Mahasiswa Asing di Australia Tetap Dibayar Rendah Saat Pandemi Corona

Nav Mittal mengatakan sekarang ini sedikit sekali pekerjaan yang tersedia bagi mahasiswa asing di Australia di tengah pandemi COVID-19.
Sumber :
  • abc

Perjalanan internasional dari Australia masih ditutup membuat mahasiswa asing menghadapi dua tekanan di masa pandemi COVID-19, yakni harus bekerja dengan bayaran lebih rendah dan ketidakpastian kapan mereka bisa kembali ke negara masing-masing.

Bayaran rendah di tengah pandemi: 
- Mahasiswa asing di Australia mengatakan COVID-19 memperburuk situasi kronis bayaran rendah yang mereka terima.  
- Beberapa mahasiswa mengatakan dipaksa bekerja dengan bayaran $10 per jam, tanpa uang bayaran lembur.
- Saat ini bepergian ke luar negeri tidak bisa dilakukan kecuali ada izin khusus.

Menurut Nav Mittal mahasiswa asing seringkali mendapat keterangan yang terlalu muluk mengenai enaknya kehidupan di Australia.

Misalnya, mahasiswa asing dari India mendapat gambaran akan tinggal di akomodasi yang nyaman di tepi pantai di kota seperti Wollongong, menemukan pekerjaan dengan gampang dan kemudian bisa menjadi residen permanen bila mereka menghendaki.

"Yang tidak mereka katakan adalah kesulitan apa yang dihadapi untuk melewati semua proses tersebut," kata Nav dari Asosiasi Budaya India Australia di kota Wollongong, sekitar 80 km dari Sydney.

"Kerjaan yang tersedia untuk mereka adalah mencuci mobil, mengantar makanan atau kerja di restoran, dan juga ketika mereka melamar kerja, bayaran yang didapat pun lebih rendah dari seharusnya."

"Setelah mereka menghitung-hitung dan menyadari "ini bukan hal yang pernah digambarkan sebelumnya" dan dari situlah mereka baru sadar betapa tidak mudahnya tinggal di Australia."

Nav mengatakan masalah rendahnya bayaran dan ekploitasi terhadap mahasiswa asing di Australia sudah lama terjadi, namun di masa pandemi COVID-19 ini semakin banyak bisnis atau majikan yang mau membayar upah sesuai dengan peraturan.

Mahasiswa asing juga semakin stress, karena pembatasan internasional membuat mereka tidak bisa meninggalkan Australia.

Dao Nguyen yang baru menyelesaikan pendidikan di University of Wollongong sekarang bekerja di sebuah toko perhiasan, setelah sebelumnya bekerja di restoran. (ABC Illawarra: Justin Huntsdale)

"Setiap hari saya merasa banyak tekanan"

Dao Nguyen asal Vietnam baru saja lulus dari jurusan Hubungan Masyarakat (Humas) dari University of Wollongong bulan lalu.

Nguyen pernah bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran Thailand selama dua tahun dan mengatakan eksploitasi terhadap mahasiswa internasional banyak sekali terjadi.

Dia mengatakan hal yang banyak terjadi adalah mereka dijanjikan bayaran yang hampir sesuai dengan peraturan upah minimum di Australia.

Namun kemudian majikan akan meminta pekerja untuk datang lebih awal atau pulang lebih lambat, tanpa kemudian mereka dibayar uang lembur.

"Ini situasi yang tidak mengenakkan, dan setiap hari saya bekerja di restoran, saya merasa banyak tekanan."

Dao mengatakan sekarang lega bisa bekerja di sebuah toko perhiasan yang memberi bayaran sesuai dengan upah yang berlaku.

"Saya sangat-sangatlah beruntung dibandingkan yang lain, saya mendapat bayaran sesuai dengan jam kerja, tidak seperti di tempat kerja saya sebelumnya."

Karan Angadi mengatakan pernah bekerja di restoran dengan bayaran $10 padahal aturannya dia seharusnya mendapat bayaran $26. (ABC Illawarra: Justin Huntsdale)

"Kita tidak berani protes dan melapor"

Karan Angadi, mahasiswa asal India yang masih menjadi mahasiswa di University of Wollongong sekarang bekerja sebagai pengantar makanan.

Sebelumnya dia pernah bekerja di sebuah restoran di Wollongong sebagai tukang cuci piring dan kadang merangkap jadi pelayan.

Di restoran tersebut dia mendapat bayaran antara AU$10-13 (sekitar Rp 100 ribu-Rp 130 ribu) per jam, padahal menurut Fair Works, seharusnya upahnya adalah AU$26.03 (Rp 260 ribu) per jam

Karan mengatakan dia melihat pekerja warga Australia mendapat bayaran sesuai peraturan di restoran tersebut karena mereka tahu bagaimana melaporkan masalah ke pihak berwenang.

Sementara menurutnya mahasiswa asing enggan protes atau melapor karena pekerjaan paruh waktu itu sudah didapat.

Mereka juga khawatir bahwa kalau mereka mempertanyakan upah, mereka akan diberhentikan.

"Susah sekali menemukan pekerjaan dalam situasi pandemi COVID-19, jadi kita berusaha bertahan dengan pendapatan seperti sekarang," kata Karan.

"Kita hanya berusaha menyesuaikan dengan pendapatan yang ada dan kita tidak mau dan tidak berani protes terhadap majikan.

Karan menyerukan adanya pengecekan random yang lebih sering terhadap bisnis yang sering kali membayar rendah para pekerja mereka.

"Para pemilik bisnis harus menyadari bahwa mereka tidak bisa bersembunyi lagi," katanya.

Dalam pernyataan kepada ABC, juru bicara Fair Work Ombudsman mengatakan sejauh ini mereka sudah menerima lebih dari 64 ribu laporan mengenai kondisi kerja yang dialami banyak pekerja termasuk bayaran yang diterima.

Dalam sistem pelaporan online sekarang yang mereka sediakan juga sudah ada pelaporan yang bisa menggunakan bahasa selain Inggris.

"Para pemegang visa harus tahu, sesuai dengan perjanjian dengan Departemen Dalam Negeri, mereka bisa meminta bantuan dari Fair Work Ombudsman tanpa harus khawatir visa mereka akan dibatalkan."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya.

Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini