Nasib Mahasiswa Indonesia Batal ke Australia karena Pandemi COVID-19
- abc
Masih ditutupnya perbatasan Australia bagi warga negara asing telah menahan langkah mahasiswa baru asal Indonesia yang hendak kuliah di Australia. Padahal mereka sudah siap terbang untuk memulai menuntut ilmu di negara baru.
Seperti yang dialami Humberto Brian Buntoro, akrab disapa Brian, yang seharusnya terbang ke Sydney bulan Agustus nanti untuk melanjutkan studinya di University of New South Wales (UNSW).
Brian yang berasal dari Jakarta terpaksa membatalkan rencana untuk mempelajari bidang Manajemen Bisnis di Sydney, karena ketidakpastian di tengah pandemi COVID-19.
"Menurut saya ini adalah keputusan yang agak sulit, karena sudah planning [merencanakan] semuanya, dari IELTS, rapor … semua dari A ke Z sudah di-prepare [dipersiapkan]," kata Brian.
Mendengar kabar soal penularan virus corona di Jakarta semakin parah April lalu, ia khawatir akses keluar-masuk antar Indonesia dan Australia akan menjadi semakin sulit ke depannya.
Apalagi sempat ada berita dari Australia yang menarik perhatiannya, yang menyebutkan Indonesia akan menjadi pusat baru penularan virus corona.
Ia mengaku khawatir jika dia tidak bisa kembali ke Indonesia lagi dan "takut di-"lockdown"".
Brian yang sudah berharap bisa mendapat pengalaman kuliah di luar negeri, memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S1 di Indonesia.
"Jujur kuliah di Australia sebenarnya bukan keinginan saya. Kalau saya ke mana saja boleh … cuma karena kakak saya ada di Australia, saya diminta menemani," katanya.
"Kuliah di Indonesia pun tidak apa-apa. Kalau ada kondisi apa saja saya terima. Mungkin ada rencana Tuhan yang lebih baik, daripada memaksakan dan menyesal."
Ia merasa beruntung karena belum sempat membayar uang kuliah du Australia, sehingga tidak terbebani ketika harus mengubah rencana kuliahnya.
Lebih baik menunda semester daripada kuliah online
Berbeda dengan Brian, Duta Noor Vijaya Rianto yang akrab disapa Boni, melakukan "defer" atau menunda waktu masuk kuliahnya hingga Februari 2021.
Keputusan ini menyebabkan Boni, yang juga menempuh program "double degree", atau dua gelar, dari Universitas Indonesia (UI), kehilangan kesempatan untuk mendapatkan cum laude.
"Untuk di UI, ada peraturan kalau mau cum laude, tidak boleh cuti, karena saya hitungannya cuti sekarang. Jadi banyak yang berpikir daripada cuti satu semester lebih baik kuliah walaupun online," kata dia.
Tapi sebaliknya bagi Boni yang akan melanjutkan kuliahnya di "Deakin University" Melbourne, pilihan untuk menunda waktu kuliah malah lebih menguntungkan dari segi biaya, menurutnya.
"Saya memutuskan untuk "defer" karena daripada saya harus bayar uang kuliah tapi "online", mendingan saya bayar tapi langsung ke sana [Australia]."
Australia di mata Boni, memiliki daya tarik sebagai sebuah negara yang secara geografis dekat dengan Indonesia, namun menawarkan pengalaman tinggal di negara dengan budaya barat.
Dengan pandangan ini, ia menolak untuk kuliah di negara tetangga lainnya dan memilih untuk menunggu kabar dari Australia.
"Sempat ditawarkan pilihan ke negara lain seperti Singapura dan Malaysia, cuma saya lebih sregnya di Australia," kata Boni kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia via telepon.
"Memang sudah dari dua tahun yang lalu awal saya masuk pun saya ingin ke Australia ... ditambah sebelum COVID, "partner" Fakultas Kedokteran UI dari Australia saja. Jadi ya susah kalau untuk pindah lagi."
Penerima beasiswa melihat penundaan sebagai jalan terbaik
Di saat Brian dan Boni dapat menentukan pilihan mereka, Bakti Abdillah yang merupakan penerima beasiswa Australia Awards hanya bisa menunggu kabar selanjutnya dari Pemerintah Australia.
Bakti seharusnya sudah mulai kuliah di "University of Queensland" Juni lalu, namun, karena pandemi dan penutupan perbatasan Australia, baru dijadwalkan untuk berangkat pada bulan Januari 2021.
"Sebenarnya dari pihak beasiswa sudah berusaha maksimal agar kami tetap berangkat bulan Juli kemarin. Tapi ketika sudah rapat, mereka bilang tidak bisa," kata Bakti.
Sama seperti penerima beasiswa lainnya, Bakti sudah berhenti dari pekerjaannya sebagai asisten peneliti di bidang lingkungan untuk bersiap mengikuti program "pre-departure training" atau pelatihan sebelum studi di Australia.
Namun, menurutnya, keputusan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) untuk menunda tanggal keberangkatan penerima beasiswa di seluruh dunia hingga Januari 2021 ini adalah yang terbaik.
"Di satu sisi, kalau misalnya kami tetap berangkat, kemungkinan akan lebih kaget lagi karena di bayangan kami sampai sana akan kuliah "face to face"," kata Bakti.
"Sedangkan mungkin dengan cara belajar "online" yang menatap komputer itu, mungkin perlu adaptasi yang lebih lagi sehingga penyampaian materi akan lebih sulit bagi teman-teman yang lain juga."
Sistem pendidikan di Australia menjadi daya tarik tersendiri bagi Bakti yang ingin menempuh pendidikan lanjut dan akan mempelajari program "Master of Geographic Information Science".
"Australia memang salah satu negara yang bisa dibilang bagus sistem pendidikannya sehingga banyak pelajar dari negara lain juga berbondong-bondong untuk sekolah di sana," kata dia.
"Selain itu Australia memang termasuk negara yang cantik, dan "worth it" untuk dikunjungi … apalagi kita tahu Australia sebagai negara multikultural, sehingga bisa menjalin komunikasi dan hubungan dengan teman-teman lain."
Ratusan warganegara Indonesia membatalkan visa pelajar ke Australia
Keberadaan mahasiswa internasional dinilai sangat penting bagi perekonomian Australia karena menyumbang pendapatan sebesar AU$40 milyar setiap tahunnya.
Selain itu, mereka telah membantu menciptakan lebih dari 250.000 lapangan pekerjaan di Australia dari tahun ke tahun.
Namun, terhitung akhir tahun lalu, Departemen Dalam Negeri Australia mencatat jumlah warganegara Indonesia yang sudah membatalkan visa pelajar mereka ke Australia.
"Sebanyak 165 warganegara Indonesia telah meminta agar visa pelajar mereka dibatalkan di tahun 2019-20," kata juru bicara departemen tersebut kepada ABC Indonesia.
Dalam rilis media yang dikeluarkan departemen tersebut 20 Juli lalu, Pemerintah Australia memberlakukan lima perubahan ketentuan visa pelajar untuk meringankan beban mereka.
"Lima perubahan ini adalah untuk memastikan kondisi mahasiswa internasional tidak memburuk karena pandemi virus corona," bunyi rilis tersebut.
Menteri Urusan Imigrasi Alan Tudge mengatakan kesehatan seluruh masyarakat di Australia adalah kunci, namun tidak ingin mahasiswa internasional lebih dirugikan oleh COVID-19.
"Kita adalah negara yang menerima pendatang, menyediakan sistem pendidikan kelas dunia, serta memiliki tingkat penyebaran COVID-19 yang rendah," katanya.
"Para mahasiswa ini ingin kuliah di sini dan kita ingin menyambut mereka kembali dalam keadaan aman."
Beberapa usaha untuk menjemput mahasiswa internasional di luar Australia sempat dibicarakan.
Namun, hingga kini, belum ada waktu pasti kapan Australia akan membuka perbatasannya bagi mahasiswa internasional.
Boni berharap Pemerintah Australia dapat memperjelas keputusan tersebut.
"Karena ini pandemi, kita hanya bisa berharap yang terbaik. Cuma saya sebenarnya ingin ada sedikit kejelasan dari pihak Australianya dibukanya kapan."