Palestina-Israel: Bagaimana Rasanya Hidup di Jalur Gaza?
- bbc
Jalur Gaza, dengan panjang 41 km dan lebar 10 km, merupakan rumah bagi dua juta orang. Kawasan itu berbatasan dengan Laut Mediterania, Israel, dan Mesir.
Ketegangan antara Gaza dan Israel baru-baru ini meningkat menjadi kekerasan terburuk selama beberapa tahun terakhir dan membuat PBB memperingatkan potensi terjadinya "perang skala penuh".
Awalnya diduduki oleh Mesir, Gaza direbut oleh Israel selama perang Timur Tengah 1967. Israel menarik pasukannya dan sekitar 7.000 pemukim pada tahun 2005.
Wilayah itu ada di bawah kendali kelompok Islam Hamas. Pada 2007, kelompok tersebut mengusir pasukan loyalis Otoritas Palestina (PA) yang saat itu memerintah. Kedua faksi terlibat aksi kekerasan dalam rangkaian peristiwa tersebut.
Baca juga:
Sejak itu, Israel dan Mesir telah membatasi pergerakan masuk-keluar barang dan orang di kawasan Jalur Gaza yang diklaim sebagai tindakan pengamanan terhadap militan.
Hamas dan Israel terlibat konflik singkat pada 2014, dan pada Mei 2021, permusuhan antara kedua belah pihak kembali pecah.
Apa yang memicu kekerasan terbaru?
Pertempuran Gaza dimulai setelah berminggu-minggu ketegangan antara Israel-Palestina di Yerusalem Timur yang diduduki. Ketegangan ini memuncak setelah terjadi bentrokan di situs suci yang dihormati oleh Muslim dan Yahudi.
Pada 10 Mei Hamas mulai menembakkan roket setelah memperingatkan Israel untuk mundur dari situs tersebut, yang memicu serangan udara balasan. Aksi balas membalas dengan cepat meningkat menjadi kekerasan terburuk antara Israel dan Gaza sejak 2014.
Roket merusak saluran listrik
Pemadaman listrik adalah kejadian sehari-hari di Gaza. Sebelum gelombang pertempuran terbaru, rumah tangga di Gaza menerima pasokan listrik dengan sistem rotasi selama delapan jam.
Kekerasan terbaru dilaporkan telah merusak saluran listrik dan mengganggu pasokan bahan bakar. Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Ocha), sebagian besar rumah sekarang menerima listrik hanya tiga-empat jam per hari.
Jalur itu mendapatkan sebagian besar pasokan listriknya dari Israel, satu-satunya pembangkit listrik di Gaza, sebagian kecil dari Mesir.
Baik Pembangkit Listrik Gaza (GPP) dan generator individu banyak orang bergantung pada bahan bakar diesel, tetapi pasokan yang dibawa melalui Israel sering kali diblokir sehingga menyebabkan lebih banyak gangguan.
Pintu perbatasan sering ditutup
Sejak Hamas berkuasa di Gaza pada 2007, Mesir telah menutup sebagian besar perbatasannya dengan Gaza.
Tahun lalu, pembatasan tambahan diberlakukan untuk mengatasi penyebaran virus corona.
Pintu perbatasan Rafah ke Mesir dan pintu perbatasan Erez ke Israel ditutup sekitar 240 hari dan hanya dibuka selama 125 hari pada tahun 2020, menurut data Ocha.
Pada 2019, sekitar 78.000 orang meninggalkan Gaza melalui pintu perbatasan Rafah, tetapi pada tahun 2020 jumlahnya turun menjadi 25.000.
Di utara, pintu perbatasan ke Israel di Erez juga turun drastis pada tahun 2020 - sebagian karena pembatasan pandemi. Tahun ini sekitar 8.000 orang telah meninggalkan Gaza melalui pintu perbatasan Erez, kebanyakan dari mereka adalah pasien atau orang-orang yang menemani mereka untuk mendapatkan perawatan medis di Israel.
Sebelum kekerasan terakhir berlangsung, lalu lintas mulai meningkat kembali. Beberapa konvoi bantuan telah diizinkan lewat, tetapi selain dari itu pintu perbatasan tetap ditutup.
Jaringan terowongan jadi target
Sekitar 80% populasi Gaza bergantung pada bantuan internasional, menurut PBB, dan sekitar satu juta orang bergantung pada bantuan makanan sehari-hari.
Blokade yang diberlakukan oleh Israel telah sangat memengaruhi pergerakan masuk dan keluar dari Jalur Gaza dan jalannya perdagangan.
Untuk mencoba mengatasi blokade, Hamas telah membangun jaringan terowongan yang digunakannya untuk membawa barang ke Jalur Gaza dan juga sebagai pusat komando bawah tanahnya.
Israel mengatakan terowongan juga digunakan oleh militan untuk bergerak dan menjadi sasaran serangan udara.
Virus corona juga berdampak pada ekonomi lokal, tetapi sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan, menurut Bank Dunia, ketika pertempuran meletus.
Padat penduduk dan rumah-rumah rusak
Gaza adalah salah satu wilayah dengan penduduk tertinggi di dunia. Menurut PBB, hampir 600.000 pengungsi di Gaza tinggal di delapan kamp yang penuh sesak.
Rata-rata ada lebih dari 5.700 orang per kilometer persegi - sangat mirip dengan kepadatan penduduk di London - tetapi angka itu meningkat menjadi lebih dari 9.000 di Kota Gaza.
Israel mendeklarasikan zona penyangga di sepanjang perbatasan pada tahun 2014 untuk melindungi diri dari serangan roket dan infiltrasi oleh militan.
Zona tersebut mengurangi jumlah lahan yang tersedia bagi orang untuk tinggal atau bertani.
PBB memperkirakan sekitar 140.000 rumah rusak atau hancur dalam kekerasan 2014. Sejak itu PBB telah memberi bantuan pada 90.000 keluarga untuk membangun kembali rumah mereka.
Ocha mengatakan beberapa ratus rumah telah rusak parah dalam pertempuran terakhir, tetapi akan membutuhkan waktu untuk mengungkap tingkat kerusakan sepenuhnya.
Layanan kesehatan di bawah tekanan
Sistem kesehatan masyarakat Gaza berada dalam kondisi genting karena berbagai alasan.
Ocha mengatakan blokade Israel dan Mesir, pengeluaran kesehatan yang rendah dari PA yang berbasis di Tepi Barat dan konflik politik internal PA - yang memiliki tanggung jawab untuk perawatan kesehatan di wilayah Palestina - dan Hamas adalah penyebabnya.
PBB membantu menjalankan 22 fasilitas kesehatan. Tetapi sejumlah rumah sakit dan klinik rusak atau hancur dalam konflik sebelumnya dengan Israel.
Pasien dari Gaza yang membutuhkan perawatan di Tepi Barat atau rumah sakit Yerusalem Timur harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan PA dan kemudian izin keluar yang disetujui oleh pemerintah Israel - pada tahun 2019, tingkat persetujuan untuk aplikasi pasien untuk meninggalkan Jalur Gaza adalah 65%.
Selama beberapa bulan terakhir, situasi kesehatan diperburuk oleh virus corona.
Pada bulan April, lonjakan kasus mencapai hampir 3.000 setiap hari di Gaza. Ada lebih dari 104.000 kasus sejak dimulainya pandemi dan lebih dari 946 orang telah meninggal karena virus tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa pembatasan perbatasan tidak hanya menghalangi perawatan yang dapat diterima warga, tetapi juga menghambat respons virus corona.
WHO mengatakan hal itu mempengaruhi program vaksinasi yang "kritis" dan meningkatkan risiko penyebaran virus saat orang mencari perlindungan dengan kerabat atau di tempat penampungan darurat.
Konvoi makanan terganggu
Lebih dari satu juta orang di Gaza digolongkan masuk kelompok "rawan pangan sedang sampai parah", menurut PBB, meskipun banyak yang menerima beberapa bentuk bantuan makanan.
Penyeberangan perbatasan telah dibuka untuk memungkinkan konvoi bantuan lewat, tetapi serangan telah menyebabkan beberapa gangguan pada pengiriman.
Pembatasan Israel atas akses ke lahan pertanian dan penangkapan ikan telah mengurangi jumlah makanan yang dapat diproduksi warga Gaza sendiri.
Mereka tidak diizinkan bertani di zona penyangga yang ditetapkan Israel - selebar 1,5 km di sisi perbatasan Gaza - dan ini telah menyebabkan hilangnya produksi sekitar 75.000 ton produk makanan dalam setahun.
Israel memberlakukan batasan penangkapan ikan yang berarti warga Gaza hanya dapat menangkap ikan dalam jarak tertentu dari pantai.
PBB mengatakan jika batasan itu dicabut, penangkapan ikan dapat menyediakan lapangan kerja dan sumber protein yang murah bagi rakyat Gaza.
Setelah peningkatan kekerasan terbaru, Israel untuk sementara melarang penangkapan ikan apa pun dari Jalur Gaza.
Selama bertahun-tahun telah ditetapkan batasan yang bervariasi pada zona penangkapan ikan, mengganggu mata pencaharian sekitar 5.000 nelayan dan pekerja terkait.
Kekurangan air adalah hal rutin
Kebanyakan orang di Gaza menderita kekurangan air. Air keran yang ada di sana asin dan tercemar, tidak layak untuk diminum.
Sementara sebagian besar rumah tangga Gaza menggunakan jaringan air pipa, Ocha mengatakan rumah tangga hanya menerima air enam-delapan jam setiap empat hari pada 2017 karena listrik yang tidak mencukupi.
Pasokan sudah berkurang banyak akibat serangan terbaru.
Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan kebutuhan minimum untuk kebutuhan air sehari-hari pada 100 liter per kepala - mencakup minum, mencuci, memasak, dan mandi. Di Gaza konsumsi rata-rata sekitar 88 liter.
Limbah adalah masalah lain. Meskipun 78% rumah tangga terhubung ke jaringan pembuangan limbah umum, instalasi pengolahan kelebihan beban.
Ocha mengatakan lebih dari seratus juta liter limbah yang diolah sebagian dan limbah mentah, dipompa ke Mediterania setiap hari.
Instalasi pengolahan air limbah baru mulai beroperasi pada awal 2021 untuk membantu mengatasi masalah tersebut.
Sekolah digunakan sebagai tempat berlindung
Banyak anak bersekolah di sekolah yang dikelola oleh PBB dan banyak dari sekolah itu menjadi tempat berlindung bagi orang-orang yang melarikan diri dari serangan yang terjadi.
Menurut badan pengungsi Palestina UNRWA, 64?ri 275 sekolahnya menjalankan sistem "sif ganda", yakni satu sekolah di pagi hari dan satu sekolah di sore hari.
Ukuran kelas rata-rata adalah sekitar 41 siswa pada tahun 2019.
Tingkat melek huruf bagi mereka yang berusia 15-19 tahun sekarang 99% - terus meningkat selama beberapa tahun terakhir.
Meskipun begitu, hanya ada sekitar 66% siswa yang bertahan di sekolah menengah hingga menyelesaikan sekolah menengah atas atau setara dengan kelas enam.
Pengangguran kaum muda yang tinggi
Gaza memiliki salah satu populasi termuda di dunia, dengan hampir 65% populasi di bawah 25 tahun, menurut CIA Factbook.
Banyak anak muda yang menganggur.
Sebuah laporan Ocha dari tahun 2020 mengatakan pengangguran kaum muda mencapai 70%, sebagian karena pandemi.