Cara Yahudi Minta Izin Turki Utsmani untuk Tinggal di Palestina
- republika
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki Usmani adalah salah satu kesultanan yang memiliki sejarah paling panjang. Catatan-catatan lama dari para ahli sejarah telah mengurai kisah-kisah heroik dari kesultanan yang berpusat di Istanbul Turki ini. Salah satu satunya adalah perjuangan Sultan Abdul Hamid II dalam menjaga warisan umat Islam, tanah Palestina.
Ia bisa disebut sebagai benteng terakhir Turki Usmani dalam upaya menjaga persatuan dunia Islam. Menurut catatan New World Encyclopedy, Sultan Abdul Hamid II dilahirkan di Istanbul pada 21 September 1842. Nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin Abdul Majid bin Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad.
Ayahnya adalah Sultan Abdul Madjid dan ibunya adalah Tir-i Mujgan Ka din Efendi yang berasal dari Sirkasia, sebuah wilayah yang terletak di persimpangan Eropa Timur dan Asia Barat di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia. Ibunya meninggal saat Sultan Abdul Hamid II masih berusia tujuh tahun. Selepas kepergian ibunya, Abdul Hamid kecil diasuh ibu tirinya yang bernama Pristu Kadin.
Di lingkungan tempat tinggalnya, Abdul Hamid kecil dianggap sebagai anak yang lemah dan sering jatuh sakit. Hal itu membuat dirinya sekuat tenaga mempelajari segala macam disiplin ilmu untuk menutupi kekurangannya. Di bawah didikan ayahnya secara langsung, ia tumbuh menjadi seorang remaja yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ia sudah mampu mengua sai bermacam bahasa pada usia muda. Di samping itu, ia dikenal senang membaca dan bersyair.
Lambat laun, stigma negatif tentang dirinya yang lemah dan gampang sakit mulai pudar. Masyarakat mulai mengakui keberadaannya sebagai sosok pribadi yang kelak akan menjadi orang nomor satu di Kesultanan Turki Usmani. Penilaian masyarakat di sekitar tempat tinggalnya bukan isapan jempol yang tak memiliki alasan. Sultan Abdul Hamid II dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan peduli sesama.
Ia menjadi khalifah Turki Usmani menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada 1876. Pamannya yang berkuasa cukup lama ini diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah, kemudian dibunuh oleh pembencinya. Selanjutnya, masa depan Kesultanan Turki Usmani berada di pundak Sultan Abdul Hamid II.
Selama memerintah, sejumlah capaian-capaian mentereng direngkuh Sultan Abdul Hamid II, seperti mendirikan universitas, akademi seni rupa, sekolah keuangan dan pertanian. Selain itu, ia membuka banyak sekolah dasar, sekolah menengah atas, sekolah untuk kaum difabel, juga mendirikan Rumah Sakit Sisli Etfal dengan uangnya sendiri. Dia juga memprakarsai pembangunan jembatan di dua tepi selat Bosphorus serta rel kereta api.
Dalam buku catatan pribadi, Sultan Abdul Hamid II menjelaskan tentang pentingnya melakukan gerakan menanamkan kembali nilai ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin dunia, baik Cina, India, Arab, Afrika, dan tempat-tempat lain. Sultan Abdul Hamid II menegaskan keyakinannya tentang kemungkinan lahirnya kesatuan dunia Islam.
Ia mengatakan, umat Islam wajib menguatkan ikatan persaudaraan di belahan bumi lain. Satu dan lainnya wajib saling mendekat dan merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Tidak ada harapan lagi untuk kebangkitan dan kejayaan di masa depan kecuali dengan persatuan umat Islam.
Memang waktunya belum datang, tapi dia akan datang. Akan datang suatu hari di mana kaum Muslimin akan bersatu dan mereka akan bersama-sama dalam satu kebangkitan yang serentak. Akan ada seorang yang memimpin umat ini dan mereka akan menghancurkan kekuatan orang-orang kafir, tulisnya.
Menolak Zionisme
Kisah lain dari buku hariannya adalah ketika ia menolak permintaan tokoh pendiri negara Zionis Israel, Theodore Herzl, agar memberikan sebagian wilayahnya di Palestina untuk bangsa Yahudi. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid II, sehingga membuat marah bangsa Yahudi.
Karena ketegasannya itu, musuh-musuh Islam tak henti-hentinya merongrong kekuasaan Sultan Abdul Hamid II. Pada masa pemerintahannya, ia harus berhadapan dengan manuver orang-orang Yahudi Dunamah yang ingin mendongkel kekuasaanya.
Setidaknya, ada beberapa langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi menurut sejarawan Muslim Dr Muhammad Harb untuk menembus dinding kokoh Kesultanan Turki Usmani. Target mereka adalah dapat memasuki Palestina. (Dr Muhammad Harb: 2012).
Siasat Yahudi Zionis
Pada 1892 sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab dengan memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina. Mendengar jawaban seperti itu, kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.
Pada 1896 Theodor Herzl memberanikan diri untuk kembali menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu kembali dijawab Sultan dengan penolakan tegas.Sesungguhnya, Daulah Usmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan tersebut. Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian dalam kantong kalian sendiri, tegas Sultan.
Meski sudah ditolak hingga dua kali, Kaum Yahudi tak patah arang. Mereka kemudian melakukan usaha selanjutnya, yaitu dengan menggelar konferensi Basel di Swiss pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Kesultanan Turki Usmani.
Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi, akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan. Paspor Yahu di harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan, pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharam kan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902 tanpa rasa malu Herzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Herzl kali ini untuk menyogok orang nomor satu kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Herzl adalah uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; membayar semua utang Pemerintah Usmaniyah yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Usmaniyyah di Palestina.
Namun, kesemuanya ditolak Sultan. Bahkan, Sultan tidak mau menemui Herzl dan hanya diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan,Nasihati Herzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku.
Tanah itu adalah hak umat Islam. Sultan mengatakan, Umat Islam telah berjihad demi kepentingan Palestina. Mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi disilakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Usmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya.
Namun, kata Abdul Hamid II, selama masih hidup, dia lebih rela menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Sejak saat itu, kaum Yahudi dengan gerakan Zionisme-nya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "kemerdekaan", "kebebasan", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism".
Abdul Hamid menyadari nasibnya semakin terancam. Dia bisa saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi, untuk apa? Dia mengaku sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas umat. Tempatnya tetap di Istanbul. (Dr Muhammad Harb: 2012).
Selain persoalan eksternal, Sultan Abdul Hamid II juga menghadapi persoalan internal pemerintahannya. Ia terus digoyang oleh para aktivis organisasi rahasia Freemasonry yang menyusup dalam barisan pemuda revolusioner liberal. Mereka menamakan diri sebagai gerakan Turki muda.
Kelompok Freemasonry yang terus berusaha menjegal kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II juga tergabung dalam organisasi Al-Ittihad wa At- Taraqqi/Ittihad ve Terakki (organisasi persatuan dan kemajuan).
Sultan Abdul Hamid II memerintah di tengah kepungan kelompok Yahudi, anggota-anggota Freemason, dan aktivis liberal-sekular. Mereka berusaha melengserkannya dengan berbagai cara, sehingga Turki dengan peradaban Islam-nya kemudian pudar dan akhirnya pada 1924 menjadi negara yang sangat sekuler.
Sultan Abdul Hamid II meninggal pada 10 Februari 1918 dan menjabat sebagai khalifah Kesultanan Turki Usmani selama 33 tahun. Sepeninggalnya, tak ada lagi sultan Turki Usmani yang memiliki kecakapan berpikir dan keberanian terhadap Yahudi seperti yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid II semasa hidupnya.