Mengapa Muslim India Tak Ikut ISIS atau Lawan Soviet Era Dulu

Source : Republika
Sumber :
  • republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Kajian dan Analis Pertahanan dari New Delhi, Adil Rasheed, baru-baru ini berpendapat mengenai alasan sedikitnya Muslim India yang bergabung dengan ISIS atau kelompok radikal lainnya. Padahal, jika menilik secara umum, India merupakan rumah bagi Muslim dengan populasi terbesar ketiga di dunia.

Dalam tulisan makalah yang ia terbitkan di eurasia review Kamis (3/9), dirinya mulai dengan membahas warga India yang sangat tidak mencolok dalam legiun ‘mujahidin’ saat memerangi pendudukan Soviet di Afganistan pada 1980-an silam.

Menurut dia, salah satu alasan mengapa mujahidin dari India dimungkinkan tidak ada saat itu, karena mereka diketahui mengambil langkah berbeda dengan beberapa negara Asia Barat pada waktu itu. 

India, kata dia, tidak pernah memiliki kaum radikal yang dapat dibuang di dalam negeri. Bahkan, juga tidak berniat mengejar kebijakan untuk membuang mereka ke medan perang asing. 

Dengan demikian, sikap apatis yang terlihat dari Muslim India terhadap desakan ISIS untuk jihad global saat ini, bukanlah contoh baru. Hal ini menurutnya, juga dapat dilihat sebagai penolakan berkelanjutan dari komunitas Islam di sana terhadap apa yang disebut jihad global. 

Dirinya mempertanyakan masalah populasi Muslim yang besar di India dan terpecah karena isu Islamisme, termasuk isu Kashmir. Tetapi, masalah itu tidak membuat Muslim di sana begitu tersulut dengan situasi yang ada. 

Sebaliknya, beberapa orang, kata dia, akan berpendapat bahwa komunitas strategis India harus mempertimbangkan "sedikit" saja dari kasus al-Qaeda dan ISIS. Mengingat, bahaya yang dapat ditimbulkan segelintir teroris terhadap keamanan nasional.

Namun, dia menegaskan, para ahli penanggulangan terorismel dan keamananlah yang perlu mewaspadai faktor penghambat masyarakat India dari ancaman terorisme transnasional.

Mengutip data negaranya, ada sekitar 172,2 juta Muslim (14,23 persen) dari populasi India. Sedangkan 4 dari 100 orang di antaranya diperkirakan telah pergi ke wilayah ISIS di Suriah serta Afghanistan. Namun, hanya 155 orang yang dilaporkan ditangkap hingga tahun lalu karena hubungannya dengan ISIS. 

Jumlah itu, menurut dia, justru kurang dari satu persen jumlah anggota ISIS yang saat ini diketahui berjumlah 30 ribu orang dari 85 negara.

Terkait itu, perlu ditilik lagi ke belakang. Dia menegaskan, berbagai politisi dan pemimpin Muslim India, juga telah memiliki itikad baik dalam menyatakan Muslim India adalah warga negara yang damai. 

Bahkan, Muslim India mereka klaim memiliki kehidupan yang tenteram dan harmonis dengan komunitas beragama lain di negara tersebut.

Mengutip laporan mantan diplomat Talmiz Ahmad, dirinya menyebut, penolakan doktrin dan ekstremisme dari Muslim India hadir dari tradisi sinkretis unik di India. Budaya itu, kata dia juga memupuk sifat pluralistik yang hebat.

Hal itu semakin kuat terbukti. Utamanya, setelah mantan Asisten Sekretaris Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat, David Heyman, mencerminkan identitas Muslim moderat yang dicintai mayoritas warganya. “India lahir dalam masyarakat multikultural, multi-etnis, multi-denominasi yang merangkul keragaman itu.” tulis Heyman.

Muslim India, Rasheed sebut, umumnya mengikuti sufisme, aliran damai yang menghalangi mereka menjadi militan. Atau biasa dikenal Salafi Wahabisme. Dalam hal ini, Rasheed kembali mengutip pernyataan sejarawan terkemuka India, Romila Thapar. 

Dalam pernyataannya, disebutkan bahwa guru sufi, memiliki peran sentral dalam interaksi dengan sekte Bhakti dan memberikan sistem kepercayaan yang unik kepada orang India. Hal ini terdiri dari guru-guru yang memang dibesarkan dengan baik sebagai agamawan Hindu atau Muslim. 

Umat Islam berdoa bersama sebelum berbuka puasa di Masjid Shams, Mumbai, India. (EPA/Divyakant Solanki) - ()

Rasheed selanjutnya juga membahas salafisme. Menurutnya, gerakan salaf memang terlalu luas dan memiliki arti berbeda bagi banyak orang. Namun, dia mengakui, ada banyak Salafi di Afrika utara yang mengikuti ajaran pendiri (Jamaluddin Afghani) untuk merangkul rasionalisme dan pencerahan Barat.  

Mayoritas Salafi-Wahabi di Asia Barat, kata dia, dikenal sebagai "Quietists" karena keyakinan mereka dalam menghindari politik dan kekerasan yang mereka pandang sebagai "pengaruh yang merusak secara spiritual". 

Negara-negara Teluk yang didominasi salafi-Wahhabi, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar, yang merupakan rumah bagi jutaan ekspatriat India dan asing dari berbagai denominasi agama, dan menunjukkan wajah moderat salafi-Wahhabisme. 

Dalam makalah tersebut, dikatakan juga, beberapa cendekiawan kontra-terorisme, seperti Kabir Taneja dari Observer Research Foundation (ORF) dan Mohammed Sinan Siyech dari Rajaratnam School of International Studies (RSIS), telah memberikan penjelasan yang lebih menggugah pemikiran. Hal itu menurutnya, membahas tentang mengapa Muslim India menahan diri untuk tidak bergabung dengan jihadis global. 

Mereka berpendapat, bahwa migrasi India ke bekas wilayah yang dikuasai ISIS di Suriah dan Irak tidak terjadi dalam jumlah besar, karena masalah logistik. Mereka menambahkan, migran dari negeri Barat jika menuju Kekhalifahan ISIS bisa terbang ke Turki dengan paspor, dan dengan mudah mendapatkan tiket pesawat ke tujuan. 

Namun, akan berbeda jika menyangkut partisan ISIS India yang kurang mampu secara ekonomi. Sebaliknya, mereka akan menganggap perjalanan itu terlalu mahal dan berbahaya.

“Tingkat kepemilikan paspor di India mencapai 5 persen pada 2017, dengan Muslim (di antaranya lebih dari 67 persen hidup dalam kemiskinan). Bagi beberapa orang yang menempuh proses panjang untuk mendapatkan paspor, persyaratan visa untuk masuk ke Turki bagi orang India cukup berat… Selain itu, gagasan untuk bepergian ke negeri yang dilanda konflik asing di mana bahasa Arab (bahasa Muslim non-India) diucapkan tanpa pelatihan tempur apa pun membuatnya lebih mudah bagi Muslim untuk tetap di belakang. ”ungkap Siyech.

Lebih jauh, perlu dicatat jika para pemimpin radikal Asia Barat, memandang rendah Muslim India karena gagal mengislamkan India sepenuhnya. Tetapi faktanya, Mongol Timur yang sempat menginvasi India, malah dilatarbelakangi karena tuduhan Mongol yang menganggap Muslim India terlalu menunjukkan toleransi berlebihan kepada rakyat Hindu.

Selain penjelasan itu, ada lagi penjelasan lain yang menyatakan bahwa ekstremisme kekerasan tidak akan mampu bertahan lama di tanah India. Pasalnya, meski ada banyak pria Muslim India yang berjanggut dan wanita Muslim yang berbusana burqa, mereka dengan bebas berjalan-jalan di berbagai lokasi di India. Dengan demikian, Muslim di India, menurut dia, bisa menemukan identitas dan tempat mereka, yang bahkan negara liberal Barat, tidak secara terbuka setuju dengan populasinya yang semakin beragam dalam hal itu.

Sumber: https://www.eurasiareview.com/02092020-why-fewer-indians-have-joined-islamic-state-analysis/