Petak Umpet Pandemi Virus Corona ala Korea Utara
- dw
Ketika Dr. Choi Jung Hun merawat pasien di kampung halamannya, seringkali dia harus menggunakan perlengkapan higienenya sendiri. “Saya diminta membeli masker dan sarung tangan bedah dengan uang sendiri,” kisah dokter spesialis bedah syaraf itu.
Choi melarikan diri ke Korea Selatan tahun 2012. Sebelumnya dia bekerja untuk Pusat Pengendalian Wabah dan Penyakit di kota Chongjin yang terletak dekat dengan perbatasan Cina. Sebagai dokter muda, dia ikut berjuang melawan wabah SARS 2002-2003, dengan hanya berbekal sebuah thermometer, masker dan sarung tangan.
Kini Choi mengajar di Universitas Korea di Sejong. Pria kurus berwajah serius itu meyakini klaim bahwa Korut tidak terdampak wabah corona sebagai propaganda belaka. “Tentu saja ada warga Korea Utara yang meninggal dunia karena virus corona,” ujarnya kepada DW.
Dia mengaku menyaksikan betapa sistem kesehatan di Korea Utara tidak mampu menghadapi wabah virus di masa lalu, bahkan untuk jenis virus yang tidak mematikan sekalipun. “Korea utara adalah museum virus-virus,” kata dia.
Pada 25 Agustus silam, anggota Komite Sentral Partai Buruh bertemu dengan Kim Jong Un untuk ketiga kalinya dalam tiga pekan. Kim dikabarkan mengeluhkan “tidak maksimalnya” kampanye antivirus selama ini.
“Jika menjadi jelas bahwa sistem kesehatan tidak mampu mengurus warga, maka mereka akan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Itu artinya sistem tidak lagi sempurna,”kata Choi.
Laporan versi pemerintah
Sejauh ini media-media Korut rajin memuat berita tentang upaya pemerintah melindungi populasi dari wabah corona. Judul serupa “kebijakan terkait wabah semakin diperkuat,” atau “kampanye nasional melawan wabah digiatkan,” memenuhi laman surat kabar atau stasiun televisi.
Situs Daily NK yang fokus mewartakan kehidupan di Korea Utara secara independen, menyajikan kisah yang berbeda. Harian yang bermarkas di Seoul itu rajin memublikasikan tulisan wartawan Korut dengan nama samaran.
Pertengahan Juni silam, situs tersebut mengunggah spekulasi seorang narasumber, bahwa “lebih dari 5.000 orang yang dibebaskan dari kamp pusat karantina kemungkinan telah meninggal dunia.” Verifikasi independen terhadap klaim tersebut mustahil dilakukan.
Satu hal yang pasti, pemerintah bereaksi dengan menutup perbatasan, sekolah dan universitas, serta memberlakukan larangan keluar bagi 200.000 penduduk di kota Kaesong. Akhir Juli silam stasiun televisi pemerintah mengabarkan dugaan kasus pertama, yakni seorang pembelot yang pulang dari selatan.
Sejak itu pemerintah membisu soal kasus baru. Pembatasan sosial dilonggarkan pertengahan Agustus silam. Hingga kini, Korea Utara belum masuk dalam daftar statistik kasus corona global yang dirilis Johns Hopkins University di Amerika Serikat.
Warga asing meninggalkan Korut
Sejak krisis corona, kabar dari Korea Utara kian langka. Sebagian besar warga asing sudah meninggalkan negeri, termasuk pegawai kedutaan negara-negara Eropa. Saat ini hanya sejumlah negara Eropa timur yang masih mengoperasikan perwakilannya di Pyongyang.
“Saat ini tidak ada rencana untuk menutup kedutaan,” kata juru bicara Kedutaan Besar Polandia kepada DW. Demikian pula dengan perwakilan Rumania, meski sebagian besar “anggota keluarga diplomat dan pegawai kedutaan sudah kembali ke Rumania sejak 9 Maret 2020,” tutur jurubicara kedutaan. Republik Ceko dan Bulgaria juga masih membuka kedutaannya di Pyongyang.
Dalam keterangan peringatan perjalanan, Kementerian Luar Negeri Jerman menulis “mustahil mengetahui apakah ada kasus penularan di Korea Utara. Harus diasumsikan, bahwa sistem kesehatan lokal tidak memiliki kemampuan mendiagnosa dan menanggulangi kasus Covid-19.”
Hal ini dibenarkan oleh Dr. Choi Jung Hun yang membelot ke selatan, “Doktor biasanya mampu mendeteksi Covid-19. Tapi setelahnya mereka tidak bisa mengonfirmasikan diagnosa itu tanpa perlengkapan yang dibutuhkan.”
Menurutnya Korea Utara tidak memiliki kapasitas buat menanggulangi wabah. “Tidak ada infrastruktur sama sekali. Di rumah-rumah sakit, padam listrik sudah biasa, antara lain karena tidak ada aliran air yang lancar.”
Dilema bagi organisasi kemanusiaan
Meski demikian, organisasi kemanusiaan asing kesulitan menyalurkan bahan bantuan kepada warga Korut, antara lain karena sanksi PBB. Salah satu organisasi yang memegang izin khusus untuk memasok bahan pokok ke Korut adalah Dokter Tanpa Batas (MSF). Maret silam, mereka mengirimkan masker, sarung tangan, baju pelindung, antibiotika dan produk higiene lainnya.
Korut sendiri hanya mengizinkan segelintir organisasi bantuan membuka kantor di wilayahnya. Termasuk di antaranya adalah Welthungerhilfe di Jerman yang harus menunda proyek mereka di sana. Organisasi lain yang punya akses paling luas adalah Palang Merah Korut, kata Antony Belmain dari Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC).
Menurut IFRC, saat ini terdapat 43.000 tenaga sukarela dan pegawai pemerintah yang ditugaskan berkampanye cara mencegah penularan virus corona. Palang Merah Korut menerima sebanyak 10.000 unit tes Covid-19 Juli silam, “termasuk juga thermometer inframerah, masker N95, masker bedah, pelindung wajah, baju pelindung dan kacamata pelindung, “Kata Balmain.
Namun Dr. Choi Jung Hun meragukan bantuan tersebut akan disalurkan dengan tepat. Menurutnya pembagian akan menguntungkan warga di kota besar, ketimbang di pedesaan, “kebanyakan perlengkapan medis dikirimkan ke rumah-rumah sakit di Pyongyang,” katanya.
Sementara para dokter di pedesaan, seperti dia dulu, hanya kebagian satu alat untuk memerangi wabah ganas tersebut: sebuah thermometer.
rzn/pkp