Putu Laxman Pendit Doktor Perpustakaan yang Tak Dapat Tempat di RI

Putu Pendit berbicara mewakili Australia untuk Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional - sektor pendidikan (Foto: Depdikbud RI)
Sumber :
  • abc

Putu Pendit yang lahir di Jakarta di tahun 1959 adalah satu dari sejauh ini tiga orang asal Indonesia yang memiliki gelar doktor di bidang perpustakaan dan informasi.

Darah pustakawan Putu Pendit mengalir dari ibunya, sementara ayahnya menekui dunia jurnalistik dari ayahnya.

"Ibu saya  Ni luh Putu Murtini pernah sekolah di Library School Columbia Univ. New York (1956-58) dan merupakan satu pustakawan Indonesia awal yang berpendidikan luar negeri dan terakhir bekerja sebagai Kepala Perpustakaan Yayasan Idayu," kata Putu Pendit kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

"Ayah saya Nyoman Suwandi Pendit pernah sekolah di Visva Bharati University (1954-58), Santiniketan, India di bidang sejarah dan agama.

"Ia seorang wartawan, sastrawan dan budayawan Hindu yang juga penulis artikel dan buku-buku pariwisata.  Tak kurang dari 70 buku ia tulis sepanjang hayat."

Menyelesaikan pendidikan S1 dari Sekolah Tinggi Publisistik (STP) di Jakarta tahun 1986, Putu pada awalnya menjadi dosen dan menekuni bidang Jurnalistik sebelum kemudian beralih ke bidang perpustakaan dan informasi.

Setelah beberapa tahun bekerja, Putu kemudian melanjutkan pendidikan S2 di  Loughborough University of Technology di Inggris di bidang perpustakaan dan informasi, hal yang diminatinya sejak dia berkecimpung di bidang jurnalistik.

"Saya mengalami mengalami sendiri betapa pentingnya sumber-sumber informasi dari perpustakaan. 

Sekembalinya dari Inggris, Putu Pendit kemudian mengajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Indonesia sejak tahun 1988 sampai tahun 2007.

Menurut Putu Pendit, ketika dia bersekolah di Inggris dan melakukan perjalanan di Eropa, dia melihat betapa pentingnya perpustakaan sebagai bagian dari negara untuk mencerdaskan bangsanya.

"Namun di Indonesia dunia perpustakaan dihantui oleh kelangkaan tenaga profesional dan terdidik, selain juga ketatnya pengawasan serta birokratisasi lembaga-lembaga negara di bawah pemerintahan Orde Baru.

"Tingkat buta huruf memang terus turun, tetapi minat dan kesempatan membaca buku yang baik tetap tidak berkembang di masyarakat."

Merintis pendidikan perpustakaan di Indonesia

Putu Pendit pulang dari Inggris saat rezim Orde Baru yang otoriter saat itu masih berkuasa. 

Ketersediaan sumber daya pustakawan ketika itu juga sangat memprihatinkan, dan mereka yang  bekerja di perpustakaan Indonesia kebanyakan orang-orang yang “terpaksa” menjalani profesi itu, atau bahkan orang-orang “buangan” yang tidak disukai di tempat lain.

Maka Putu Pendit berniat membantu mengembangkan perpustakaan dengan mendidik ahli-ahli yang profesional.

"Inilah satu-satunya alasan saya bersedia meninggalkan pekerjaan yang waktu itu cukup mapan di bidang kewartawanan dan “berpindah ladang” ke dunia akademik yang sebenarnya jauh lebih 'kering'," katanya kepada ABC Indonesia. 

Menurut Putu Pendit, di akhir 1980-an hanya ada dua perguruan tinggi yang mendidik sarjana bidang perpustakaan di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Tapi kini sudah ada setidaknya 60 perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan diploma, sarjana, dan magister di bidang perpustakaan.

"Menengok ke belakang, saya merasa cukup bangga dan berhasil mencapai cita-cita saya, sebab berhasil menegaskan bahwa profesi pustakawan memerlukan landasan keilmuan."

"Tahun 1993 saya bersama Profesor Sulistyo-Basuki mendirikan sekolah magister (strata-2) – sebuah sekolah jenis pertama di Indonesia untuk bidang perpustakaan.

Meski sempat mendapat tentangan, kelak dari sekolah ini lahir puluhan magister yang menyebar ke universitas-universitas di luar Jakarta dan Bandung, lalu mendirikan jurusan-jurusan ilmu perpustakaan di berbagai tempat di Indonesia.

"Banyak rekan akademisi yang pesimistis dan bahkan mencibir. Untung saja, pimpinan fakultas dan universitas tidak menolak upaya kami mendirikan pendidikan profesional S2 Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang pertama di Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Indonesia."

Diberhentikan Universitas Indonesia, menetap di Australia

Setelah mengajar selama beberapa tahun di UI membangun pondasi pendidikan profesional perpustakaan, Putu Pendit kemudian bersemangat untuk melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas RMIT yang membuatnya tinggal di Melbourne sampai sekarang.

Pada awalnya, Putu yang melanjutkan pendidikan di Australia atas biaya sendiri ingin mendirikan pendidikan S3 di Indonesia di bidang pendidikan perpustakaan serta membantu perpustakaan-perpustakaan di Indonesia beralih ke teknologi informasi.

"Namun sepulangnya dari Australia dengan berbekal gelar doktor, saya justru menghadapi resistensi di Universitas Indonesia."

"Rencana saya untuk bekerja sama dengan RMIT mendirikan program studi double-degree kurang diterima dengan alasan tidak menguntungkan Indonesia dan lebih menguntungkan RMIT," katanya lagi.

Dalam waktu bersamaan ketika itu, enam bulan setelah dia diwisuda di RMIT, Pemerintah Australia memberikan status permanent residence kepada keluarga Putu.

"Saya menghadapi dilema. Di satu sisi pihak kampus menegaskan saya harus hadir penuh di Indonesia sebagai dosen dan pegawai negeri, di lain sisi saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk keluarga tinggal di Australia, terutama bagi kepentingan kedua putri kami yang waktu itu masih setingkat SMP."

Putu Pendit kemudian menawarkan diri untuk hadir di Indonesia sebagai dosen tidak tetap dan hanya mengajar dua kali setahun selama 3 bulan dengan biaya transportasi yang ditanggung sendiri.

"Tetapi nampaknya tawaran saya ini tidak sesuai dengan skema kepegawaian UI waktu itu dan dengan berbagai cara yang sampai sekarang saya masih merasa diberlakukan tidak-adil, akhirnya saya diberhentikan secara tidak hormat pada tahun 2007 dan semua kegiatan serta upaya saya di UI selama ini dihapuskan dari catatan mereka."

Pemecatan itu menurut Putu terasa seperti sejarah yang berulang, karena ibunya juga pernah dipecat dari UI 41 tahun sebelumnya, meski dengan alasan yang berbeda.

"Ibu saya dulu pernah menjadi ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan di UI tahun 1964-1966 dan ketika Soeharto berkuasa, Ibu diberhentikan dengan tidak hormat  karena mengikuti Kongres Himpunan Sarjana Indonesia yang dianggap “kiri”," katanya.

Putu Pendit kemudian mengajar di RMIT di Melbourne, Australia, hingga tahun 2011 sembari terus ikut mengembangkan pendidikan perpustakaan di Indonesia.

Ia menekuni kajian perpustakaan digital, dan buah pemikirannya ini telah menjadi salah satu referensi ilmu perpustakaan di tanah air.

Dan karena kepakarannya itu, Putu Pendit hingga masih aktif dalam berbagai forum akademis, baik di Indonesia, Australia, sampai internasional.

Aktif di berbagai komunitas Indonesia di Melbourne

Putu yang dilahirkan dengan nama Laxman Sanjaya Pendit juga mencoba untuk aktif di berbagai komunitas Indonesia di Melbourne supaya bisa maksimal mempromosikan Indonesia, mengingat di kota ini "ada begitu banyak komunitas Indonesia yang terbagi-bagi menurut suku, agama, dan aliran politik."

"Saya terlibat dengan Museum of Indonesian Arts Inc sejak 2014 dan menjadi sekretaris di sana sampai sekarang, dan dengan teman-teman lain saya ikut mendirikan Forum Masyarakat Indonesia di Australia," kata suami dari Meily Zulia ini.

Pada tahun 2018 Putu Pendit bersama dengan Iben RH mendirikan komunitas Aneka Ria Melbourne, yang berisi penggemar musik pop Indonesia untuk "menjaga 'kewarasan' dan tetap menjaga keindonesiaan di perantauan."

"Mungkin ini terdengar klise, tetapi saya percaya bahwa bangsa Indonesia akan jadi besar kalau tetap bhinneka, dan tetap tunggal ika." katanya.