Maria Ressa, Jurnalis Senior Filipina Pendiri Rappler Diputus Bersalah
- bbc
Jurnalis ternama Filipina, Maria Ressa, dinyatakan bersalah dalam oleh pengadilan di Manila kasus pencemaran nama baik melalui siber, pada Senin (15/06).
Hakim Rainelda Estacio-Montesa memvonis Ressa selaku CEO sekaligus pemimpin redaksi media Rappler dengan hukuman penjara selama enam bulan satu hari hingga enam tahun.
Selain Ressa, hakim juga memvonis mantan penulis-periset Rappler, Reynaldo Santos, dengan hukuman serupa.
Akan tetapi, sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP, Ressa dan Santos dapat tetap bebas dengan membayar uang jaminan selagi upaya banding dilakukan.
Dalam persidangan Ressa membantah semua tuduhan dan mengklaim tuduhan tersebut dilancarkan dengan bermotif politik.
"Kami akan berdiri menentang segala bentuk serangan terhadap kebebasan pers," kata Ressa kepada para wartawan di Manila, seperti dikutip AFP.
https://twitter.com/rapplerdotcom/status/1272337281861509120
Kasus ini bermula dari sebuah artikel delapan tahun lalu terkait dengan dugaan hubungan seorang pengusaha dengan mantan hakim di pengadilan tertinggi Filipina.
Pada 2017, si pengusaha kemudian menuntut Ressa menggunakan undang-undang kontroversial "cyber-libel" yang mulai berlaku pada bulan September 2012, empat bulan setelah tulisan tersebut terbit.
Siapa Maria Ressa?
Ressa adalah wartawan veteran Filipina yang sebelum mendirikan Rappler, menghabiskan karirnya dengan CNN - pertama sebagai kepala biro di Manila dan kemudian di Jakarta.
Dia juga merupakan wartawan investigatif utama media AS tersebut terkait dengan terorisme di Asia Tenggara.
Dia memenangkan sejumlah penghargaan internasional karena liputannya dan dipilih menjadi Time Magazine Person of the Year tahun 2018 karena usahanya mempertanyakan tanggung jawab kekuasaan di lingkungan yang semakin memusuhinya.
Menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan pers
Para pendukung kebebasan pers mengatakan wartawan veteran itu menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte, karena sejumlah laporan kritis Rappler terkait pemerintah.
Penangkapan berulang-ulang terhadap Ressa telah menuai kecaman internasional dan menimbulkan kekhawatiran tentang memburuknya kebebasan pers di negara itu.
Menurut Rappler, ini sudah kasus ketujuh yang membelit Ressa dan kasus ke-11 yang melibatkan Rappler. Presiden Rodrigo Duterte sebelumnya membantah tuduhan bahwa penangkapan itu bermotivasi politik dan dia menyebut Rappler sebagai situs "berita palsu".
Sejak 1986, 176 wartawan terbunuh di Filipina, menjadikan negara itu salah satu negara yang paling berbahaya di dunia bagi wartawan. Pada tahun 2016, presiden dikritik karena mengatakan beberapa wartawan itu pantas mati.