Kisah Sugar Baby saat Pandemi COVID-19: Jual Foto atau Kencan Virtual
- abc
Lola* lahir di keluarga yang serba berkecukupan sehingga punya kesempatan sekolah di Singapura.
Tapi ia mengaku tetap mengambil kesempatan menjadi "sugar baby" untuk meningkatkan gaya hidupnya.
Sejak Oktober 2019, Lola mulai bekerja sebagai "sugar baby", yang menurutnya seperti menjadi "teman kencan" untuk para pria.
Sejauh ini, ia sudah memiliki tiga "sugar daddy", yang rata-rata berusia hampir 60 tahun atau pria yang kembali melajang karena perceraian.
"Mungkin mereka sibuk sekali, kesepian, dan butuh seseorang untuk menemani mereka begitu?" kata Lola.
"[Punya] seorang perempuan cantik yang dapat memenuhi kebutuhan mereka itu semacam fantasi juga kan? Dan mereka punya banyak uang untuk melakukannya."
Lola mengaku jika kegiatan yang dilakukan "cuma makan malam berdua" dengan penghasilan yang pernah ia dapatkan mencapai SGD$4,000, atau Rp43 juta, dalam satu bulan.
Uang tersebut ia gunakan untuk berbelanja, makan di restoran mewah, dan mempercantik diri, apalagi karena para "sugar daddy" atau "sugar mommy" menurutnya berasal dari kelas ekonomi yang lebih tinggi darinya.
Jadi kami harus berpenampilan baik, terlihat berkelas, dan cantik," katanya.
"Dibayar $600 per video"
Lola mengatakan pembatasan aktivitas di tengah pandemi COVID-19 telah menghambatnya melakukan pekerjaan sampingannya yang membutuhkan tatap muka.
Ia juga mengatakan jika beberapa "sugar baby" lain yang ia kenal juga menemukan cara baru dalam bekerja.
"Ada yang menjual foto diri mereka, atau virtual dates. Saya pernah ditawarkan sex video call dan dibayar $600 per video, tapi saya tidak mau," kata Lola.
Penolakan tersebut ia lakukan karena kebutuhannya yang kini sudah tercukupi selama tinggal dengan orangtuanya di Jakarta.
Selain itu, Lola yang kini mengambil kelas online merasa tidak punya waktu untuk melakukan pekerjaan yang menurutnya membutuhkan persiapan.
"Kami harus mendedikasikan beberapa hari dalam seminggu untuk bekerja, untuk menghabiskan waktu dengan sugar daddy," kata dia.
"Beberapa teman saya, yang sepengetahuan saya adalah sugar baby, berhenti karena sibuk kuliah … kebanyakan kalau sudah masuk tahun kedua dan mulai susah pelajarannya."
"Murni untuk alasan finansial"
Sejak awal, Lola telah menetapkan batasan keras tentang aktivitas yang dapat dilakukannya dengan sugar daddy.
Ini terutama karena ia sedang dalam status berpacaran.
"Dari pertama, sebelum memulai hubungan, saya menetapkan batasan, dan secara terang-terangan mengatakan bahwa saya tidak mau terlibat dalam hubungan romantis ataupun seksual," katanya.
"Jadi bahkan sebelum memulai hubungan, mereka sudah tahu batasan saya dan bahwa [hubungan ini] murni untuk alasan finansial."
Walau menurut Lola hubungan ini sah-sah saja, hukum di Indonesia berkata lain.
Seksolog klinis Zoya Amirin mengatakan pekerjaan sebagai "sugar baby" tidak sah secara hukum di Indonesia.
Namun, tidak ada dasar untuk menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melakukannya, kecuali dengan alasan yang spesifik.
"Kalau misalnya pun terjadi perselingkuhan di mana sugar daddy sudah menikah, iya paling itu bisa ditindak secara hukum jika ada pelaporan dari istri sugar daddy tersebut," katanya.
Aturan hukum yang dimaksudkan oleh Zoya adalah pasal 284 KUHP tentang perbuatan zina dengan ancaman penjara sembilan bulan.
"Tapi kalau sugar daddy nya masih single, itu kan ada perjanjian kedua belah pihak, suka sama suka."
Apakah sama dengan prostitusi?
Menurut Zoya, pekerjaan "sugar baby" terhitung sebagai "prostitusi yang terselubung".
"Prostitusi kan sex for sale ya? Kalau sugar baby menjadi prostitusi terselubung karena ada uang "jasa" menemani," katanya.
"Bedanya tidak ada legalisasi agama, seperti kawin kontrak."
Tapi menurut Lola sendiri prostitusi dan pekerjaan sugar baby adalah dua hal yang berbeda.
"Yang membedakan prostitusi dengan sugaring relationship adalah fakta bahwa dengan menjadi sugar baby, kami tidak harus berhubungan seks dengan sugar daddy," kata dia.
"Jadi, di situlah perbedaan pentingnya. It"s not just a one time thing [bukan hanya untuk satu waktu saja]".
Menurut salah satu situs pencarian "sugar baby" terbesar di dunia bernama Seeking Arrangement, Jakarta menyumbang jumlah sugar daddy dan sugar baby terbanyak di Indonesia, disusul dengan Bandung dan Surabaya.
Annette Joseph, juru bicara Seeking Arrangement di kawasan Asia Tenggara mengatakan para "sugar baby" menikmati hubungan dengan para pria mapan karena adanya perbedaan emosional dan kesejahteraan yang tidak bisa mereka temukan jika berkencan dengan pria lain yang usianya tidak jauh berbeda.
"Mereka merasa terdorong, sukses dan diberdayakan saat berkencan dengan orang-orang yang sudah mapan secara finansial dan yang dapat meningkatkan gaya hidup mereka," ujarnya kepada ABC Indonesia.
*Nama telah diganti sesuai permintaan narasumber.