Inilah Lapangan Kerja yang Banyak Eksploitasi Migran di Australia
- abc
Sembilan dari 10 iklan lowongan kerja (loker) yang ditulis dalam bahasa asing dan menargetkan pekerja migran di Australia, secara terang-terangan menawarkan gaji di bawah ketentuan upah minimum.
Survei dilakukan terhadap 3.000 iklan lowongan kerja di Australia dalam bahasa Mandarin dan Spanyol. Hasil temuan survei menemukan 88 persen di antaranya menawarkan upah di bawah ketentuan badan pengawas ketenagakerjaan Australia sudah mengajukan gugatan atas nama 24 pekerja migran.
Kalangan serikat pekerja Australia menyebut ini mencerminkan semakin meningkatnya eksploitasi terhadap pekerja migran selama masa pandemi COVID-19.
Serikat pekerja Unions NSW melakukan survei terhadap 3.000 iklan lowongan kerja dalam bahasa asing seperti Mandarin dan Spanyol dan menemukan 88 persen iklan menawarkan gaji yang ilegal.
Survei juga menyebutkan lowongan kerja di sektor industri konstruksi dan "cleaning service" merupakan pelanggar terburuk.
Hasil survei menemukan iklan lowongan kerja yang menawarkan tarif gaji ilegal mengalami peningkatan lebih dari 14 persen selama pandemi COVID-19
Sementara itu, badan pengawas ketenagakerjaan di Australia, Fair Work Ombudsman (FWO), telah berupaya mengurangi penyelesaian perselisihan dan menghentikan kegiatan inspeksi langsung terhadap perusahaan.
Seorang pekerja asal Chili, sebut saja Anna, merupakan satu dari lebih sejuta pekerja migran di Australia saat ini.
Ia mendapatkan pekerjaan di bidang pelayanan kebersihan dengan bayaran murah.
Perempuan berusia 30 tahun, yang memiliki pengalaman profesional selama dua tahun dan sedang kuliah di Sydney, belum lama ini mencari lowongan kerja melalui situs "Gumtree".
"Saya melihat sebuah iklan yang mencari pekerja berpengalaman," katanya.
"Dia langsung menerima dan meminta saya mulai uji coba bekerja keesokan harinya," ujar Anna.
Flickr: Pam Loves Pie
Upah minimum untuk pekerja kebersihan dengan status pekerja kasual adalah AU$27.40 per jam, atau sekitar Rp270 ribu.
Tapi menurut Anna pemilik perusahaan "cleaning service" yang juga memiliki cabang di beberapa kota lainnya hanya menawarkan gaji $20 per jam.
"Saya bilang tidak mau karena gaji itu terlalu rendah dengan pengalaman dua tahun yang saya miliki," katanya.
Namun Anna akhirnya mau menerima tawaran gaji $25 per jam, yang sebenarnya masih di bawah ketentuan.
Takut visa dibatalkan
Pekerja migran yang berada di Australia dengan visa pelajar seperti Anna hanya diperbolehkan bekerja maksimal 20 jam seminggu selama menempuh pendidikan.
Tapi menurut Anna, pemilik perusahaan cleaning service itu memintanya bekerja lebih banyak dari batasan kerja 20 jam seminggu dan Anna setuju saja.
"Dia menawarkan untuk membayar 20 jam itu dengan sistem pajak. Sisanya akan dibayar tunai," katanya.
"Dia memang membayar yang 20 jam, tetapi sisanya tidak pernah saya dapatkan uangnya," ujar Anna.
"Dia aktif mencari orang untuk bekerja gratis, mempertahankan mereka sebisa mungkin. Ketika pekerja ini sadar tidak akan dibayar dan berhenti kerja, dia akan mengunggah lagi iklan lowongan kerja," jelasnya.
Anna pernah melapor ke FWO, namun pihak FWO tak bisa memberikan jaminan keamanan visa yang dimiliki Anna.
Ia pun mengaku tidak berani meneruskan kasus yang dialaminya karena khawatir visa pelajar yang dipegangnya akan dibatalkan.
Flickr: cbgrfx123 CC BY-SA 2.0
Jenis pekerjaan dengan upah di bawah ketentuan
Ketua Unions NSW, Mark Morey mengatakan survei terhadap iklan lowongan kerja menemukan sektor konstruksi sebagai industri yang paling buruk dalam hal pencurian upah pekerja migran.
Survei itu menyebutkan 97,3 persen pekerjaan konstruksi yang diiklankan dalam bahasa asing menawarkan gaji di bawah upah minimum.
Disusul oleh lowongan kerja "cleaning service" sebesar 91,8 persen, salon kecantikan 87,9 persen, makanan cepat saji 87,5 persen, pekerja ritel 87,1 persen, perhotelan 87 persen, serta sektor transportasi sebanyak 66,7 persen.
"Yang terjadi sekarang di negara ini adalah sistem hubungan industrial yang menyatu dengan sistem imigrasi," jelas Mark Morey.
"Kita memiliki lebih dari sejuta pekerja yang menggunakan berbagai macam visa. Selama COVID ini, sejumlah pengusaha semakin mengeksploitasi pekerja migran," katanya.
"Jadi sekarang di Australia ada angkatan kerja lapis kedua yang tidak bisa mendapatkan hak-hak mereka," ujar Mark.
Juru bicara FWO yang dihubungi ABC menjelaskan pihaknya menghentikan seluruh kegiatan inspeksi bisnis selama pandemi dan hanya melakukan pekerjaan di kantor.
Tidak ada lagi peninjauan ke lapangan jika ada laporan dari pekerja.
Namun ia mengatakan FWO telah melakukan upaya hukum atas nama 24 pekerja migran pada tahun anggaran lalu.
Ia menambahkan pihaknya berhasil memulihkan pembayaran $3 juta bagi pekerja migran melalui keputusan pengadilan.
Pengamat ketenagakerjaan dari University of Sydney, Profesor Chris F. Wright, mengatakan 24 kasus hukum yang ditangani FWO hanyalah sebagian kecil dari jumlah pekerja yang dieksploitasi.
Supplied
"Penelitian sebelumnya terkait permasalahan ini menunjukkan tingginya pekerja dengan visa sementara di Australia yang dibayar di bawah upah minimum," kata Profesor Chris.
Dia menilai FWO sudah melakukan tugasnya dengan baik, bila melihat keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki saat ini.
Menurut Profesor Chris, faktor lain yang menyebabkan tingginya eksloitasi pekerja migran yaitu terbatasnya akses serikat pekerja ke tempat kerja di sektor-sektor tersebut.
Dia mengatakan perubahan undang-undang hubungan industrial yang diajukan pekan lalu akan menguntungkan para pekerja migran.
Juru bicara Menteri Hubungan Industrial Australia, Christian Porter secara terpisah mengatakan perubahan UU ini akan memasukkan ancaman pidana baru, yakni berupa hukuman penjara hingga 4 tahun dan denda hingga $5,5 juta bila terbukti secara sengaja dan sistemik membayar gaji di bawah ketentuan.
"Sedangkan hukuman perdata untuk pembayaran gaji di bawah ketentuan, dendanya juga akan meningkat 50 persen dan mencakup dua atau tiga kali lipat dari hukuman maksimum," jelasnya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News