Pendaftar Visa Pelajar ke Australia Anjlok 60 Persen

Pernyataan PM Scott Morrison agar mahasiswa asing di Australia mempersiapkan diri untuk kembali ke negaranya di awal pandemi dinilai sangat memukul mereka.
Sumber :
  • abc

Pendaftar visa pelajar ke Australia anjlok hingga 60 persen pada semester pertama 2020. Sejumlah mahasiswa telah menyarankan rekan-rekannya agar jangan memilih negara ini sebagai tempat kuliah.

Jumlah Mahasiswa Anljok:
- Pada Juni 2020, hanya ada 4.062 permohonan visa pelajar ke Australia padahal Juni 2019 mencapai 34.015
- Sejumlah mahasiswa internasional saat ini menyarankan rekan-rekannya agar jangan kuliah ke Australia
- Mereka mengaku hanya dijadikan sapi perahan yang tak diperdulikan pada saat mereka butuh pertolongan

Data Departemen Dalam Negeri yang membawahi keimigrasian menunjukkan, selama periode Januari hingga Juli, tercatat hanya 72.397 permohonan visa pelajar dari luar Australia.

Angka ini sama dengan 40 persen dari total jumlah permohonan di periode yang sama tahun lalu atau terjadi penurunan hingga 60 persen.

Penurunan tajam tercatat dalam periode April 2020 ketika Australia semakin menutup perbatasannya.

Pada Juni, yang biasanya menjadi masa puncak pendaftaran, hanya ada 4.062 permohonan visa pelajar, padahal pada Juni tahun lalu ada lebih dari 34.000 permohonan.

"Anjlok sekali," ujar Dr Peter Hurley dari Victoria University ketika dihubungi ABC.

"Ini bukan hanya problem universitas. Mahasiswa internasional menyuntik perekonomian bukan hanya melalui uang kuliah. Jadi dampaknya akan terasa secara menyeluruh bila mereka tidak datang ke sini," jelasnya.

Sektor pendidikan internasional ditaksir menyumbang A$37,6 miliar ke perekonomian Australia tahun lalu.

Analisis dari Mitchell Institute memperkirakan Australia akan kehilangan A$19 miliar dari pembayaran uang kuliah mahasiswa asing untuk tiga tahun ke depan bila perbatasan negara tetap ditutup hingga akhir 2021.

Serikat pekerja pendidikan tinggi (NTEU) menyatakan sudah sekitar 12.500 orang di sektor ini kehilangan pekerjaan, sebagai dampak langsung hilangnya pemasukan dari uang kuliah mahasiswa asing.

Menurut Dr Hurley, skenario terburuk sedang terjadi saat ini, dan semakin lama perbatasan negara ditutup, akan semakin kecil pula kemungkinan mahasiswa asing datang ke Australia.

Namun penutupan perbatasan bukan satu-satunya faktor. Yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mahasiswa asing yang ada di Australia diperlakukan selama pandemi.

Kemarahan pada pemerintah

Kisah tentang eksploitasi, rasisme dan minimnya dukungan pemerintah kepada mahasiswa asing selama pandemi, menyebabkan mereka mengalami kekecewaan terhadap negara ini.

Sebuah survei terhadap lebih dari 5.000 mahasiswa asing bulan lalu menunjukkan 59 persen responden tak akan merekomendasikan Australia sebagai tempat kuliah.

Terlebih lagi, kesan ini dirasakan di kalangan mahasiswa asal China dan Nepal, dua negara utama penyumbang mahasiswa internasional ke Australia.

Sebanyak 79 persen mahasiswa asal China dan 69 persen mahasiswa asal Nepal menegaskan mereka tak akan merekomendasikan Australia sebagai tempat kuliah yang baik.

Rasisme terhadap mahasiswa asing begitu meluas sehingga seperempat responden mengaku pernah mengalaminya langsung. Bahkan bagi mahasiswa asal China, lebih dari separuhnya pernah mengalami.

Selama tujuh bulan pandemi, mahasiswa asing dan pekerja migran di Australia tak memenuhi syarat mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam program JobKeeper dan JobSeeker. Padahal, 70 persen di antaranya telah kehilangan pekerjaan.

Menurut Profesor Dr Laurie Berg dari University of Technology Sydney, pernyataan PM Scott Morrison pada April lalu telah menyakiti perasaan mahasiswa asing.

Saat itu, PM Morrison menyatakan agar mahasiswa asing mencari jalan untuk kembali saja ke negara masing-masing bila tak sanggup lagi tinggal di negara ini.

"Ribuan responden marah ke pemerintah Australia dan ratusan di antaranya menyebut langsung pernyataan perdana menteri itu," ujar Prof Laurie yang menulis laporan survei.

Survei ini juga menyebutkan 35 persen responden akan kehabisan dana pada bulan Oktober ini. Selain itu, sepertiga responden menyatakan akan meminta bantuan darurat untuk memenuhi kebutuhan dasar.


Swapna Karanam, seorang mahasiswa asing di La Trobe University Melbourne mengaku hanya bisa bertahan hingga akhir tahun nanti. (Supplied)

Hal itulah yang terjadi pada Swapna Karanam, seorang mahasiswa asal India yang kuliah S2 di LaTrobe University.

Sambil kuliah, dia bekerja sebagai pelayan restoran, namun telah diberhentikan sejak awal pandemi. Kini dia bertahan hidup dengan bantuan makanan dari badan amal setempat.

"Sejumlah LSM membantu memberikan makanan dan kupon belanja," ujarnya kepada ABC.

"Untuk bayar sewa rumah, dua bulan saya pakai tabungan, dan sesudah itu mengajukan permohonan bantuan," ujar mahasiswa jurusan teknik manufaktur ini.

Ia mengaku telah menerima bantuan pemerintah negara bagian Victoria sebesar A$3.000 (sekitar Rp 30 juta).

Rekan Swapna, Abhishek Chevella, sedikit lebih beruntung karena belum diberhentikan dari pekerjaannya sebagai pengantar koran.

Selama ini dia bisa menghasilkan hingga A$400 per minggu dipotong biaya bensin.

"A$400 ini tak cukup buat bayar sewa, tagihan dan biaya lainnya," katanya.

Abhishek terang-terangan mengaku kecewa pada Australia dan apa yang dialaminya selama pandemi menyebabkan dia tak mau merekomendasikan negara ini sebagai tempat kuliah.

"Maaf saja, saya tak bisa merekomendasikan teman-teman saya untuk datang kuliah ke Australia," ujar Abhishek.


Setelah menjalani pengalaman buruk, Abhishek Chevella menyatakan tidak akan merekomendasikan rekan-rekannya untuk kuliah di Australia. (Supplied)

Mitos tentang mahasiswa asing

Prof Laurie Berg menyatakan selama bertahun-tahun mahasiswa asing diperlakukan sebagai sapi perahan yang seringkali dieksploitasi bahkan sebelum pandemi.

"Banyak di antaranya yang merasa diperlakukan semata-mata sebagai sumber pemasukan yang tak pernah dipedulikan bila mereka butuh pertolongan," ujarnya.

Dr Peter Hurley sependapat. "Saya kira, ada mitos bahwa mahasiswa internasional itu kaya-raya," katanya.

"Sebagian memang kaya, namun banyak juga yang pas-pasan," tambahnya.

Dari pengalaman Abhishek terlihat, dia harus meminjam dana A$50.000 di India untuk bisa kuliah ke Australia.

Dia mengaku berani melakukan hal itu karena diyakinkan oleh agen pendidikan bahwa Australia adalah tempat kuliah terbaik di dunia.

"Semua konsultan di Hyderabad menyatakan Australialah yang terbaik. Katanya kita bisa kerja untuk membayar biaya kuliah," katanya.

Namun dia mengaku apa yang dialaminya sangat berbeda.


Tak adanya bantuan jangka panjang bagi mahasiswa asing selama pandemi di Australia menyebabkan reputasi negara ini sebagai tempat studi yang baik menjadi terganggu. (Unsplash: Nathan Dumlao)

Abhishek mengungkapkan, dia pernah bekerja di lima restoran yang membayarnya di bawah upah minimum.

Karena jam kerjanya sebagai penganyar koran telah dikurangi, maka penghasilannya pun menurun.

Kini Abhishek kesulitan membayar cicilan ke bank di India dengan bunga 13 persen.

Selain itu, tagihan uang sekolahnya di La Trobe Univesity juga sudah lewat tenggat waktu.

"Kami tak bisa menjangkau biaya hidup, pembatasan waktu kerja hanya 20 jam seminggu bagi mahasiswa asing, eksploitasi, semuanya jadi masalah bagi mahasiswa," katanya.

Menurut Pemerintah Federal, bila program bantuan JobKeeper dan JobSeeker diperluas untuk pemegang visa temporer termasuk mahasiswa asing, dibutuhkan biaya tambahan A$20 miliar.

Keputusan untuk tidak memperluas cakupan bantuan ini, menurut Prof Laurie Berg, telah merugikan reputasi Australia sendiri.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.