14 Orang Divonis Bersalah dalam Serangan Majalah Satir Charlie Hebdo
- bbc
Serangan terhadap majalah Charlie Hebdo, seorang polisi wanita, dan supermarket Yahudi pada Januari 2015 menewaskan 17 orang.
Sebanyak 11 terdakwa hadir di pengadilan untuk menyaksikan putusan pada hari Rabu (16/11), dan tiga lainnya diadili secara in absentia.
Salah satu yang tidak hadir di pengadilan adalah Hayat Boumeddiene, pasangan Amedy Coulibaly yang tewas dalam serangan di supermarket, yang masih berstatus buron.
Boumeddiene, yang melarikan diri ke Suriah sepekan sebelum serangan, dinyatakan bersalah mendanai terorisme dan tergabung dalam jaringan teroris kriminal. Ia dijatuhi hukuman penjara 30 tahun.
Terdakwa utama di pengadilan, Ali Riza Polat, dinyatakan bersalah karena terlibat dalam kejahatan teroris dan juga dijatuhi hukuman penjara 30 tahun.
- Kabinet Prancis dukung RUU yang targetkan pendukung Islam radikal
- Serangan di Prancis, Macron serukan reformasi kebijakan perbatasan Uni Eropa
- Seruan boikot produk Prancis muncul di Indonesia, pengamat ekonomi: dampaknya `tidak signifikan`
Ke-14 komplotan Coulibaly dinyatakan bersalah atas berbagai dakwaan, mulai dari menjadi anggota jaringan kriminal hingga keterlibatan langsung dalam serangan Januari 2015. Dakwaan terorisme dibatalkan untuk enam dari 11 terdakwa di pengadilan yang dinyatakan bersalah atas kejahatan yang lebih ringan.
Tiga orang yang melakukan serangan pada tanggal 7-9 Januari 2015 tewas dan para komplotannya, yang pertama kali diadili pada awal September, dituduh menyediakan senjata atau memberikan dukungan logistik. Mereka semua membantah tuduhan tersebut.
Sidang ini, yang sempat ditunda berulang kali karena pandemi Covid-19, dilangsungkan dalam masa ketika Prancis sekali lagi menghadapi serangkaian serangan dari Islamis militan dan perdebatan baru tentang kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad.
Siapa saja ke-14 orang itu?
Polat, yang disebut sebagai tangan kanan Coulibaly, berperan penting dalam mempersiapkan serangan dan memiliki "pengetahuan terperinci tentang rencana sang teroris", kata jaksa. Pria berusia 35 tahun itu mengaku ikut serta dalam "penipuan" tetapi membantah mengetahui rencananya.
Tidak diketahui apakah tiga orang yang diadili secara in absentia itu masih hidup. Boumeddiene diperkirakan tewas dalam serangan udara AS, tetapi seorang jihadis perempuan berkata kepada dinas keamanan Prancis bahwa ia telah melarikan diri dari kamp tahanan militan akhir tahun lalu.
Boumeddiene berperan dalam mempersiapkan serangan dan menggunakan berbagai metode untuk membeli senjata, kata jaksa penuntut.Pengadilan Paris menyatakan 14 orang bersalah atas keterlibatan dalam serangkaian serangan mematikan oleh Islamis militan.
Mohamed Belhoucine, teman dekat Coulibaly, juga diadili secara in absentia dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Dia dituduh memberi si pembunuh dukungan operasional yang paling signifikan serta bertindak sebagai mentor agamanya.
Adik laki-lakinya, Mehdi, juga diadili secara in absentia karena membantu pelarian Hayat Boumeddiene; tetapi ia tidak dijatuhi hukuman setelah pengadilan memutuskan bahwa ia telah diadili dalam persidangan sebelumnya. Kedua bersaudara itu diyakini tewas.
Beberapa orang lainnya, termasuk Amar Ramdani dan Nezar Mickaël Pastor Alwatik, dinyatakan bersalah sebagai anggota jaringan teroris kriminal. Alwatik sempat satu penjara dengan Coulibaly dan DNA-nya ditemukan pada dua pistol di rumahnya, sedangkan Ramdani dituduh menyediakan senjata.
Kedua pria itu, bersama dengan Saïd Makhlouf, digambarkan sebagai bagian dari kelompok pendukung yang berbasis di Lille, Prancis utara.
Empat orang lainnya, yang berbasis di wilayah Ardennes di Belgia, dinyatakan bersalah sebagai bagian dari jaringan kriminal dan dijatuhi hukuman antara lima dan 10 tahun.
Banyak pertanyaan belum terjawab
Analisis oleh Hugh Schofield, koresponden Paris
Proses pengadilan ini telah difilmkan untuk catatan sejarah, dan kisah yang diceritakan oleh para penyintas dan yang berduka akan membentuk memori Prancis tentang peristiwa mengerikan ini. Namun dalam hal lain, pengadilan teroris terbesar di negara itu gagal memenuhi ekspektasinya.
Pemeriksaan mendalam terhadap bukti selama berminggu-minggu meninggalkan terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Semua terdakwa diduga terlibat dalam jaringan yang mengarah ke Amedy Coulibaly, si penyerang supermarket. Tapi bagaimana dengan Saïd dan Chérif Kouachi — para pria bersenjata yang menyerang Charlie Hebdo? Bagaimana mereka mendapatkan senjata mereka?
Apa peran militan ekstrem kanan Claude Hermant, yang telah diadili secara terpisah atas tuduhan non-teroris? Atau tiga orang yang tidak hadir yang melarikan diri ke Suriah sebelum serangan?
Dan siapakah sebenarnya dari al-Qaeda dan ISIS yang memerintahkan serangan itu, jika memang ada?
Orang-orang yang diadili terkesan seperti penjahat kelas teri. Mereka tidak tahu apa-apa atau sudah terlatih dengan baik dalam seni kebingungan. Semuanya mengatakan mereka sama sekali tidak menyadari niat jihadis Coulibaly, dan penuntut mendapati bahwa sulit untuk membuktikan sebaliknya.
Pengadilan ini barangkali menjadi momen katarsis - terutama bagi mereka yang masih menderita karena ingatan akan peristiwa-peristiwa ini - tapi faktanya, masih banyak hal yang belum terang benderang dari peristiwa itu.
Apa yang terjadi pada Januari 2015?
Pada tanggal 7 Januari 2015, Kouachi bersaudara menyerbu kantor redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris di Rue Nicolas-Appert kemudian menembaki stafnya dan membunuh 11 orang termasuk lima kartunis majalah satir tersebut.
Seorang petugas polisi dibunuh di luar gedung. Kouachi tewas dalam baku tembak dengan polisi dua hari kemudian.
Pada 8 Januari, Coulibaly menembak mati seorang polisi wanita di pinggiran kota Paris, Montrouge.
Keesokan harinya ia menyandera sejumlah pengunjung di supermarket halal Hyper Cacher, membunuh seorang karyawan dan tiga pelanggannya. Coulibaly akhirnya ditembak mati dalam penggerebekan polisi.
Charlie Hebdo menandai dimulainya persidangan pada September 2020 dengan mencetak ulang kartun kontroversial Nabi Muhammad yang memicu protes di beberapa negara mayoritas Muslim.
Bulan berikutnya, guru Samuel Paty dibunuh di dekat sekolahnya oleh seorang warga asal Chechnya, beberapa hari setelah guru tersebut menunjukkan sebagian kartun itu kepada murid-muridnya di kelas dalam pelajaran tentang kebebasan berekspresi.