Mahasiswa Indonesia Rayakan Kebebasan Usai Karantina di Darwin
- abc
Sudah dua hari Rifqi Susanto Putra, mahasiswa Indonesia, menghirup udara segar kota Darwin, Australia, di luar fasilitas karantina yang ia tinggali selama 14 hari.
"Senang sih, sudah tidak harus pakai masker lagi ... tapi sedih juga karena sudah tidak [sering] bertemu teman-teman di karantina lagi," kata Rifqi.
Rifqi adalah salah satu peserta rombongan mahasiswa internasional pertama yang diizinkan masuk Australia, sejak Australia menutup perbatasan akibat pandemi, 20 Maret lalu.
Nicholas Kurniawan, mahasiswa asal Jakarta lainnya yang juga ada dalam rombongan, mengatakan ikatan pertemanan dengan mahasiswa lainnya "terasa sangat kuat".
"Seperti saya dan Rifqi kan tidak kenal satu sama lain sebelumnya, tapi kita sudah kayak kenal lama," katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Karena semua mahasiswa sekitar jam 4 dan jam 5 sore sudah tidak ada aktivitas [saat karantina], sehingga suka mengobrol dan jadi dekat."
Ketika diizinkan untuk meninggalkan fasilitas karantina, Rifqi dan Nicholas segera melepas rindu pada masakan Indonesia dengan menyantap hidangan ayam penyet dan nasi goreng.
Kemarin (15/12), mereka menghadiri acara penyambutan di CDU yang dimeriahkan dengan "Larrakia smoking ceremony", atau upacara penyambutan oleh suku Aborigin.
Kedua mahasiswa jurusan memasak tersebut juga mendapat kesempatan mengitari pusat kota Darwin, yang menurut Nicholas "sangat berbeda" dengan Jakarta.
"Pertamanya sih saya pikir Darwin itu mungkin masih seperti kota tapi tidak bagus, ternyata tidak terlalu jauh-lah ekspektasi saya. Ternyata kota ini lumayan," kata dia.
Pengalaman saat dikarantina
Setelah tiba di Darwin 30 November lalu, 63 mahasiswa internasional langsung diarahkan ke pusat karantina Howard Springs yang berjarak sekitar 30km dari bandara.
Mahasiswa diberikan kamar masing-masing dan dites "swab" sebanyak sekali dalam seminggu.
Mereka diizinkan untuk berinteraksi selama 20 menit dalam sehari dengan tetap mengenakan masker, serta diperbolehkan untuk berenang sekali dua hari, selama 45 menit.
Rifqi mengatakan CDU juga menyelenggarakan beberapa aktivitas online saat karantina, seperti kelas zumba, salsa, serta webinar.
"Saya ikut semua [kegiatan] ... semua aktivitas yang ada coba diikuti karena saya mahasiswa baru, jadi tidak banyak aktivitasnya," kata Rifqi.
Selama masa karantina, ia mengaku menghabiskan banyak waktu dengan mahasiswa lainnya yang tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari Hong Kong dan Kanada.
Memilih Darwin karena dekat dengan Indonesia
Darwin menjadi kota tujuan pendidikan Nicholas karena ia sudah punya rencana jangka panjang sebelum meninggalkan Indonesia.
"Saya memilih Australia karena dekat dengan Indonesia, dan saya dengar Australia bagus untuk dunia "cookery" [masak]," katanya.
"Dan karena saya juga mau PR [menjadi warga tetap], keluarga saya juga di sini. Saya dengar juga poin visa di sini lebih besar dari negara bagian lain."
Sementara Rifqi memilih Darwin karena "tidak terlalu jauh dari Indonesia dan ada keluarga".
"Saya sih maunya kerja dulu, mengumpulkan uang, dan pulang hanya kalau liburan," katanya.
Rifqi dan Nicholas yang sama-sama mengambil jurusan memasak di Charles Darwin University dan akan mulai masuk kelas pada tanggal 1 Februari tahun depan.
Keduanya masih ingin menghabiskan waktu untuk mengenal lebih dekat kota yang akan mereka tinggali sampai dua hingga tiga tahun ke depan itu.
"Saya ingin coba makan Subway," kata Rifqi yang saat ini tinggal bersama tantenya.
Rencana penjemputan mahasiswa ke Darwin di tahun 2021
Nicholas tidak menyesali keputusannya untuk turut serta dalam program penjemputan ke Darwin.
"Menurut saya sih [program ini] worth it banget, karena yang saya tahu di Sydney untuk karantina saja sudah habis A$2,500, kalau ini ibarat gratis tiket pesawat atau karantina," katanya.
Wakil rektor CDU, Simon Maddocks, mengatakan berencana untuk membawa lebih banyak mahasiswa internasional ke Darwin tahun depan.
"Kami sudah menyusun rencana untuk melanjutkan penerbangan dari Januari tahun depan dan akan berjalan sepanjang pertengahan tahun," katanya.
"Tapi keputusan akhir ada di tangan pemerintah, karena ada standar imigrasi dan prosedur pengendalian perbatasan yang harus dipenuhi."
Laporan tambahan oleh Kate Ashton.
Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.