Metode Transplantasi Tinja Sembuhkan Penyakit Ditemukan, Apa Itu
- dw
Jarang orang membicarakan tinja atau kotoran manusia secara serius. Bahkan kebanyakan merasa jijik jika membahas tema ini. Namun dalam dunia kedokteran, sistem pencernaan dan tinja jadi tema riset penting. Apa yang disebut riset mikrobiom, setelah bertahun diabaikan kini mulai jadi topik penting.
Mikrobiom ibaratnya sidik jari yang unik untuk setiap individu. Dalam usus tiap manusia hidup milyaran bakteri dan mikroorganisme lainnya. “Mikrobiom menjelaskan semua gen dari mikroorganisme yang menghuni tubuh manusia“, ujar Maria Vehreschild pimpinan bagian infeksiologi di Rumah Sakit Universitas Frankfurt.
“Organismenya disebut mikrobiota dan memainkan peranan sangat penting dalam meregulasi fungsi tubuh manusia. Nyaris tidak ada organ tubuh yang fungsinya tidak terpengaruh komposisi mikrobiom,“ papar pakar infeksiologi Vareschild. Bagaimana komposisi flora usus itu, tercermin dari kotoran atau tinja yang dikeluarkan tubuh.
Karena itu para ilmuwan dalam beberapa tahun terakhir menetapkan berbagai istilah ilmiah yang menjelaskan poros organ tubuh dengan mikrobiom. “Ada poros usus-otak, poros usus-hati atau poros usus-ginjal. Poros ini menunjukkan adanya interaksi antara mikrobiota dengan beragam organ tubuh,“ demikian kata pakar mikrobiom itu.
Terapi transplantasi tinja
Terkait interaksi mikrobiom dengan berbagai organ tubuh, adalah logis jika dunia medis kini membidik tema ini untuk tujuan terapi atau pengobatan. Sejauh ini transplantasi tinja atau Fecal Microbiota Transplantation-FMT masih dikategorikan dalam tahapan riset, dan hanya diterapkan dalam kasus sangat terbatas.
Salah satunya yang sudah dilakukan dalam koridor “upaya pengobatan pribadi“ adalah transplantasi tinja untuk pengidap infeksi Clostridium difficile. Infeksi bakteri ini menyebabkan radang usus dan memicu diare berdarah-darah. Penyebabnya adalah pemberian antibiotika yang membunuh sejumlah “bakteri baik“ dan menyisakan bakteri Clostridium difficile, yang kemudian berkembang biak dan menyebar.
Dalam kondisi tidak ada lagi rujukan cara pengobatan konvensional, maka transplantasi tinja bisa dilakukan. Prosedurnya sangat ketat dan rumit, jauh lebih ketat dari transfusi darah. Sebelum dilakukan transplantasi, pendonor dan resipien atau penerima, harus melewati sejumlah tes medis maupun wawancara.
“Jika semua cocok, donor datang ke laboratorium untuk menyumbangkan tinjanya. Kemudian tinja diolah dengan cara difilter dan disentrifugal, untuk mendapatkan bakteri yang diperlukan. Selanjutnya bakteri dimasukkan kapsul untuk diberikan kepada pasien bersangkutan,“ demikian peneliti mikrobiom medis Vareschild menggambarkan prosedurnya.
Belum mendapat izin prosedural
Walaupun metode pengobatan dengan cara transplantasi tinja bagi pasien penderita infeksi Clostridium difficile menunjukkan keberhasilan hingga 75%, sejauh ini dinas kesehatan di Jerman belum memberikan izin penggunaan prosedurnya secara luas.
Juga diakui karena metodenya relatif baru, masih banyak riset yang perlu dilakukan untuk penerapan metode Fecal Microbiota Transplantation-FMT ini. Terutama untuk mencegah transmisi penyakit lain yang berbahaya, yang terbawa oleh kotoran manusia alias tinja. Misalnya apakah ada kemungkinan metode ini justru memicu munculnya penyakit kanker, yang diuntungkan dengan konstelasi mikrobiom dan flora usus tertentu.
Sejauh ini, metode FMT hanya dilakukan, jika metode konvensional lainnya gagal mengatasi penyakit yang diketahui muncul akibat terganggunya poros usus dan organ tubuh lain. Itu pun harus dilakukan dengan tatacara sangat ketat dan rumit, untuk meminimalkan efek negatif yang mungkin muncul.
(as/hp)