Singapura Awasi Fenomena Bunuh Diri di Kalangan Buruh Migran
- dw
Singapura memonitor lonjakan kasus bunuh diri di kalangan buruh migran. Dikhawatirkan, karantina mandiri yang dilakukan tenaga kerja asing di asrama yang sempit, ikut berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.
April silam, pemerintah Singapura menempatkan jejeran blok apartmen yang menampung buruh asal Asia Selatan dalam karantina. Langkah itu diambil untuk mencegah penyebaran virus corona di kalangan pekerja migran.
Empat bulan kemudian, asrama yang sama masih dikarantina. Buruh yang sudah dinyatakan bebas virus masih dilarang berpergian. Mereka menghadapi ketidakpastian seputar pekerjaan dan sebabnya terancam menganggur.
Kelompok Hak Asasi Manusia meyakini situasi ini berdampak buruk pada kesehatan mental para buruh migran tsb. Beberapa ditangkap oleh polisi lantaran diduga mengidap gangguan mental. Belum lama ini seorang TKA diselamatkan usai berjalan sempoyongan di atap sebuah gedung tinggi.
Layanan kesehatan mental
Dalam sebuah insiden, Minggu (2/8), seorang pria 36 tahun terekam sedang tersungkur di kaki tangga asramanya, sembari berdarah-darah usai melukai diri sendiri.
Sebab itu Kementerian Tenaga Kerja Singapura kini mengumumkan akan memonitor kasus bunuh diri di kalangan buruh migran dan berjanji akan menyediakan layanan kesehatan mental bagi mereka.
Kendati demikian, pemerintah mencatat angka bunuh diri pekerja asing tidak jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Insiden semacam itu diyakini dipicu oleh masalah keluarga, yang diperparah dengan larangan pulang lantaran karantina wabah Covid-19, tulis Kementerian Tenaga Kerja.
Singapura sejauh ini memiliki 54.000 kasus penularan corona. Sebagian besar berasal dari asrama-asrama buruh migran yang menampung 300.000 TKA dari Bangladesh, India dan Cina. Hanya 27 orang yang meninggal dunia akibat Covid-19.
Lebih gawat ketimbang wabah
Otoritas mengatakan akan mencabut karantina di semua asrama pada pekan ini. Namun Sejumlah blok apartemen tetap ditutup untuk dijadikan sebagai zona karantina.
Meski demikian, pegiat HAM mengritik kewenangan majikan dan perusahaan untuk membatasi pergerakan buruh migran, bahkan setelah mereka dinyatakan bebas dari virus. Tambahan lagi kekhawatiran tidak mampu membayar utang di tanah air akibat PHK, turut memperparah gejala depresi pada para pekerja pendatang itu.
“Sebagian besar buruh mengatakan, masalah kesehatan mental kini lebih mendesak ketimbang virus corona,” kata Deborah Fordyce, Presiden Transient Workers Count Too, sebuah lembaga advokasi buruh migran di Singapura.
Menurut Gasper Tan, Direktur Samaritans of Singapore (SOS), pembatasan akses buruh migran untuk menghubungi keluarga dan teman, terutama selama lockdown, menghasilkan “perasaan negatif yang sangat dominan.”
“Mereka merasa terjebak, tidak mampu mengontrol atau mengubah situasi di sekitarnya, dan mungkin meyakini bunuh diri sebagai satu-satunya opsi yang tersisa untuk membebaskan diri dari rasa sakit,” pungkasnya.
rzn/as (rtr, ap)