China Berpotensi Populerkan Mata Uang Yuan Pasca Covid-19
- Pixabay
VIVA – China berpotensi akan berusaha mempopulerkan mata uangnya, yakni yuan dan remimbi pasca pandemi virus corona (covid-19). Itu karena transaksi berjalan China untuk pertama kalinya mengalami defisit setelah 30 tahun terakhir mengalami surplus.
Hal itu disampaikan Menteri Perdagangan periode 2011-2014 dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode 2009-2012, Gita Wirjawan diacara webinar Buka Suara VIVAnews bertajuk New Normal: Bisakah Bangkitkan Ekonomi RI, Selasa, 9 Juni 2020.
Kata Gita, puncak surplus neraca transaksi berjalan yang dimiliki China terjadi pada 2008 sebesar US$420,6 miliar, namun secara gradual angkanya mengalami penurunan. Baru setelah covid-19, atau tepatnya pada Maret 2020, neraca transaksinya mengalami defisit US$29,7 miliar.
"2008 mereka surplus US$420 miliar, tapi itu secara gradual turun bahkan di 2020 mereka defisit setelah 30 tahun. Ini menurut saya suatu fenomena yang agak mengkhawatirkan di mana Tiongkok yang selama ini bisa himpun surplus besar," tutur dia.
Menurut Gita, kondisi defisitnya neraca transaksi berjalan China itu cukup mengkhawatirkan karena proyek-proyek yang mereka jalankan di berbagai belahan dunia, berpotensi terganggu. Misalnya, yang berpotensi terdampak adalah mega proyek one belt-one road.
Itu karena China dianggapnya tidak akan lagi mampu melakukan eksportasi modal secara besar-besaran terhadap proyek-proyek tersebut. Karenanya, menurut dia, untuk bisa memulihkan kembali kondisi tersebut, China akan berusaha mempopulerkan mata uang yuan.
"Ini akan berdampak ke proyek-proyek mereka seperti belt and road karena terbatasnya dana transaksi berjalannya. Mereka harus berpikir solusinya, salah satunya adalah mempopulerkan mata uang dia, yakni yuan dan remimbi," tegas Gita.
Selain itu, Gita menganggap, saat ini popularitas yuan sebagai alat transaksi di dunia hanya di posisi enam atau hanya 1,66 persen, jauh tertinggal dari dolar Amerika Serikat yang sebesar 43,37 persen, Euro 31,46 persen, bahkan yen Jepang 3,79 persen.
"Tapi yuan popularitasnya enggak tinggi, enggak lebih dari dua persen di mana dolar masih dominan. Ini mereka harus bisa mentraksikan aspirasinya dengan mata uang sendiri, ini cara Tiongkok untuk siasati keterbatasan mereka dari sisi defisit transaksi berjalan mereka," ucap dia.