Lockdown Covid-19 di Inggris Buka Peluang Usaha Kuliner Indonesia
VIVA - Jasa katering di Inggris seakan mati seketika saat Perdana Menteri Boris Johnson mengumumkan pemberlakuan lockdown atau karantina wilayah mulai tanggal 23 Maret lalu lantaran penyebaran virus corona di luar kendali.
"Saya benar-benar sedih dan kecewa karena membayangkan semua kegiatan akan dibatalkan. Sebelum lockdown saja semua order sudah dibatalkan. Bagaimana rasanya, pemasukan saya selama ini dari katering," ungkap Ina Nugroho, seorang warga negara Indonesia yang menetap di London, Inggris.
Kekhawatiran perempuan dengan panggilan akrab Teh Ina itu terbukti benar.
Warga diperintahkan untuk bekerja dari rumah, kecuali mereka yang bekerja di sektor-sektor esensial. Mereka pun hanya boleh keluar sekali per hari untuk kepentingan olahraga.
Seluruh kegiatan perkantoran, bisnis dan acara sosial dihentikan padahal selama ini klien terbesarnya adalah KBRI London. Pembatalan pemesanan datang bertubi-tubi mulai dari pesta pernikahan, syuting film hingga pemesanan rutin.
Namun Ina dengan bendera usaha katering Dapur Teh Ini (DTI) itu menemukan peluang atas dasar kesulitan yang dialaminya.
"Alhamdulillah, sejak ada kebijakan lockdown animo peminat masakan Dapur Teh Ina (DTI) justru semakin meningkat dan rutin setiap minggu," ungkap perempuan yang pertama kali merintis usaha makanan Indonesia di London pada tahun 2005 tersebut.
Kini omsetnya meningkat 100% jika dibandingkan pemasukan sebelum lockdown.
Masakan Padang, siomay, bakwan Malang dan jajanan pasar menjadi menu yang laris.
Melalui media sosial, ia gencar menawarkan masakannya. Pemesanan pembelian diterbitkan setiap minggu dan makanan yang dikemas dengan teknik kemasan vakum lantas dikirim via jasa kurir kepada pelanggan yang tinggal di luar London.
Adapun untuk pemesanan dalam kota, ia biasa berkeliling London seminggu sekali untuk mengantarkan pesanan dengan dibantu suaminya.
Masak `bau` dekat tetangga
Yunni Marsid juga menemukan peluang di tengah kesulitan bertepatan denagan pemberlakuan karantina wilayah di Inggris.
Dari dapurnya di sebuah flat di London timur laut, Yunni membuat berbagai makanan Indonesia, terutama bakso, otak-otak dan lapis Surabaya.
Awalnya hanya melayani pesanan untuk even atau pesta, selama bulan puasa kemarin ia membuka pemesanan pembelian (PO) secara daring.
Bagaimana jika menggoreng terasi karena berada dalam satu gedung dengan tetangga?
"Kita tinggal di flat makanya kita sangat hati-hati. Saat masak yang berbau kita selalu tutup jendela," aku Yunni.
Yunni memulai usaha kuliner di Inggris sejak tahun 2004, awalnya atas dorongan para mahasiswa yang mencicipi masakannya di rumah. Usahanya sempat berhenti pada tahun 2016 ketika ia mengajak anak-anaknya.
"Saat kembali ke UK (Inggris) tahun 2018, beberapa bulan kemudian saya sempat bekerja sebagai cook assistant (asisten koki) sampai dengan akhir Januari 2020," tambahnya.
"Pada saat Ramadan kemarin, dalam kondisi lockdown terlintas untuk mulai mempromosikan kuliner lagi dengan buka open PO (pemesanan pembelian) di Facebook. Alhamdulillah ternyata banyak customer lama yang sudah menantikannya.
"Karena ramainya customer yang antusias dan feedback positif yang kita terima, hal tersebut membantu mengundang banyak peminat customer baru," katanya.
Usahanya di dunia maya dinamai Warung-e Yunni atau warungnya Yunni.
Dari dompet sekitar 30-40 konsumen seminggu, ia menerima pemasukan kotor antara £1.200-£1.500 atau sekitar Rp21 juta-Rp27 juta.
Katering kru film
Baik Ina Nugroho maupun Yunni Marsid mengandalkan pasar masyarakat Indonesia yang tinggal di Inggris dan warga setempat yang telah mengenal Indonesia.
Berdasarkan data KBRI London, jumlah WNI yang terdaftar di Inggris mencapai 9.362 orang, sebagian besar berdomisili di ibu kota.
Hanya ada beberapa restoran yang menyajikan masakan Indonesia di London, itu pun campur dengan menu-menu Malaysia.
Kedua perempuan itu juga membuka warung tenda di acara-acara komunitas Indonesia seperti bazaar 17 Agustus, acara kebudayaan dan pertandingan olahraga.
"Komentar konsumen orang asing pun cukup positif terhadap masakan kita dan selama ini feedback dari konsumen cukup bagus," jelas Yunni.
Di samping menyasar pasar yang sama, Ina juga mempunyai kontak dengan rumah produksi film Indonesia.
Ia mengaku telah melayani katering untuk kru pembuatan film-film, termasuk London Love Story 1 dan 2, bahkan Ayat Ayat Cinta 2.
Bagi sebagian, ketersediaan kuliner Indonesia di tengah karantina wilayah karena virus corona bisa menjadi obat penawar rindu.
"Menurut saya jasa katering Dapur Teh Ina di masa lockdown ini sangat mempermudah dan menguntungkan konsumen yang memberikan pelayanan pemesanan jarak jauh. Tetap bisa menikmati masakan khas Indonesia di masa lockdown," ungkap Djonny Chen, seorang produser film yang berdomisili di Inggris.
Ia kerap memesan makanan Indonesia karena perusahaannya, Silent D Pictures, bekerja sama dengan perusaahaan-perusahaan film dari Indonesia yang melakukan syuting film layar lebar di Inggris.
Baik kru maupun bintang film dari Indonesia dan Inggris, tambahnya, sama-sama menikmati kekhasan makanan Indonesia.
Ia menyebut sejumlah nama, di antaranya Acha Septriasa, Fedi Nuril, Chelsea Islan, Dewi Sandra, Dimas Anggara dan Michelle Ziudith.
Komplain pembeli
Karena syuting berlangsung sampai sebulan atau bahkan lebih, ia meminta variasi menu. Yang jelas nasi goreng, nasi kapau, rendang, balado telur, empal, dan makanan-makanan lainnya sudah menjadi keharusan.
"British cast and crew sangat menikmati kekhasan masakan Indonesia dari bu Ina." Demikian Djonny menjelaskan ketika ketika menjawab pertanyaan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, Rabu (27/05).
Akan tetapi tidak semua konsumen merasa puas. Yunni Marsid berbagi pengalaman ketika ada pemesan yang mengadu karena pesanannya datang terlambat.
"Sudah dikasih tahu kalau terlambat dalam pengiriman itu diluar kontrol kita, masih saja tak terima kalau ada keterlambatan dan tak mau memahami bahkan menuntut tanggung jawab penjual," ia mengisahkan.
Konsumen lainnya mengadu karena kemasan lapis Surabaya yang dipesan rusak sehingga keamanan isinya diragukan. Tetapi setelah hendak dikembalikan pembayarannya, si konsumen menolak karena mengaku lapis itu "sudah dimakan".
Dan tidak hanya itu persoalan yang muncul. Tidak semua bahan yang diperlukan untuk memasak makanan Indonesia tersedia di toko-toko, walau toko makanan dan supermarket tetap buka selama karantina sejak tanggal 23 Maret lalu.
Pada umumnya bahan dan bumbu diimpor dari negara-negara Asia, seperti laos, serai, daun jeruk dan terasi. Bahan-bahan itu dijual di toko Asia atau oriental grocer.
"Kendala utama dalam masa lockdown adalah keterbatasan stok bahan masakan terutama untuk bahan-bahan asal Asia. Di samping itu, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengikuti prosedur social distancing (jaga jarak)," jelas Ina Nugroho merujuk pada antrean panjang di depan toko sembari menjaga jarak dua meter.
Betapapun, Ina Nugraha dan Yunni Marsid merasa beruntung karena berhasil menggaet konsumen ketika banyak restoran dan kafe di Inggris tidak beroperasi. Pemerintah Inggris mengharuskan tempat-tempat itu hanya melayani pesanan untuk dibawa pulang atau diantar selama karantina wilayah.
Inggris tercatat sebagai negara dengan jumlah kematian terbanyak di Eropa akibat Covid-19, 37.460 orang hingga Rabu (27/05).