.
Mereka yang sudah divaksinasi penuh di beberapa negara bagian di Malaysia sudah mendapat pengecualian dari lockdown, termasuk boleh makan di restoran.
Namun sekarang ada kekhawatiran akan ketergantungan kepada pusat vaksinasi massal yang bisa menjadi tempat penyebaran kasus baru.
Bulan Juli, sebuah pusat vaksinasi di Kuala Lumpur harus ditutup setelah 204 staf dan relawan di sana terkena COVID.
"Satu-satunya cara untuk mendapatkan vaksinasi adalah mengunjungi pusat vaksinasi massal tersebut," kata Dr Syed.
"Kita harus melibatkan sektor kesehatan swasta dan para dokter umum dalam program vaksinasi untuk mengurangi beban sentra vaksinasi."
Dr Balasubramaniam mengatakan bahwa peningkatan vaksinasi telah memberikan 'harapan untuk mengurangi tingkat kematian dan tingkat infeksi yang parah", meskipun distribusi vaksinasi yang tidak merata juga menyebabkan kawasan pedesaan menjadi tertinggal.
Menurutnya, komunitas marjinal seperti warga asli, pengungsi dan juga kelompok pekerja migran asing yang jumlahnya besar di Malaysia mengalami kesulitan untuk mendapatkan vaksinasi.
Sementara itu Niresh Kaur memiliki harapan besar terhadap vaksinasi, tetapi ia menyayangkan mengapa program itu tidak dilakukan lebih cepat.
"Mungkin saja kalau ibu saya mendapat vaksinasi, dia masih bersama kami."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.