Australia Diminta Hapus Working Holiday Visa 'Backpacker', Mengapa
- abc
Para petani dan pemilik perkebunan di Australia diminta untuk berhenti mempekerjakan tenaga kerja asing pemegang working holiday visa (WHV) dan backpaker untuk memanen hasil pertanian mereka.
Kalangan serikat buruh mendesak penghapusan jenis visa working holiday. Namun kalangan industri pertanian perkirakan penghentian pekerja working holiday akan menimbulkan kerugian AU$13 miliar. Pengangguran di Australia saat ini mencapai titik tertinggi dalam 20 tahun.
Hal itu disampaikan oleh aliansi sejumlah serikat buruh, yaitu Serikat Buruh Australia (AWU), Asosiasi Distributor Toko dan Pekerja Bersatu, serta Serikat Buruh Transportasi.
Dengan tingginya tingkat pengangguran saat ini, para petani diharapkan untuk mempekerjakan generasi muda di wilayah regional dan pedesaan sendiri.
Saat ini, Pemerintah Federal Australia sedang meninjau ulang tenaga kerja di sektor pertanian.
Baik kalangan industri maupun serikat buruh mendapat kesempatan untuk memberikan masukan ke komite parlemen.
Aliansi Pekerja Ritel dalam masukannya menyebutkan program backpacker atau WHV ini penuh dengan eksploitasi.
Mereka menyerukan agar pekerja Australia masuk ke sektor pertanian serta mendorong perluasan program pekerja musiman.
Beberapa hari sebelumnya kalangan industri pertanian dari Aliansi Produk Segar Australia (AFPA) memberikan masukan bahwa penghentian program backpacker akan merugikan perekonomian sebesar AU$13 miliar.
Selain itu, langkah tersebut akan menaikkan harga buah-buahan dan sayuran segar hingga 60 persen.
AFPA memperkirakan sekitar 130.000 orang asing saat ini memegang visa WHV dan biasanya dipekerjakan di sektor pertanian.
Namun data terakhir menunjukkan jumlah "backpacker" telah mengalami penurunan hingga 50.000 orang sejak adanya pembatasan sosial untuk memperlambat penyebaran COVID-19 awal tahun ini.
Ketua AWU Daniel Walton menjelaskan pandemi ini telah mengungkap betapa besarnya ketergantungan industri pertanian pada pekerja asing, padahal pengangguran di wilayah pedalaman Australia justru meningkat pesat.
"Pandangan bahwa warga Australia tak menghendaki pekerjaan ini, bukan hanya keliru, tetapi juga menyinggung perasaan. Semua jenis pekerjaan itu bermartabat dan harus dihormati," ucap Daniel.
"Bila petani membayar pekerja dengan upah yang layak, ada pekerja yang siap di luar sana, di wilayah pedesaan dan terpencil Australia," ujarnya.
Federasi Petani Nasional (NFF) sebelumnya mengeluhkan kurangnya pekerja di Australia untuk memenuhi kebutuhan industri, serta pembatasan COVID-19 kemungkinan akan menambah masalah bagi mereka.
Bulan lalu NFF meluncurkan website lowongan kerja sebagai upaya menarik warga Australia yang sedang mencari pekerjaan.
Mereka menawarkan bayaran yang diklaim "mengejutkan", termasuk bisa menghasilkan hingga 1000 dolar (sekitar Rp10 juta) per minggu.
Charlie McKillop
Namun kalangan serikat buruh menyatakan banyak bukti adanya eksploitasi sistemik dan meluas di sektor pertanian Australia. Bahkan, ada kasus yang sudah masuk ke ranah hukum.
"Ada sejumlah petani yang sudah memperlakukan pekerjanya dengan baik. Bila mereka membayar upah yang layak dan menghargai pekerjanya dengan baik, mengapa tidak semua petani melakukannya?" ujar Daniel.
Program pekerja musiman
Aliansi Pekerja Ritel dalam masukannya ke komite parlemen juga mendukung perluasan program pekerja musiman, yang memungkinkan pekerja dari negara-negara Pasifik untuk bekerja di sektor pertanian Australia.
Mereka menyarankan agar lebih banyak lagi negara yang dilibatkan dalam program pekerja musiman serta membuka jalan bagi para pekerja untuk menjadi warga negara Australia.
Belum lama ini Pemerintah Federal Australia menyetujui program percontohan bagi pekerja musiman asal Vanuatu untuk bekerja di perkebunan mangga di Australia.
Menteri Pertanian Australia, David Littleproud sebelumnya mengatakan pekerja Australia sangat enggan untuk kerja memetik buah.
Pada April lalu, Pemerintah telah memperpanjang masa berlaku visa WHV sehingga para pekerja asing tersebut dapat tetap berada di Australia di masa pandemi saat ini.
Sementara itu laporan terbaru menyebutkan tingkat pengangguran di Australia saat ini mencapai 7,4 persen, atau yang tertinggi dalam 20 tahun.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.