Usai Jadi Pusat Penyebaran COVID-19, Wuhan Dibanjiri 18 Juta Turis
- abc
Enam bulan yang lalu, kampung halaman Yi Yu mengalami "lockdown" pertama dan salah satu yang paling ketat di dunia.
Tetapi selama pekan libur nasional "Golden Week" di China awal Oktober, jalan-jalan di Wuhan, kota asal penyebaran virus corona, terlihat ramai dikunjungi turis lokal.
"Saat keluar rumah, saya melihat banyak orang di jalan," kata Yi.
"Saya melihat banyak orang mengantri di depan warung makanan beberapa hari lalu. Saya tahu kebanyakan dari mereka adalah turis."
Wuhan kedatangan lebih dari 18 juta wisatawan selama "Golden Week" dari tanggal 1 sampai 8 Oktober, menurut data resmi Biro Pariwisata Wuhan.
"Golden Week" adalah hari libur selama seminggu untuk merayakan Hari Nasional di China dan biasanya membuat angka pariwisata melonjak.
Di tahun 2020 tentunya semuanya adalah turis lokal karena perbatasan negara masih ditutup.
Sekitar 637 juta warga China melakukan perjalanan selama "Golden Week" tahun ini, menyumbang 466,6 miliar yuan, atau lebih dari Rp 1 triliun ke perekonomian mereka, menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata China.
Salah satunya adalah Shengwei Ye, yang bulan lalu mengatakan kepada ABC jika tadinya ia ingin menghabiskan "Golden Week" di tengah pandemi.
Tahu ini, ia melakukan perjalanan dari rumahnya di Shenzhen di Xinjiang tenggara, rumah dari banyak warga Muslim Uyghur.
Shengwei, yang sering berpergian untuk urusan bisnis mengaku jika ia terkejut dengan padatnya bandara di pekan tersebut.
"Saya merasa ada lebih banyak orang dibandingkan liburan Tahun Baru Imlek," katanya.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata China mengatakan jumlah wisatawan saat "Golden Week" tahun ini mencapai 80 persen dibandingkan tahun lalu, sementara belanja pariwisata mencapai 70 persen dari sebelum pandemi.
Belum terjadi wabah besar baru
Meski ada pergerakan ratusan juta orang, belum ada laporan wabah baru COVID-19 seminggu setelah pariwisata marak kembali.
China mencatat 90.800 kasus dan lebih dari 4.700 kematian, menurut penghitungan Johns Hopkins University di Amerika Serikat.
Saat ini China hanya memiliki 622 kasus aktif, kebanyakan berasal dari warga yang kembali dari luar negeri.
Tapi di Qingdao, kota terbesar di provinsi Shandong di timur China, ada tren yang berbeda.
Tercatat ada 12 kasus penularan virus corona lokal di kota tersebut, tiga hari setelah "Golden Week" berakhir.
Rabu kemarin, dua penularan baru tercatat lagi di kota itu.
Sebagai tanggapannya, pihak berwenang segera melakukan tes COVID-19 secara masal di seluruh kota dengan melibatkan 9 juta orang dalam lima hari.
Sebelumnya, kasus penularan lokal terakhir di China terjadi pada pertengahan Agustus lalu.
Media pemerintah China memuji "sistem kode kesehatan" di negaranya, yang menggunakan aplikasi ponsel dan kode QR.
Aplikasi tersebut menyinkronkan kartu identitas warga dan riwayat perjalanan mereka.
Perangkat mereka memberikan sinyal kepada menara seluler terdekat untuk kemudian melacak keberadaan warga dan untuk memberitahu apakah penggunanya pernah ke area yang dianggap berisiko COVID-19 selama 14 hari terakhir.
Misalnya, jika seseorang pernah berada di Qingdao beberapa hari terakhir, kode QR mereka akan berwarna merah atau kuning, bukan hijau.
Teknologi pengenalan wajah juga diadopsi oleh pengelola transportasi umum untuk "memeriksa identitas dan tiket penumpang", menurut laporan Global Times.
Terkait tindakan COVID-19, Yi mengatakan Xinjiang memiliki sistem pemeriksaan suhu yang lebih canggih, tampak seperti pintu gerbang dan tanpa perlu kontak.
"[Mereka] bisa dilihat di mana-mana dan orang wajib pakai masker setiap saat," katanya.
"Polisi akan berpatroli di jalan untuk mengingatkan warga agar memakai masker mereka dengan benar."
Di Wuhan, masker sekarang hanya wajib digunakan di transportasi umum, tetapi Yi mengatakan kebanyakan orang terus memakainya.
"Orang-orang China patuh dan takut dengan apa yang terjadi awal tahun ini," katanya.
"Setelah situasi yang begitu mengerikan, yang menurut saya menjadi sebuah kerugian dan pelajaran besar, semua orang akan jauh lebih berhati-hati. Meski sekarang sudah jauh lebih aman".
"Tindakan kita sekecil apapun bisa menghindari masalah bagi kelompok besar, jadi mengapa tidak?"
Pandemi COVID-19 dalam kendali
Hui Yang, seorang profesor dan spesialis kesehatan dari Monash University di Melbourne, Australia, mengatakan China telah menangani pergerakan warga dalam jumlah besar dengan benar.
"Pendekatan China sangat ketat dan aktif. Pergerakan ratusan juta orang di dalam negeri dilengkapi dengan langkah-langkah perlindungan," katanya.
Dia mengatakan pihak berwenang "memantau secara ketat", seperti kontak dekat dari kasus yang dikonfirmasi, serta mengkategorikan area berdasarkan tingkat risiko melalui alat pelacakan kontak.
Mantan diplomat China Han Yang, yang sekarang tinggal di Sydney, mengatakan China relatif sukses dalam mengendalikan pandemi dibandingkan dengan banyak negara Barat, sebagian besar karena sistem politiknya.
"China adalah negara dengan sistem otokratis," katanya.
"Jika Pemerintah memprioritaskan sesuatu, seluruh negeri akan bergerak bersama di bawah perintahnya."
"Mobilisasi ini tidak ada di negara Barat. Terutama di negara federal seperti Amerika Serikat."
Diproduksi dan disunting oleh Erwin Renaldi dari laporan ABC News