Penyandang Disabilitas Hadapi Kesulitan Tambahan Saat Pandemi COVID-19
- abc
Sebagai seorang penyandang disabilitas, Ita Alimenia menyadari kepulangannya ke Indonesia setelah dua setengah tahun belajar di Australia butuh banyak persiapan.
Namun akibat pandemi COVID-19, lulusan S2 di bidang Rehabilitasi Konseling Penanganan Disabilitas dari Sydney University ini terpaksa pulang ke Indonesia lebih awal dari rencana semula.
Salah satu tantangannya setibanya di Indonesia adalah mencari rumah yang pas bagi dirinya yang menggunakan kursi roda dan terbiasa hidup sendiri
"Namanya sudah dadakan, kondisi seperti ini [pandemi] kan tidak semua orang mau menerima, takut. Ada orang yang punya rumah juga bilang, "Maaf, bukannya mau menolong, tapi dari luar negeri"," kata Ita.
Ita mengaku jika pengalamannya itu terjadi di Solo, setelah melakukan perjalanan dengan menyewa mobil dan sopir dari Jakarta.
Ia memilih untuk tidak bepergian dengan pesawat ke Solo dengan kondisi fisik yang "harus digendong" dan kemungkinan bertemu dengan lebih banyak orang.
Karena tidak menemukan tempat tinggal di Solo, Ita kemudian mencarinya di Yogyakarta, lalu Semarang, namun tidak berhasil juga.
Ia juga mengatakan belum lagi buka-tutup perbatasan di tiap provinsi yang tidak menentu dan menjadi tantangan lain baginya.
Selama proses mencari rumah, Ita bisa mengeluarkan ongkos satu kali perjalanan sebesar Rp2,5 juta yang harus ia bayar dengan uang tabungan sendiri.
Namun, semua pengorbanan ini rela dilakukannya untuk menghindarkan kemungkinan terpapar virus corona.
"Kalau dipikir-pikir [ongkos perjalanan] mahal juga, tapi harga kesehatan lebih mahal dari itu. Saya berpikir seperti itu. Sudahlah, mau bagaimana lagi?"
Akhirnya, Ita memutuskan untuk tinggal di Bogor bersama ibunya.
"Saya cari mobil, terus bawa kursi roda dua yang beratnya di atas 100kg, koper, dan ember. Akhirnya dapat "charter" [sewa mobil] karena saya tidak mau berinteraksi dengan siapapun."
Ita mengaku saat ini ia juga masih mengandalkan tabungannya untuk membayar listrik dan air di tempat tinggalnya, sambil menunggu mulai kerja.
Penyandang disabilitas makin sulit dapat kerja
Dua ribu kilometer dari Bogor, tepatnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), banyak warga difabel yang juga kesulitan mencari kerja.
Menurut sebuah survei yang diadakan oleh Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas Respon Covid-19, dari 205 responden difabel di NTT, hanya 22 persen di antaranya yang berpendapatan tetap.
Pandemi COVID-19 memperparah keadaan 50 persen warga difabel di provinsi tersebut, yang tidak atau belum memiliki penghasilan.
Yafas Aguson Lay, yang tangan kanannya harus diamputasi sejak 20 tahun yang lalu, adalah salah satu penyandang disabilitas yang saat ini tidak bekerja..
Karena sempat digaji di bawah UMR dan sering bekerja hingga larut malam, Yafas yang pada saat itu bekerja di perusahaan periklanan memutuskan untuk berhenti bekerja.
Saat ini, ia mengandalkan pendapatan dari istri, sementara ia melanjutkan kuliah S1 Hukum di Universitas Terbuka NTT.
Ia juga aktif sebagai direktur eksekutif dalam organisasi penyandang disabilitas bernama GARAMIN.
"Kalau di Kupang, memang pekerjaan teman-teman difabel belum terlalu luas juga jangkauannya," kata pria berusia 33 tahun tersebut.
"Pertama, karena mobilisasi kami juga dipertimbangkan bisa dan tidaknya, cepat dan lambatnya."
Karena kesulitan melamar kerja, Yafas mengatakan banyak dari mereka akhirnya menjalankan usaha sendiri.
Namun, pandemi COVID-19 menyebabkan semakin tak mudah untuk melakukannya.
"Dampaknya besar, karena memang ada faktor "social-distancing" sendiri, keluar rumah pun geraknya terbatas," kata Yafas kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"[Penyandang difabel] yang punya usaha kecil-kecilan kurang juga pendapatannya."
Dalam survei yang dilakukan Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas Respon Covid-19 diketahui hanya 30 persen dari 1.683 penyandang difabel yang paham mengenai virus tersebut dan protokol pencegahannya.
Berdasarkan data tersebut, perwakilan Institut Inklusif Indonesia, Aman Damanik mengatakan penyandang difabel memerlukan perhatian lebih khusus di masa pandemi.
"Difabel menjadi masyarakat yang paling rentan di masa pandemi ini, sehingga membutuhkan kebijakan dan penanganan yang inklusif sesuai dengan ragam disabilitasnya," katanya dalam webinar pemaparan hasil survei Juni lalu.
"Tidak bisa kalau tidak ada koneksi"
Ita paham sekali seberapa susahnya mencari pekerjaan sebagai seorang penyandang disabillitas.
Ketika baru mulai bekerja untuk orang lain, ia mengatakan sempat "mengalami perlakuan tidak manusiawi" hingga harus membuka usaha sendiri.
Ita yang adalah penerima beasiswa Australia Awards tidak dapat membayangkan rasanya harus melamar pekerjaan di tengah pandemi.
"Tidak bisa [cari kerja], jujur, kalau tidak ada "link" [koneksi]," ujar Ita yang terkena polio di usia satu tahun dan sempat lumpuh dari leher.
"Saya bayangkan, ke mana saya mau lamar [pekerjaan]? Walaupun saya lulusan Australia, lulusan Australia banyak. Tapi mereka bisa jalan, saya tidak."
Ia menambahkan, akses disabilitas perkotaan secara umum juga belum memadai bagi penyandang disabilitas, khususnya yang harus bermobilitas dengan kursi roda.