Perdagangan Manusia di Indonesia: Rantai Setan Eks Korban Jadi Pelaku
- abc
Masalah perdagangan manusia di Indonesia memburuk setiap tahunnya, apalagi di tengah situasi pandemi COVID-19. Mulai dari kasus penipuan dengan modus pengantin pesanan, sampai suami menjual istri sendiri untuk melayani seks orang lain.
Hari Anti Perdagangan Manusia Setiap 30 Juli diperingati sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia InternasionalMuncul modus penipuan yang menjadikan manusia sebagai komoditi yang bisa dijualPelaku perdagangan manusia perlu dipahami untuk menemukan langkah pencegahan efektif
Hal tersebut terungkap setelah ABC Indonesia mengumpulkan sejumlah keterangan dari beberapa pihak yang membantu korban perdagangan manusian di Jakarta, Kupang, sampai Melbourne.
Kemiskinan yang masih dihadapi warga Indonesia membuat banyak orang menerima tawaran yang sebenarnya penipuan, tanpa menyadari konsekuensinya.
Suster Genobeba Amaral adalah Direktur Yayasan Vivat Indonesia di Jakarta, yang menjalankan program pengentasan kemiskinan, pemberdayaan kaum perempuan, pembangunan berkelanjutan dan promosi budaya damai.
Menurut Suster Genobeba, pandemi virus corona membuat perdagangan manusia semakin meningkat.
Foto: Supplied
"Banyak orang yang harus tinggal di rumah karena tidak bisa bekerja. Situasi ini dimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan manusia untuk mencari korban mereka," kata Suster Geno.
Yayasan Vivat saat ini sedang menangani kasus penipuan yang disebut "pengantin pesanan" dengan melibatkan seorang perempuan yang akan dibawa ke Taiwan.
Tapi kasus tersebut bukan satu-satunya yang pernah mereka temukan.
Setelah berbicara dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat, mereka juga mendengar banyak kasus orang yang dipaksa menjadi pekerja seks karena tuntutan mencari nafkah.
"Di Surabaya kita mendapat laporan ada suami yang menjual istrinya sendiri untuk melayani seksual orang lain guna mendapatkan uang," katanya kepada wartawan ABC Indonesia, Sastra Wijaya.
"Di Sumba ada kasus kawin tangkap, di mana anak-anak gadis ada yang ditangkap untuk dinikahkan paksa dengan oran tidak dikenal." tambah Suster Geno lagi.
Sementara itu, Suster Laurentina PI dari Yayasan JPIC Divina Prodiventia di Kupang, Nusa Tenggara Timur, sudah sejak tahun 2012 menangani para migran yang bekerja di negara lain, seperti di Malaysia.
"Keadaan semakin memburuk dari tahun ke tahun, apa lagi saat ada aturan moratorium di NTT, namun setelah dicekal di bandara, pemerintah tidak memberikan solusinya sehingga mereka tetap percaya pada calo ketimbang pemerintah," kata Suster Laurentina.
Kasus pengantin pesanan untuk dibawa ke Taiwan
Menurut Suster Genobeba sekarang ini ada berbagai modus yang digunakan untuk melakukan perdagangan manusia, yang membuat korban tidak sadar jika mereka nantinya akan diperdagangakan.
Dia mencontohkan kasus yang sedang ditangani Yayasan Vivat melibatkan seorang perempuan Dayak asal Kalimantan yang sebelumnya bekerja di Jakarta, berusia 27 tahun.
"Kasusnya terjadi bulan November lalu, karena dia merasa sudah umur menikah, dia kemudian mendapat tawaran untuk menikah dengan orang dari Taiwan oleh seseorang di sana," kata Suster Geno.
Pada awalnya, perempuan tersebut mendapat tawaran tiga orang pria.
Dengan berbagai alasan, dia akhirnya setuju untuk bertemu dengan pria ketiga.
Pria tersebut kemudian datang ke Indonesia dan mengatakan ingin cepat menikahi perempuan tersebut untuk kemudian dibawa ke Taiwan.
Mereka kemudian melakukan upacara pra-menikah di Kalimantan, sebelum pergi ke Jakarta.
Perempuan tersebut mulai curiga dirinya mungkin akan ditipu, karena semua informasi di paspornya sudah diganti, termasuk agamanya dan dikatakan ia sudah pernah ke Taiwan.
Menurut Suster Geno, perempuan tersebut kemudian melarikan diri dan ditampung di sebuah penampungan di Jakarta.
"Dari cerita yang dia dapatkan dari yang lain, nanti sesampainya di Taiwan mereka akan diperlakukan tidak baik, atau harus bekerja penuh untuk mencari nafkah, bahkan kemudian dijual ke orang lain," kata Suster Geno.
"Dokumen mereka juga dipalsukan dan diambil sehingga disana mereka tidak leluasa bergerak."
Di tahun 2020 ini, jaringan bernama "Zero Human Trafficking Network" (ZTN) bersama dengan para aktivis lintas agama menyerukan pentingnya peran agamawan untuk menjadi kunci pemberantasan perdagangan manusia, khususnya di wilayah-wilayah basis pekerja migran Indonesia dan perbatasan Indonesia-Malaysia.
"Kami ingin sekali ini memerangi perdagangan manusia menjadi gerakan bersama, terutama bagi jemaat agama-agama dan pimpinan agama," demikian pernyataan ZTN.
Foto: Supplied
Anak-anak ditawarkan beasiswa kemudian dijual
Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sedang mengalami masalah dengan perdagangan manusia.
Suster Laurentina di Kupang mengatakan masalah terkait perdagangan manusia di provinsi NTT berakar pada kemiskinan, tingkat pendidikan dan infrastruktur desa yang kurang memadai .
"Orang mudah untuk ditipu dengan kedok mencarikan pekerjaan yang lebih baik dan menghasilkan banyak uang," katanya kepada ABC Indonesia.
Dengan alasan itu, menurutnya, calo-calo atau jaringan perdagangan manusia pergi ke desa-desa utuk mencari mangsa dengan berbagai cara
"Mereka memberikan iming-iming ke calon korban dengan menawarkan pekerjaan yang enak, gaji besar dan tidak usah membawa apa-apa," kata Suster Laurentina.
"Banyak juga anak-anak ditawarkan beasiswa namun akhirnya dijual." katanya lagi.
Sama seperti modus penipuan lainnya, ia mengatakan identitas korban seringkali dipalsukan oleh calo dan membuat sulit baginya jika hendak melacak kasus.
Foto: Supplied
Selain sudah membantu masalah imigran sejak tahun 2012, Suster Laurentina juga sudah tiga tahun membantu mengurus jenazah para migran yang meninggal di Malaysia.
"Tahun 2017 ada 62 orang meninggal, tahun 2018 105 orang. Di tahun 2019 ada 119 jenazah dan di tahun 2020 ini sudah ada 33 jenazah," katanya.
Ia mengatakan kebanyakan yang mereka tolong tidak memiliki dokumen.
Pentingnya memahami pelaku perdagangan manusia
Suster Laurentina mengatakan untuk memerangi perdagangan manusia tidak bisa dilakukan satu pihak saja, melainkan melibatkan masyarakat dan pemerintah di tingkat desa sampai pusat.
Namun, salah satu pihak yang harus dipahami lebih mendalam adalah pelaku perdagangan manusia, menurut Yuniar Paramita Sari, mahasiswa PhD di RMIT, Melbourne.
Yuniar sedang melakukan penelitian terhadap pelaku perdagangan manusia di kalangan pembantu rumah tangga dan di industri seks, dengan kebanyakan pelakunya adalah perempuan.
Foto: Supplied
"Dalam hal pencegahan saya rasa kita harus memahami para pelaku. Selama ini fokus Indonesia dan internasional selalu mengarah pada korban," kata Yuniar yang menempuh studi di School of Global, Urban and Social Studies, RMIT.
"Itu tidak salah, karena korban yang paling menderita di sini," katanya.
Menurut Yuniar yang sudah melakukan penelitian di Jawa Barat, banyak di antara pelaku perdagangan manusia pernah menjadi korban dan sebagian lain adalah anggota keluarga sendiri.
"Di Indonesia susah untuk mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari kejahatan transnational, karena kebanyakan dari mereka yang melakukan adalah orang terdekat," kata Yuniar.
Dari temuannya terungkap jika motivasi pelaku dari kalangan orang terdekat tidak sepenuhnya uang atau ekonomi.
"Beberapa motivasi dan perspektif dari pelaku adalah [untuk] membantu korban, menjadi pahlawan dalam komunitas karena kebanggaan, misalnya orang tua menjual anak di Jawa Barat, bahkan karena desakan korban."
Menurut Yuniar, banyak juga mereka yang tidak sadar jika apa yang dilakukannya termasuk bentuk perdagangan manusia, seperti misalnya saat memfasilitasi orang yang hendak bekerja ke luar negeri atau membawa mereka ke industi seks.
"Kita juga harus mengatasi permasalahan pelaku atau orang-orang yang terlibat. Sehingga kita bisa menarik langkah pencegahan yang tepat," jelasnya