George Floyd Dimakamkan di Samping Pusara Ibundanya

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

 

EPA
George Floyd yang meninggal dunia setelah polisi menekan lehernya dengan menggunakan lutut dimamkam di samping pusara ibunya di Houston.

 

George Floyd dimakamkan di Houston, Texas, hari Selasa (09/06), dua pekan setelah dibunuh oleh polisi di kota Minneapolis.

Kematiannya memicu demonstrasi dan aksi menentang rasisme di Amerika Serikat dan berbagai kota di seluruh dunia.

Prosesi pemakaman Floyd di Houston berlangsung tertutup namun disiarkan secara langsung melalui internet.

Floyd yang meninggal dunia setelah polisi menekan lehernya dengan menggunakan lutut dimakamkan di samping pusara ibunya.

 

 

Ribuan orang turun ke jalan guna memprotes rasisme, kebanyakan ikut unjuk rasa untuk pertama kalinya dalam hidup mereka dan terdiri dari multietnis.

Mengapa tragedi ini mampu menghubungkan satu sama lainnya?

Floyd bukanlah warga Afrika-Amerika pertama yang kematiannya di tahanan polisi telah memicu protes.

Ada juga gelombang unjuk rasa dan seruan adanya perubahan setelah sosok seperti Tamir Rice, Michael Brown, dan Eric Garner dibunuh aparat polisi.

 

EPA
Para pendemo mengibarkan bendera AS bertuliskan `Saya tidak bisa bernapas`, yang merujuk kata-kata mendiang George Floyd saat lehernya ditekan lutut polisi.

 

Namun kali ini agaknya berbeda, dengan tanggapan yang lebih berkelanjutan dan berskala luas.

Ada unjuk rasa di seluruh AS - di seluruh 50 negara bagian dan Washington DC - termasuk di kota-kota dan kawasan pedesaan yang sebagian besar warganya berkulit putih.

Pemerintahan lokal, dunia olah raga, dan para pebisnis tampaknya lebih siap untuk bersikap kali ini - terutama yang terlihat dari sikap Dewan Kota Minneapolis yang berjanji merombak lembaga kepolisian.

Dan gelombang protes Black Lives Matter kali ini tampaknya lebih beragam secara rasial - dengan jumlah yang lebih besar dari pengunjuk rasa kulit putih, dan pendemo dari etnis lain, bergabung dengan para aktivis kulit hitam.

Beberapa faktor berbeda lainnya ikut menentukan sehingga menciptakan "badai sempurna untuk aksi pemberontakan" terhadap kematian George Floyd, ujar Frank Leon Roberts, aktivis yang melakukan pendampingan dalam gerakan Black Lives Matter di New York University, kepada BBC.

 

Kematian Floyd sangat `mengerikan dan nyata`

 

Polisi Derek Chauvin menekan leher Floyd dengan lututnya selama hampir sembilan menit - bahkan ketika Floyd berulang kali mengatakan "saya tidak bisa bernapas" dan akhirnya dia menjadi tidak responsif.

Insiden itu direkam dengan jelas dalam video.

"Dalam banyak contoh kekerasan yang dilakukan aparat polisi sebelumnya, ada semacam narasi yang bersifat ambigu - ada anggapan parsial tentang apa yang terjadi, atau aparat kepolisian mengatakan mereka membuat keputusan sepersekian detik karena mereka takut atas keselamatan mereka sendiri," kata Roberts.

"Dalam kasus George Floyd, ini adalah ketidakdilan yang sepenuhnya tidak ambigu - di mana masyarakat dapat melihat pria ini [Floyd] benar-benar tidak bersenjata dan tidak mampu berbuat apa-apa."

 

BBC
Wengfay Ho (kedua dari kiri) mengatakan dia bergabung dalam unjuk rasa Black Lives Matters untuk pertama kalinya karena kematian George Floyd.

 

Banyak orang yang bergabung dalam unjuk rasa baru-baru ini merupakan pengalaman pertama berdemo, yang mengaku melihat kematian George Floyd membuat mereka merasa tidak bisa hanya berdiam diri di rumah lagi.

"Ada ratusan kematian yang tidak terekam dalam video, tapi saya pikir kekejaman dan kebencian yang nyata dari video itu mampu membangunkan masyarakat," kata Sarina LeCroy, pengunjuk rasa dari Maryland, kepada BBC.

Demikian pula, Wengfay Ho yang berujar bahwa dirinya selalu mendukung gerakan Black Lives Matter, tetapi kematian George Floyd merupakan "katalisator" yang mendorongnya turun ke jalan untuk pertama kalinya.

Kematian Geroge Floyd "melahirkan lebih banyak emosi, dan seruan sangat mendesak bagi perubahan saat ini".

 

Aksi protes terjadi selama pandemi, dan angka pengangguran tinggi

 

"Sejarah berubah ketika Anda memiliki konvergensi kekuatan yang tidak terduga," ujar Roberts.

 

 

Kematian Floyd datang di tengah pandemi virus corona yang menyebabkan rakyat Amerika dipaksa agar tinggal di rumah mereka, dan memicu tingkat pengangguran tertinggi sejak Depresi Parah (Great Depression) pada 1930-an.

"Anda berada pada situasi ketika seluruh negara terkunci (lockdown), dan lebih banyak orang menonton TV di rumah ... lebih banyak orang dipaksa untuk memperhatikan - mereka kesulitan untuk memalingkan muka, untuk tidak terdistraksi."

Pandemi telah mengubah cara kita hidup dan bekerja, dan menyebabkan banyak warga AS yang tinggal di rumah "bertanya pada diri sendiri tentang kenormalan seperti apa yang tidak lagi dapat diterima," tambahnya.

Dan pada tingkat praktis, tingkat pengangguran sebesar 13% di AS yang berarti lebih banyak warga dapat ikut unjuk rasa tanpa disibukkan soal pekerjaan.

 

Reuters
Demonstrasi terkait kematian George Floyd berlangsung di berbagai tempat di Amerika Serikat.

 

 

`Kasus George Floyd akhir kejadian tak menyenangkan`

 

Kematian Floyd terjadi tidak lama setelah kematian Ahmaud Arbery dan Breoanna Taylor.

Arbery, 25 tahun, ditembak pada 23 Februari saat olah raga lari di Georgia, setelah warga setempat menyebut dia mirip tersangka kasus pembobolan bank. Adapun Breoanna Taylor, 26 tahun, adalah seorang pekerja medis ditembak delapan kali ketika polisi memasuki apartemennya di Kentucky.

Kedua nama mereka ditampilkan dalam poster-poster selama aksi protes Black Lives Matters terbaru, dan demonstran mendesak agar nama Taylor disuarakan dan dikenang pula.

 

 

Roberts menggambarkan kematian Floyd sebagai "akhir dari kejadian tidak menyenangkan bagi banyak komunitas", seraya menambahkan bahwa fakta ini terjadi selama musim panas, ketika orang ingin pergi ke luar rumah, sebagai faktor penting lainnya.

Fakta bahwa kejadian ini terjadi pada tahun pemilu juga berarti bahwa para politisi lebih cenderung memperhatikan dan meresponsnya, katanya.

 

Aksi protes tampak lebih beragam secara rasial

 

Meskipun tidak ada data yang meyakinkan tentang latar belakang etnis para pengunjuk rasa, banyak dari peristiwa unjuk rasa itu sepertinya memiliki proporsi pendukung yang tinggi dari bukan warga Afrika-Amerika.

 

BBC
Laura Hopman membawa dua anaknya yang berusia sembilan tahun dalam unjuk rasa hari Sabtu di Washington DC.

 

Sebagai contoh, di Washington DC, puluhan ribu orang turun ke jalan pada Sabtu, yang sekitar setengah dari mereka agaknya bukanlah warga kulit hitam.

Banyak pengunjuk rasa membawa poster dan spanduk yang secara khusus menyoroti keinginan mereka untuk menjadi bagian dari gerakan tersebut.

Apa yang terlihat dari unjuk rasa ini bisa jadi merupakan sebuah perubahan opini.

 

 

 

 

Sebuah jajak pendapat yang dibuat ABC menunjukkan bahwa 74% warga AS merasa pembunuhan Floyd adalah bagian dari masalah yang lebih luas dari tindakan polisi terhadap masyarakat Afrika-Amerika.

Hasil survei ini menunjukkan ada kenaikan tajam dari jajak pendapat serupa pada 2014, setelah kematian Michael Brown dan Eric Garner - di mana 43% warga Amerika Serikat merasa bahwa insiden tersebut mencerminkan masalah yang lebih luas, demikian laporan ABC.

Ketika gerakan Black Lives Matter "selalu bersifat multi-rasial ... warga kulit putih di AS tidak benar-benar memiliki kosa kata untuk berbicara tentang ras", kata Roberts.

"Ini tidak nyaman, dan mereka pikir percakapan apa pun tentang rasisme adalah serangan terhadap keberadaan mereka, atau merasa mereka tidak memiliki lisensi untuk berbicara jika mereka menyinggung seseorang."

Namun, dia mengatakan saat ini dia melihat lebih banyak warga kulit putih yang terlibat dalam unjuk rasa yang bersuara, dan "merasa lebih nyaman ketimbang tidak nyaman".

Selain unjuk rasa berskala besar di kota-kota besar, ada juga protes di kota-kota kecil, termasuk di Anna, yang digambarkan sebagai salah satu "tempat paling rasis" di Illinois dan Vidor, di Texas, yang dulunya terkenal sebagai wilayah terkuat kelompok Ku Klux Klan, kelompok supremasi kulit putih.

 

BBC
Ceri Menendez (kiri) mengaku belum pernah ikut unjuk rasa Black Lives Matter sebelumnya - tapi dia menyebut penting untuk menyuarakan sikap.

 

Fakta bahwa keadaan sekitar di seputar kematian Floyd yang sangat nyata kemungkinan juga membuat masyarakat lebih mudah untuk bersatu.

Dalam sebuah tulisan opini, berjudul "My tiny, white town just held a protest. We`re not alone", wartawan Judy Mueller mengatakan dia "sangat terkesima" saat melihat sekitar 40 orang dalam sebuah aksi mengheningkan cipta di Norwood, Colorado.

Penyelenggara acara itu mengatakan "dukungan bagi polisi dan Black Lives Matter tidaklah eksklusif", sementara dewan kota setempat, Republik Candy Meehan, mengatakan, "Saya tidak berpikir ini masalah politik ... salah itu salah."

Para aktivis kulit hitam menyambut dukungan luas ini.

Eric Wood, seorang warga Washington DC, mengatakan dia bergabung dalam unjuk rasa setelah kematian Trayvon Martin pada 2012, dan kematian Breoanna Taylor awal tahun ini, tetapi gelombang protes terbaru "mungkin yang terbesar dari sebelum-sebelumnya".

"Warga Afrika-Amerika dan kelompok minoritas lainnya memprotes [rasisme] ini selama bertahun-tahun. Suara kami jelas tidak memiliki kekuatan sebanyak ketika kami tidak mendapat dukungan rekan-rekan kulit putih."

Sementara itu, Roberts berpendapat: "Sejarah jelas menunjukkan bahwa masyarakat yang memerlukan perubahan sebelum bendungan ambruk adalah orang-orang yang telah menerima manfaat dari sistem yang ada."

 

Apakah tindakan kepolisian berdampak?

 

Sebagian besar protes di AS berjalan damai - dan dalam beberapa kasus, petugas polisi setempat juga menunjukkan dukungan mereka.

Namun demikian, ada sejumlah konfrontasi dan bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi.

Pekan lalu, pihak berwenang secara paksa mengusir pengunjuk rasa damai dari sebuah lapangan terbuka di luar Gedung Putih.

Tak lama setelah itu, Presiden Donald Trump menyeberang jalan untuk berfoto di depan sebuah gereja.

Puluhan jurnalis yang meliput aksi protes juga dilaporkan menjadi target serangan pasukan keamanan yang menggunakan gas air mata, peluru karet, dan semprotan merica.

Para demonstran kembali turun ke jalan setelah mereka merasa aparat kepolisian menggunakan kekuatan yang berlebihan.

 

"Ini pertama kalinya, saya takut pada polisi"

 

 

BBC
"Ini pertama kalinya dalam hidup saya, saya takut pada polisi," kata Longwell.

 

Ben Longwell dan Justine Summers mengatakan mereka adalah pekerja medis yang ikut bergabung dalam unjuk rasa di Washington DC - di tengah kesulitan untuk melakukan jaga jarak - sebagai respons atas tindakan kepolisian.

"Ini pertama kalinya dalam hidup saya, saya takut pada polisi," kata Longwell.

Sementara itu, Summers mengatakan dia semula tak berencana ikut berdemonstrasi - tetapi "ketika saya mendengar tentang bagaimana polisi melakukan kekerasan... sepertinya saya perlu melakukannya".

Satu jajak pendapat CNN menunjukkan bahwa 84% warga AS merasa bahwa protes damai sebagai tanggapan terhadap aksi kekerasan polisi terhadap warga Afrika-Amerika dibenarkan, sementara 27% mengatakan aksi protes dengan kekerasan juga dibenarkan - meskipun dukungan untuk aksi protes dengan kekerasan terpecah tajam di sepanjang garis politik.

"Kenyataannya adalah kita tidak ingin ada yang terluka. Tetapi kita juga harus menyadari bahwa sebagai strategi politik dan media, kerusuhan seringkali menjadi cara bagi para aktivis untuk memastikan sorotan kamera tetap pada isu tersebut," kata Roberts.

Kemana aksi protes ini akan mengarah?

 

BBC
Dylan Pegram, 10 tahun, mengatakan dia pertama kali ikut unjuk rasa, yang membuatnya "agak stres dan agak senang."

 

Banyak di antara para demonstran telah menyerukan adanya perubahan spesifik - termasuk mewajibkan polisi agar mengenakan kamera pada tubuhnya, mengurangi dana untuk pasukan polisi, atau mendorong lebih banyak orang untuk memilih.

Roberts mengatakan terlalu dini untuk mengatakan apakah protes saat ini akan mengarah pada sebuah perubahan - "ingat gerakan hak-hak sipil [tahun 1950-an dan 1960-an] berlangsung selama lebih dari satu dekade."

Namun, dia juga berharap, dengan mengatakan: "Kami tinggal di negara di mana hanya dibutuhkan satu momen seperti yang dilakukan Rosa Parks untuk mengubah keadaan."

Rosa Parks ditangkap setelah dia menolak memberikan tempat duduknya kepada seorang pria kulit putih pada tahun 1955 - memicu boikot, dan sebuah gerakan massa pada akhirnya melahirkan kelahiran undang-undang hak-hak sipil pada tahun 1964.

Banyak pengunjuk rasa di Washington DC selama akhir pekan juga merasa bahwa mereka berada di puncak momen bersejarah.

"Kami berada pada titik di mana segalanya benar-benar bisa berubah," kata Laura Hopman, seraya menambahkan bahwa dia membawa dua putranya yang berusia sembilan tahun bersamanya, karena "saya ingin mereka menjadi bagian dari ini - untuk menjadikannya titik balik dalam hidup mereka dan banyak kehidupan orang lain. "

Dylan Pegram, 10 tahun, juga ada di sana bersama ayahnya, pada pengalaman pertamanya ikut unjuk rasa.

"Saya merasa agak stres, tetapi pada saat yang sama saya merasa agak senang, karena kita perlu perubahan," katanya.

Click here to see the BBC interactive