Unjuk Rasa Anti-Lockdown di Australia, Ini Hal yang Perlu Diketahui
- abc
Hampir setiap harinya, Ida Harding, warga Indonesia yang tinggal di Melbourne tidak pernah ketinggalan memantau perkembangan situasi COVID-19 lewat saluran televisi.
Ia bisa merasakan kesedihan mereka yang kehilangan anggota keluarganya karena COVID-19.
Kakak ipar Ida meninggal enam bulan lalu karena COVID.
Tapi perempuan berusia 55 tahun tersebut mengaku kecewa setelah ribuan warga Australia turun ke jalanan kota Sydney, Melbourne, dan Brisbane untuk berunjuk rasa menentang aturan lockdown.
"Rasanya sedih dan kecewa karena pemerintah sudah melarang orang berkerumun, namun mengapa masih ada yang berdemo," kata Ida yang sudah 35 tahun tinggal di Australia.
"Mereka tidak mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatan diri sendiri maupun orang lain," ujarnya.
Kekecewaan yang dirasakan Ida disampaikan juga oleh banyak warga Indonesia lainnya di Australia melalui akun sosial media mereka.
Beberapa malah mempertanyakan mengapa sejumlah warga di Australia melakukannya, padahal Pemerintah Australia sudah memberikan sejumlah bantuan finansial.
Apakah ini jadi bukti 'lockdown' berhasil?
Dr Rachael Diprose, dosen Ilmu Sosial dan Politik di University of Melbourne, yang juga pemerhati soal Indonesia mengatakan penolakan warga soal pembatasan aktivitas wajar terjadi di tengah situasi yang tidak menentu.
"Pandemi sudah berlangsung selama 18 bulan, dan ini telah mempengaruhi komunitas global maupun lokal," kata Rachael kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.
"Semua orang lelah dan menurut saya kita tidak dapat meremehkan dampak lockdown pada kesehatan mental, tantangan ekonomi, dan hilangnya mata pencaharian."
Ia mengatakan 'lockdown' memang penting untuk menghentikan penularan virus corona, sehingga reaksi warga yang menolak tidak bisa terhindarkan.
"Kita adalah makhluk sosial dan tidak mengejutkan beberapa orang di Australia maupun Indonesia merasa frustasi dan beberapa mau mengungkapkannya melalui demonstrasi," katanya.
Dokter Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University mengatakan bukan berarti pembatasan aktivitas warga di Australia tidak berhasil dan tidak bisa diterapkan di Indonesia.
Malah menurutnya pembatasan aktivitas di Pulau Jawa atau Indonesia secara umum sangat dibutuhkan.
Alasannya karena cara penanganan COVID-19 kedua negara "berbeda jauh".
"Kalau di Australia jauh lebih terkendali sebetulnya secara epidemiologi," kata dr Dicky kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Sehingga jelas bahwa urgensi adanya restriksi itu sangat besar di konteks Jawa atau Indonesia secara umum," katanya.
Masalah 'distrust' dan 'mistrust'
Salah satu pemicu demonstrasi menolak PPKM di Indonesia adalah "isu transparansi data", menurut dr Dicky.
Menurutnya selama ini narasi yang dibangun Pemerintah Indonesia adalah mereka menangani pandemi dengan baik, kasus yang menurun, dan masih ada kapasitas tempat tidur di rumah sakit.
"Padahal ... positivity rate meningkat, angka kematian meningkat," katanya.
Adanya kenyataan yang berbeda membuat masyarakat kurang percaya terhadap Pemerintah Indonesia.
"Distrust dan mistrust ini terjadi karena apa yang disampaikan oleh pemerintah berbeda dengan apa yang dilihat dan dialami masyarakat dalam kehidupan sehari-hari," kata dr Dicky.
"[Jumlah kasus] dikatakan turun, tapi banyak yang sakit di sekitar keluarga ... banyak kehilangan anggota keluarga," tambahnya.
Apa bedanya dengan 'lockdown di Australia'?
Jika di Indonesia warga tidak merasakan dampak pembatasan aktivitas terhadap angka penularan, hal ini berbeda dengan di Australia.
"Mereka [warga Australia] tahu lockdown akan membantu, karena pernah mengalami itu dan efektif. Mereka kembali pada kehidupan normal," katanya.
Justru, menurutnya warga Australia yang terlibat demonstrasi "belum melihat urgensi" dari 'lockdown'.
"Mereka masih percaya ada intervensi yang pemerintah bisa lakukan dan optimalkan dan sebelumnya efektif melindungi mereka," kata dr Dicky.
Wacana yang beredar di Australia saat ini adalah hingga kapan Australia bisa terlepas dari 'lockdown' jika kasus penularan masih terbilang sedikit dibandingkan negara lain.
Tapi dr Dicky mengatakan kebanyakan pengunjuk rasa akhir pekan kemarin adalah mereka yang percaya dengan teori konspirasi COVID-19.
Banyak pula yang keberatan untuk mendapat vaksinasi dengan alasan "kebebasan".
"Kalau melihat konteks Australia, saya melihat ada orang yang memang penganut teori konspirasi, hoaks segala macam," katanya.
Rakyat membutuhkan kejelasan
Pekan lalu, dalam seminggu terjadi sejumlah unjuk rasa menolak PPKM di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Bandung, Jawa Barat dan Madura, Jawa Timur.
Laporan media di Indonesia mengatakan alasan unjuk rasa disebabkan tidak sampainya bantuan sosial ke tangan warga serta lemahnya pelayanan kesehatan.
"Karena [demonstrasi] yang terjadi ini didukung oleh masyarakat lapisan menengah ke bawah yang sudah menderita 17 bulan dan mereka bisa anarkis," kata dr Dicky.
"Itulah sebabnya kita responnya tentu berbeda, bukan hanya menjelaskan. Harus dengan memberi support paket insentif, ekonomi, dan sosial."
Tapi bantuan keuangan dari Pemerintah Indonesia pun tidak menjadi jaminan jika tidak akan ada lagi demonstrasi 'anti-lockdown', seperti yang sudah terjadi di Australia.
"Kalau pemerintahnya tidak punya kejelasan, [demonstrasi] akan tetap ada," kata dr Dicky.
"Karena yang menjadi masalah itu kan juga kejelasan strategi, kejelasan support atau dukungan,"
"Dan kejelasan kita mau ke depan seperti apa," tambah dr Dicky.
"Itu yang di Indonesia menjadi masalah klasik dan besar hingga saat ini."