Pandemi COVID-19 di India Memicu Lonjakan Pernikahan dan Pekerja Anak
- bbc
Karantina wilayah yang diberlakukan di India mendorong sebagian orang tua memaksakan pernikahan dini kepada anak-anak mereka yang masih di bawah umur.
Anak perempuan berusia 13 tahun bernama Rani (bukan nama sebenarnya) baru saja memenangkan pergulatan pertama hidupnya. Orang tua Rani memaksanya menikah pertengahan tahun lalu.
Namun Rani mendapatkan bantuan dan mampu menggagalkan pernikahan tersebut.
Rani duduk di kelas delapan saat pemerintah India menerapkan karantina wilayah, Maret lalu. Kebijakan yang memaksa sekolah dan tempat usaha tutup, demi memotong penyebaran virus corona.
Sebulan setelahnya, ayah Rani yang tengah mengidap tuberculosis berkata telah menemukan `jodoh` untuknya.
Rani sedih. "Saya tidak tahu kenapa setiap orang tergesa-gesa memaksa saya menikah," ujarnya.
"Mereka tidak mengerti betapa pentingnya menyelesaikan sekolah, mendapatkan pekerjaan, dan menjadi orang yang independen," kata Rani.
Di India, perempuan berusia di bawah 18 tahun tidak diperbolehkan menikah. Meski begitu, India adalah negara dengan jumlah pernikahan anak tertinggi di dunia, berdasarkan catatan UNICEF.
Angka pernikahan anak di India itu diperkirakan melonjak tajam tahun 2020.
Pengelola layanan kontak bantuan khusus anak, Childline, menyebut aduan terkait pernikahan dini yang mereka terima meningkat hingga 17%. Persentase itu dihitung pada Juni-Juli lalu dibandingkan periode yang sama tahun 2019.
Jutaan orang di India kehilangan pekerjaan selama karantina wilayah yang berlangsung Maret hingga awal Juni lalu.
Sebagian besar dari mereka adalah pekerja informal yang tak memiliki jaminan sosial. Mereka semakin terperosok ke kemiskinan.
Selama karantina wilayah itu, menurut data pemerintah India, lebih dari 10 juta pekerja kembali ke daerah asal mereka di pedesaan.
Dalam situasi sulit itu, banyak orang tua di pedesaan menganggap menikahkan anak perempuan mereka akan menjamin kesejahteraan keluarga.
Walaupun India mulai melonggarkan aktivitas publik sejak Juni lalu, perekonomian domestik belum pulih. Sekolah masih ditutup sehingga aktivitas para remaja yang rentan itu berpusat di rumah.
Sekolah selama ini diyakini merupakan agen perubahan di India, terutama untuk masyarakat ekonomi bawah, salah satunya di negara bagian Odisha, kampung halaman Rani.
Sekolah adalah ruang di mana para perempuan muda itu bisa bertemu guru atau teman dan mendapat bantuan menghindari paksaan pernikahan dini dari keluarga.
Karena sekolah tak diizinkan beroperasi, anak-anak perempuan itu kini tak bisa mengakses ruang aman.
"Di masyarakat dengan kemiskinan ekstrem, anak-anak perempuan tidak didukung untuk bersekolah. Begitu mereka meninggalkan sekolah, sulit untuk meyakinkan keluarga untuk kembali melepas anak mereka," kata Smita Khanjow, dari Action Aid.
Action Aid selama ini bekerja sama dengan UNICEF untuk mengatasi persoalan pernikahan anak di lima negara bagian India.
Teman dekat Rani menggelar upacara pernikahan awal tahun ini. Namun Rani saat itu berhasil mengontak Childline dan menggagalkan seremoni tersebut.
Bersama lembaga masyarakat sipil lokal, polisi, dan pegiat Childline, Rani menghentikan upacara pernikahan itu.
Ternyata persoalan Rani tidak berhenti di situ. Tak lama setelah kejadian itu, ayahnya meninggal.
"Saya ingin kembali ke kelas saat sekolah dibuka. Saat ini saya paham, saya harus bekerja keras karena ayah sudah wafat," kata Rani.
"Adalah tugas saya untuk membantu ibu menopang keluarga kami," tuturnya.
"Saya tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan anak saya"
Ketakutan dan kecemasan sebenarnya juga dihadapi anak-anak lelaki di India. Khanjow berkata, lembaganya menemukan semakin banyak kasus di mana anak laki-laki dipaksa bekerja di pabrik untuk menafkahi keluarga.
Di India, mempekerjakan anak di bawah umur adalah perbuatan pidana. Namun berdasarkan sensus nasional tahun 2011, terdapat 10 juta dari total 260 juta anak di di negara itu yang berstatus pekerja anak.
Ini tentu bukan pilihan mudah bagi banyak keluarga. Setelah empat bulan karantina wilayah, Pankaj Lal menyerahkan anak laki-lakinya yang berusia 13 tahun ke penyalur tenaga kerja.
Lal beralasan, dia harus mendapatkan uang untuk memberi makan lima anaknya. Profesinya sebagai penarik becak tak cukup untuk membuat tungku dapurnya tetap mengepulkan asap.
Lal setuju mengirim anak laki-lakinya lebih dari seribu kilometer dari rumahnya di negara bagian Bihar ke Rajastan. Di sana, anaknya akan bekerja di pabrik gelang dengan upah sekitar Rp1 juta per bulan.
Nominal itu terhitung besar untuk sebuah keluarga yang tengah berusaha bertahan hidup.
Lal menangis ketika menceritakan keputusannya. "Anak saya belum makan dua hari," ujarnya.
"Saya yang secara sukarela menghubungi penyalur. Dia berkata, membutuhkan orang yang cekatan untuk lowongan itu. Jadi saya bukan orang yang dia cari.
"Saya tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan anak saya," kata Lal.
Meski pengetatan pergerakan orang selama karantina wilayah, penyalur tenaga kerja itu tetap bisa menggunakan `orang dalam` untuk memuluskan perjalanan anak laki-laki Lal. Mereka menggunakan jalur baru dan bus mewah.
Suresh Kumar, pegiat LSM Centre Direct, menyebut krisis sudah berada di depan mata. Selama 25 tahun, Kumar telah menyelamatkan anak di bawah umur dari pemasok pekerja anak.
"Jumlah anak yang kami selamatkan sudah berlipat ganda dibandingkan tahun lalu. Desa-desa kosong. Jumlah penyalur pekerja anak meningkat dan aktivitas mereka selama karantina merepotkan kepolisian," kata Kumar.
Di sisi lain, Childline menyebut ada penurunan jumlah aduan atau konsultasi tentang pekerja anak yang mereka terima. Menurut para aktivis, banyak anak bersedia membantu orang tua mereka.
Pemerintah India mengklaim telah mengambil tindakan untuk menghentikan perdagangan anak ini. Salah satu caranya, kata mereka, mengesahkan undang-undang yang memiliki substansi dan ancaman hukuman ketat.
Selain itu, pemerintah India mengklaim sudah memperkuat dan memperluas cakupan kerja tim antiperdagangan manusia selama karantina wilayah.
Setiap pemerintah negara bagian diminta meningkatkan kewaspadaan publik terhadap perdagangan orang ini. Ketersediaan tempat aman untuk perempuan dan anak selama pandemi juga diwajibkan pemerintah India.
Namun menurut aktivis, mayoritas penyalur dan penjual anak bisa menghindari hukuman karena memiliki koneksi dengan pejabat pemerintahan.
Kumar berkata, banyak keluarga tidak melaporkan upaya perdagangan orang. Penyebabnya, pihak yang melapor justru kerap mendapatkan intimidasi.
Keluarga Lal, untungnya, mendapatkan nasib mujur. Anak laki-laki mereka diselamatkan saat tengah menuju pabrik.
Anak itu kini diisolasi terkait virus corona di pusat perlindungan anak di Rajasthan. Dia dijadwalkan pulang ke kampung halaman dalam waktu dekat.
"Itu adalah saat-saat saya tidak berdaya. Saya tidak akan pernah menjual anak saya lagi, kalaupun konsekuensinya kami harus bertahan hidup dengan potongan-potongan kecil makanan," kata Lal.