Pemilu Singapura: Menghitung Kekuatan Partai Oposisi
- bbc
Singapura mungkin adalah salah satu negara terkaya dan "terpintar" dunia, namun sejak merdeka ada satu hal yang baru terwujud sekarang, partai oposisi yang punya kekuatan. Setelah hasil mengejutkan dalam pemilu baru-baru ini, suara-suara perubahan bermunculan, tulis wartawan BBC Sharanjit Leyl.
Pada 10 Juli lalu, para pemilih yang memakai masker berdiri tertib mengantre di tempat pemungutan suara. Pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi bercokol di benak mereka.
Hasil pemilu tersebut kembali dimenangkan Partai Aksi Rakyat (PAP). Namun, secara mengejutkan bagi banyak orang, suara yang diperoleh tergerus oleh kubu oposisi.
Tanpa disangka, partai oposisi terbesar, Partai Pekerja, meraih hasil terbaik sepanjang sejarah dengan merebut 10 kursi di parlemen.
Padahal, di Singapura, orang yang mendukung partai oposisi dipandang sedang melancarkan protes. Dan, oleh sebab itu, anggota parlemen sejak dulu sangat jarang. Kalaupun ada, suara mereka tidak banyak berpengaruh di parlemen.
Saat berkampanye pun, pemimpin Partai Pekerja, Pritam Singh, meyakinkan para pemilih bahwa partai pimpinannya tidak punya ambisi untuk memerintah. Mereka hanya ingin dapat menguatkan mekanisme kawal dan imbang (check and balance) terhadap PAP.
Setelah Partai Pekerja mendulang kesuksesan, Perdana Menteri Lee Hsien Loong memberi titel kepada Pritam Singh, Pemimpin Resmi Oposisi—pertama kalinya pemimpin oposisi di Singapura dipandang cukup relevan untuk menyandang predikat itu.
Dengan titel tersebut, Singh berhak mendapatkan pendanaan negara untuk mempekerjakan staf dan pengeluaran lainnya, sehingga Partai Pekerja tampak sebagai oposisi yang punya kekuatan.
Dalam pernyataan kepada BBC, Singh mengaku jumlah kursi yang diraih pihaknya di parlemen masih sedikit dan "sangat jauh dari sepertiga jumlah kursi yang diperlukan untuk memecahkan mayoritas super partai berkuasa di parlemen."
Bagaimanapun, peristiwa ini menandai perubahan besar pada ranah politik Singapura dan bisa menjadi langkah menuju runtuhnya dominasi PAP.
Negara dengan satu partai?
Warga Singapura tidak pernah sekalipun merasakan masa ketika PAP absen dalam kekuasaan. Partai itu memenangi setiap pemilu sejak Singapura diberikan hak berkuasa secara mandiri oleh Inggris pada 1959.
Salah satu pendiri PAP adalah Lee Kuan Yew, sosok yang dianggap banyak orang sebagai arsitek kesuksesan ekonomi Singapura.
Sedemikian eratnya hubungan PAP dengan "LKY", pada pemilu 2015 dukungan untuk PAP meningkat pesat setelah mendiang tutup usia sesaat sebelum pemilu berlangsung.
Putra "LKY", Lee Hsien Loong, adalah Perdana Menteri Singapura saat ini.
Walau dipuji karena dianggap menjadi kunci kesuksesan Singapura, PAP juga dituding menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengekang kebebasan publik, seperti aturan terkait media dan aturan mengenai perkumpulan warga.
Undang-Undang "berita palsu" tahun lalu—yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk memerintahkan pengubahan unggahan online yang dianggap palsu dan berbahaya bagi kepentingan publik—meningkatkan kerisauan mengenai pembatasan kebebasan berekspresi serta penyensoran.
Saat pemilu lalu berlangsung, sejumlah media dan situs yang mengutip komentar dari kandidat oposisi menjadi korban undang-undang tersebut.
Kemudian, meskipun politik Singapura memakai model pemilu legislatif ala Inggris (sebuah partai hanya bisa mengajukan satu kandidat untuk satu wilayah), ada berbagai perbedaan mencolok yang membuat partai oposisi sulit bersaing.
Wilayah-wilayah dengan jumlah pemilih yang banyak di Singapura tidak diwakili satu anggota parlemen, tapi sebuah tim yang terdiri dari lima anggota parlemen—disebut Kelompok Perwakilan Konstituensi (GRC).
Sistem itu diberlakukan pada 1988 lalu sebagai cara untuk memasukkan lebih banyak perwakilan dari etnik Melayu, India, dan etnik lainnya di negara-kota yang penduduknya mayoritas keturunan Tionghoa. Dengan begitu, sebuah parpol bisa memajukan satu atau dua caleg dari etnik minoritas.
Akan tetapi, akhir-akhir ini partai oposisi tidak punya sumber daya manusia untuk merekrut caleg yang punya kemampuan dan berpengalaman untuk bersaing di wilayah dengan jumlah pemilih banyak.
Karenanya, ketika Partai Pekerja memenangi GRC Aljunied pada 2011, peristiwa itu dianggap sebagai kemenangan mengejutkan dan terobosan bagi suara oposisi. Tahun ini, mereka telah merebut wilayah besar lain.
Upaya itu tentu sangat mahal mengingat Singapura merupakan salah satu negara dengan biaya hidup termahal di dunia.
Seorang caleg harus menyetor S$13.500 atau sekitar Rp143 juta untuk bisa bersaing dalam pemilu. Agar bisa mendapatkan kembali uang itu, seorang caleg harus melampaui seperdelapan dari total suara.
Perbedaan elektoral dari setiap wilayah pemilihan juga kerap diubah untuk mencerminkan pertumbuhan penduduk. Partai-partai oposisi mengeluh bahwa hal ini dilakukan tidak transparan dan manipulatif, sesuatu yang selalu dibantah pemerintah.
Di samping itu, ada tuduhan lama bahwa wilayah-wilayah yang dikuasai PAP cenderung mendapat lebih banyak dana pembangunan dan perbaikan fasilitas ketimbang daerah yang dikuasai oposisi sehingga pemilih pun enggan memilih oposisi.
PAP menolak permintaan BBC untuk wawancara mengenai topik-topik ini.
Semua hal di atas dapat diartikan, kalaupun partai-partai oposisi bersikap vokal dan aktif, hampir mustahil bagi mereka untuk bersaing dengan PAP.
`Situasi yang sangat janggal`
Kampanye Pritam Singh berpusat pada premis bahwa pemerintah lebih merespons kerisauan masyarakat ketika kehilangan kursi, seperti pada 2011 saat PAP mengalami kekalahan pemilu terburuk kemudian melakukan perubahan kebijakan di bidang imigrasi—salah satu topik yang menjadi fokus banyak pemilih.
Kesuksesan Partai Pekerja dianggap banyak kaitannya dengan pemilih muda dan pemilih perdana, yang berjumlah sepertiga dari seluruh pemilih serta yang dipandang ingin melihat Singapura berkembang sebagai negara demokrasi.
Dugaan serangan PAP terhadap kandidat dari kubu oposisi diperkirakan juga membuat para pemilih enggan memilih partai berkuasa tersebut.
Eugene Tan, pengamat politik sekaligus asisten profesor hukum di Singapore Management University, berpendapat hasil pemilu menguatkan pandangan bahwa para pemilih—terutama pemilih muda—mulai memandang dominasi satu partai adalah "situasi yang sangat janggal bahkan tidak adil".
Insting PAP dalam "perburuan dominasi politik", papar Tan kepada BBC, "semakin bertentangan dengan keyakinan para pemilih bahwa persaingan politik dan keberagaman… adalah bahan penting bagi sistem tata pemerintahan yang kokoh".
Viswa Sadasivan, seorang akademisi dan blogger yang banyak menulis mengenai politik, mengatakan pemilu lalu adalah sesuatu yang mengubah politik Singapura.
Seperti Eugene Tan, Viswa pernah menjabat "anggota parlemen yang dinominasikan"—kursi di parlemen yang diberikan kepada individu-indvidu non-partisan guna memberikan pandangan alternatif.
Jabatan ini diciptakan pada 1990, tatkala anggota parlemen dari kubu oposisi terbilang sangat jarang dan PAP kerap memenangi pemilu sebelum hari-H lantaran hampir semua kursi parlemen tidak diperebutkan dengan oposisi.
Hasil pemilu baru-baru ini, katanya kepada BBC, adalah "tamparan pada wajah PM Lee Hsien Loong yang meminta mandat kuat dari rakyat".
Baik Tan maupun Sadasivan menilai bahwa masih banyak yang harus dibuktikan oleh partai-partai oposisi setelah PAP mendominasi sekian lamanya.
Meski demikian, menurut Viswa, partai berkuasa akan mendapat tekanan untuk meninjau ulang serta mencabut kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik politik yang tidak adil dan sistemik.
Tan mengatakan pemerintahan PAP mungkin akhirnya bisa menerima fakta bahwa "persepsi publik" mengenai "medan persaingan yang tidak seimbang semakin menjadi sumber keprihatinan para pemilih.
"Pada akhirnya ini melukai partai berkuasa," katanya.
Tan dan Viswa menilai, dengan suara yang lebih keras dari kubu oposisi, politik harus mengambil sikap yang lebih kolaboratif—khususnya mengingat ekonomi yang melesu.
Sebagian besar warga Singapura akhirnya bisa bersepakat, kubu manapun yang mereka pilih, hasil pemilu lalu adalah pertanda demokrasi di negara mereka menuju ke arah pendewasaan.