Kisah Orang Indonesia di Australia yang Belum Pensiun di Usia 70 Tahun
- abc
Sepuluh hari lagi, Sjahrir Laonggo akan meniup lilin ulang tahunnya ke-70, namun pria Indonesia yang tinggal di Perth, Australia ini sama sekali belum berencana untuk pensiun.
Sjahrir yang menjalankan bisnis daging halal bernama Langford Halal Butchers sejak tahun 2002 belum rela melepaskan para pelanggan yang dianggapnya "keluarga dan teman sendiri".
"Belum pernah terpikir [untuk pensiun] sampai saat ini karena terus terang, karena kebetulan pekerjaan ini saya ini bertemu banyak orang," kata Sjahrir kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Jadi saya hampir 20 tahun di butcher [toko daging] ini pelanggannya hampir 80 persen keluarga yang sama."
Di Australia, warganegara dan warga tetap yang sudah menginjak usia 66 tahun sudah bisa pensiun, namun tidak diwajibkan.
Bila mereka memutuskan pensiun, warga yang bersangkutan akan mendapatkan tunjangan hari tua dalam berbagai macam bentuk.
Walau memenuhi syarat, kakek dari tujuh orang cucu yang masih berpendapatan cukup ini belum mau menempuh pilihan tersebut.
Kini, satu-satunya layanan bagi warga senior Australia yang ia manfaatkan adalah "WA Seniors Card", yang memberikannya potongan harga untuk tagihan air hingga tiket menonton di bioskop.
"Belum akses tunjangan, karena mereka [pemerintah] lihat dari income [pendapatan] juga," kata Sjahrir yang tiba di Australia 46 tahun lalu sebagai seorang mahasiswa.
"Saya enjoy my work [menikmati kerja] dan istri tidak keberatan, karena kalau hari Minggu, waktu saya full [penuh] untuk keluarga."
Fleksibilitas sebagai seorang pemilik bisnis juga menjadi alasan lain mengapa Syahrir tetap mau bekerja selama hampir 40 jam setiap minggunya.
"Artinya saya bisa keluar anytime [kapanpun]. Jadi saya tidak ada beban tidak bisa kemana-mana," tutur pria asal Makassar ini.
"Mungkin kalau saya pegawai orang, saya sudah lama pensiun karena mungkin harus minta izin kalau berlibur. Kalau ini saya merasa tidak ada beban."
Sjahrir mengaku sebagai warga senior, ia sering merasa lelah ketika hendak berangkat kerja. Namun, semangatnya terbukti bisa mengalahkan kondisi alamiah tersebut.
"Saya pergi agak sakit dari rumah, sampai ke butcher [toko daging] kok hilang sakitnya?" tutur Sjahrir sambil tertawa.
Lebih dari 40 tahun masih mengemudi tram
Di usianya yang ke-70 tahun, warga Indonesia lainnya di Melbourne, Rum Ahmad juga mengaku tidak berniat pensiun.
Sejak bergabung menjadi pengemudi tram di Melbourne, Australia di tahun 1977, ia tidak pernah lagi pindah kerja sampai sekarang.
"Di [perusahaan] tram memang tidak ada keharusan. Memang boleh mengajukan pensiun setelah 65 tahun, tapi kalau mau kerja terus juga boleh, hanya harus cek kesehatan tiap tahun. Kalau hasilnya sehat, boleh terus bekerja," katanya.
Pendaratan pertama Rum di Australia adalah di Darwin pada tahun 1974.
Tiga bulan setelah bekerja kasar di Darwin, ia pindah ke Sydney dan bekerja di pabrik plastik dan ban sebelum akhirnya pindah ke Melbourne.
Karena merasa masih kuat dan sehat hingga saat ini, Rum yang tinggal berdua dengan istrinya, memilih untuk terus bekerja.
"Jadi buat apa saya berhenti bekerja, kalau masih mampu beraktivitas?" tutur ayah empat orang anak ini.
Pria berdarah Minang ini sudah dua kali memperoleh penghargaan jam tangan emas, karena masa kerjanya yang panjang.
"Yang pertama kali saat saya 20 tahun bekerja... kemudian dapat gold watch [jam tangan emas] lagi saat saya 40 tahun bekerja," katanya kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
"Semua yang sudah 40 tahun bekerja dikumpulkan dan ada pestanya, tapi khusus untuk orang Indonesia yang bekerja di transportasi publik di Australia, mungkin saya yang paling lama," ujar Rum.
Menurut Rum, pekerjaannya menyenangkan, salah satunya karena sebagai pengemudi tram, ia mempunyai hak cuti selama lima minggu.
Ia juga tidak pernah merasa menerima perlakuan tidak menyenangkan dari penumpang atau diperlakukan berbeda di tempat kerja, baik karena usia atau karena latar belakangnya sebagai imigran.
"Di tempat kerja semua sama saja, kami diperlakukan sama, termasuk soal penjadwalan kerja, misalnya," kata Rum yang saat ini mendapat giliran kerja sore sampai malam hari.
"Kalau pengalaman dengan penumpang, ya adalah misalnya penumpang yang melihat saya yang orang Asia dan marah-marah sendiri karena kami dapat pekerjaan yang enak dan mudah. Tapi ya mereka ngomel sendiri, saya diam saja sambil mendengarkan," tuturnya.
Rum mengaku sangat terbantu dalam menjalankan tugasnya karena ada sejumlah prosedur yang mengatur bagaimana mengatasi situasi-situasi tertentu, misalnya menghadapi penumpang yang mabuk atau sakit.
Disibukkan "Zoom meeting" di usia kepala tujuh
Serupa dengan Sjahrir dan Rum, Poppy Setiawan masih merasa prima ketika bekerja di usianya yang sudah di atas 70 tahun.
"Jadi saya baca tulis tidak pakai kacamata, pendengaran bagus, prima, dan masih bisa bawa mobil sendiri, tidak ada masalah," kata Poppy yang tinggal di Traralgon, 160km dari pusat kota Melbourne.
Sejak sepuluh tahun yang lalu, Poppy bergabung dengan sebuah perusahaan Inggris bernama "Goal Mapping" dengan tugas memberikan konsultasi kepada klien di Australia dan Indonesia tentang rencana masa depan, misalnya dalam pendidikan atau berkeluarga.
Hampir setiap hari, ia disibukkan dengan "Zoom meeting" untuk melayani klien, rekan kerja, hingga mahasiswa yang tergabung dalam seminar dari luar Australia.
Perbedaan waktu yang cukup signifikan dan teknologi tidak menjadi masalah bagi perempuan dengan enam cucu ini.
"Kalau saya rapat dengan [rekan kerja] di Inggris, mereka itu malam, saya di sini jam 4 subuh. Dan mereka rata-rata dua jam kalau "meeting". Jadi saya sudah biasa jam dibalik-balik tidak ada masalah," katanya.
Poppy yang datang ke Australia di tahun 2008 ini mengaku tidak punya masalah dengan teknologi.
"Menurut saya, saya masih bisa mengikuti era sekarang," kata Poppy yang memilih diwawancara lewat Zoom dengan Natasya Salim dari ABC Indonesia.
Meski dikelilingi teman sebaya yang sudah "pensiun dan tinggal menikmati" hidup, Poppy yang juga hidup dari tunjangan hari tua Pemerintah Australia belum mau berhenti bekerja.
"Saya make use of the situation [menggunakan situasi] supaya jadi fruitful [bermanfaat]. Kalau enggak, kan saya ngapain gitu loh?" katanya.
Sebelum pandemi di Australia, Poppy dan suaminya, Chandra Goenawan yang berusia sebaya dengannya, sibuk bekerja sebagai agen properti.
Mereka berdua mengurus tiga kamar Airbnb yang akan kembali beroperasi setelah aturan "lockdown" di pedalaman Victoria dilonggarkan 18 Oktober lalu.
Populasi warga senior yang bekerja di Australia meningkat
Di Australia, jumlah warga yang berusia lebih tua namun masih bekerja meningkat dari tahun ke tahun.
Di tahun 2018, misalnya, warga Australia berusia di atas 65 tahun memiliki angka partisipasi kerja sebesar 13 persen, dibandingkan tahun 2006 di mana hanya terdapat 6 persen.
Bagi Poppy yang hobi berkebun, usia seharusnya tidak menghalangi seseorang dari terus belajar.
"Kita juga mesti update, karena ini lebih baik daripada tidak tahu apa-apa," kata Poppy yang sering minta diajarkan tentang teknologi oleh anak muda.
Pesan penyemangat juga disampaikan oleh Sjahrir yang juga suka berkebun dan bersosialisasi dengan komunitas Indonesia di Perth.
"Selama masih punya semangat jangan berhenti … usahakan banyak membaca, aktif, bergerak, supaya semangat."
Sementara itu, meski mengaku akan terus bekerja selama kondisinya masih kuat, Rum tetap memiliki impian bagaimana ia akan menghabiskan masa pensiun nantinya.
"Pengennya cuma menjaga cucu-cucu saja," pungkas Kakek dari empat orang cucu ini.