Corona Merajalela di Spanyol, Area Skating Jadi Kamar Mayat Darurat
- Marca
VIVA – Dalam hitungan 18 hari, angka kematian di Spanyol karena Corona Covid-19 meningkat drastis. Jumlah kematian korban corona di negeri Matador itu melampaui China dan kini menempel Italia.
Dilansir dari The Guardian, Kamis, 26 Maret 2020, angka kasus kematian karena corona di Spanyol tembus 3.434 orang dari 47.610 kasus. Data ini melonjak drastis dibanding tiga pekan lalu yang terdeteksi 430 kasus.
Meroketnya angka kematian karena corona membuat otoritas Spanyol kewalahan. Petugas medis yang berada di barisan terdepan penanganan corona mengeluhkan alat pelindung diri. Kondisi Ibu Kota Spanyol yaitu Madrid berubah.
Dilaporkan ada area skating di Madrid diubah menjadi kamar mayat darurat. Status Madrid yang sebelumnya jadi ikon forum tuan rumah KTT iklim COP25 berubah menjadi rumah sakit lapangan yang besar.
Bagi sebagian rakyat di Spanyol mungkin kebijakan lockdown dianggap terlambat. Salah satunya pernyataan Menteri Pertahanan, Margarita Robles yang menyampaikan adanya penemuan tentara terhadap sejumlah orang lanjut usia yang ditinggalkan dalam kondisi meninggal dunia di tempat tidur mereka.
Para tentara itu ditugaskan membantu mengatasi wabah corona dengan melakukan penyemprotan disinfeksi rumah-rumah penduduk.
Dikutip dari laman Channel News Asia, pemerintah Spanyol mengumumkan mengalokasikan anggaran €432 juta atau US$467 juta untuk membeli alat medis dari China. Kebijakan ini karena melihat angka kematian yang meroket di Spanyol. Berbanding terbalik dengan China yang berhasil menekan kasus corona.
Pun, Spanyol dan Italia bersama sejumlah negara Uni Eropa mendesak Jerman serta Belanda agar mengizinkan masalah obligasi Eropa bersama. Permohonan ini demi memotong biaya pinjaman dan menstabilkan ekonomi zona Eropa imbas dari corona.
Kondisi memprihatinkan dialami petugas medis di salah satu rumah sakit di Spanyol. Misalnya di Rumah Sakit Universitas La Paz di Madrid.
Seorang perawat benama Guillen del Barrio, menceritakan kisah pilu selama menangani korban corona. Sebab, beberapa petugas medis juga tumbang karena minimnya persediaan alat pelindung diri yang mumpuni.
"Ini benar-benar sulit, kami menderita demam selama berjam-jam di ruang tunggu," kata pria berusia 30 tahun itu.
Dia menyebut banyak koleganya menangis karena ada anggota keluarganya meninggal sendirian tanpa bisa disemayamkan oleh keluarga. Pihak keluarga tak bisa melihat terakhir kalinya jenazah anggota keluarga yang meninggal karena keganasan corona tersebut.