Indonesia Bantah Tuduhan Pakar PBB Soal Pelanggaran HAM di Mandalika
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.
VIVA – Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB dan organisasi lain internasional di Jenewa, menanggapi pernyataan pakar PBB, dan membantah tuduhan soal pelanggaran hak asasi manusia dalam proyek Mandalika di Lombok.
"Pemerintah Republik Indonesia berkeberatan terhadap rilis berita dari beberapa Special Procedures Mandate Holders (pemegang mandat prosedur khusus/SPMH) yang bertajuk 'Indonesia: Pakar PBB Mengungkapkan Adanya Permasalahan HAM pada Proyek Pariwisata Bernilai lebih dari US$3 Miliar' pada 31 Maret 2021," demikian pernyataan PTRI Jenewa yang dilaporkan Antara, Rabu 7 April 2021.
Pihak PTRI di Jenewa menyampaikan bahwa siaran pers pemegang mandat prosedur khusus PBB itu sangat disayangkan oleh Pemerintah Indonesia, karena salah mengartikan kasus sengketa hukum terkait dengan penjualan tanah, dan telah menempatkannya ke dalam narasi yang tidak tepat dan hiperbolik.
PTRI mengkritik keras narasi SPMH PBB yang dinilai salah saat mengeluarkan pernyataan "… menguji komitmen tinggi Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) serta hak asasi manusia yang mendasarinya."
PTRI menekankan bahwa sejak dicanangkannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Indonesia, sebagai proponen aktif SDGs, selalu menggarisbawahi bahwa SDGs hanya dapat dicapai dengan memajukan pilar pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan hidup secara seimbang.
Di tingkat nasional, Indonesia telah mengarusutamakan SDGs melalui berbagai kebijakan perencanaan pembangunan nasional.
Pada saat bersamaan, Indonesia telah melakukan dua kali tinjauan nasional sukarela (voluntary national review/VNR) terhadap pelaksanaan program SDGs, dan saat ini sedang mempersiapkan VNR ketiga yang dijadwalkan pada akhir tahun.
Komitmen yang kuat itu sekali lagi membuktikan bahwa Indonesia tidak memiliki niatan memperlambat perjalanan nasional dalam mencapai SDGs, kata pernyataan dari PTRI Jenewa.
Lebih lanjut PTRI menyoroti bahwa siaran pers seperti itu mencerminkan praktik SPMH yang selama ini telah menjadi sasaran kritik oleh banyak negara anggota PBB, yaitu kurangnya kemauan dari pihak SPMH untuk melakukan dialog konstruktif dengan negara bersangkutan tentang masalah yang ingin ditinjau.
"Jika dilakukan proses dialog, SPMH akan memiliki pengetahuan lebih banyak mengenai proyek Mandalika; berbagai potensi dan tantangan, serta upaya yang telah dan akan dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi tantangan tersebut, termasuk antara lain informasi mengenai mekanisme penyampaian pengaduan dan upaya hukum terkait sengketa," demikian pernyataan PTRI Jenewa.
Selain itu, menurut PTRI, melalui dialog yang konstruktif, SPMH juga akan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai tujuan dari proyek Mandalika, yakni terutama untuk memberdayakan masyarakat lokal, sekaligus meningkatkan penghidupan dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Sebagai negara pihak pada Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Indonesia akan terus menerapkan sepenuhnya perjanjian tersebut untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesia.
Hal itu termasuk menjamin hak-hak dasar bagi semua orang, termasuk akses terhadap air dan hak atas pangan, yang akan dipenuhi melalui berbagai proyek pembangunan berkelanjutan di seluruh negeri.
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia menegaskan kembali bahwa hak atas pembangunan harus terus dijamin, sehingga dapat secara merata memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan bagi generasi saat ini dan generasi mendatang.
Sebagai anggota Dewan HAM, Indonesia juga akan terus memajukan partisipasi inklusif dari semua lapisan masyarakat, termasuk komunitas lokal, dalam proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, dukungan dari semua pemangku kepentingan, termasuk dari SPMH, menjadi kunci.
Oleh karena itu, permasalahan yang diungkapkan oleh SPMH dalam rilis berita yang telah dikomunikasikan kepada Pemerintah Indonesia melalui surat bersama tertanggal 11 Maret 2021 juga akan segera ditanggapi oleh Pemerintah Indonesia.
Respons Pemerintah Indonesia akan berisi tinjauan yang komprehensif, faktual dan objektif atas berbagai kekhawatiran SPMH, serta berlandaskan pada aturan hukum.
"Dalam konteks ini, jelas tidak ada gunanya menerapkan pendekatan megafon yang hanya menampilkan 'cerita dari satu sisi'," kata PTRI Jenewa.
Pandangan yang terpolitisasi terhadap suatu isu tidak hanya akan semakin mengikis kepercayaan negara-negara terhadap SPMH tetapi juga merupakan penghinaan langsung terhadap Resolusi 60/251 tentang pembentukan Dewan HAM, serta Resolusi HAM 5/2 tentang Kode Etik Khusus Special Procedures Mandate-holders.
PTRI kembali menekankan bahwa pendekatan megafon "cerita satu sisi" akan berkontribusi pada peningkatan kekhawatiran, dan ketidakpercayaan di Dewan HAM PBB terhadap profesionalisme, dan kinerja beberapa pakar PBB.
Untuk itu, Indonesia menentang praktik semacam itu, yang merusak sistem prosedur khusus, dan yang terpenting, mengurangi kepercayaan negara, masyarakat sipil, serta pemangku kepentingan terkait lainnya, demikian pernyataan PTRI Jenewa.
Sebagai anggota Dewan HAM, Indonesia akan terus mendukung berbagai badan dan mekanisme HAM di PBB. Oleh karena itu, Indonesia akan senantiasa berupaya memelihara transparansi dan akuntabilitas kerja dari Pelapor Khusus PBB. (Antara/Ant)