Mengenal Antifa, Diklaim Donald Trump Sebagai Teroris
- New York Times
VIVA – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menyatakan, bahwa pemerintahannya akan memasukkan kelompok Antifa (antifasis) sebagai teroris domestik. Hal itu merupakan upaya Trump untuk meminimalisir gelombang aksi protes yang sudah mengguncang kota-kota di seluruh AS.
Namun, kebijakan tersebut langsung mendapatkan perhatian dari para kritikus presiden. Sebab, AS tidak memiliki undang-undang terorisme domestik. Selain itu, Antifa bukan merupakan suatu organisasi yang memiliki pemimpin dan struktur.
Mengutip Firstpost, Antifa lebih merupakan gerakan aktivis yang pengikutnya saling berbagi filosofi dan taktik. Terkadang, pemahaman Antifa sering digunakan untuk menggambarkan aktivis politik militan sayap kiri.
Tidak diketahui secara pasti berapa orang yang menganggap dirinya sebagai anggota. Para pengikutnya mengakui bahwa gerakan Antifa bersifat rahasia, tidak memiliki pemimpin resmi, dan organisasinya terbentuk oleh klan lokal dengan sistem yang otonom.
Baca Juga: Rusuh Protes Kematian George Floyd, Trump Sebut Antifa Sebagai Teroris
Antifa juga menjadi satu-satunya konstelasi gerakan aktivis yang bersatu dalam beberapa tahun terakhir untuk menentang politik sayap kanan. Anggota Antifa berkampanye menentang tindakan yang mereka pandang otoriter, homofobik, rasis, atau xenofobik. Meskipun Antifa tidak berafiliasi dengan gerakan-gerakan lain.
Pendukung Antifa umumnya berusaha untuk menghentikan apa yang mereka lihat sebagai kelompok fasis, rasis dan sayap kanan dalam mempromosikan pandangan mereka, dengan alasan bahwa demonstrasi merupakan ide-ide yang mengarah pada target orang-orang yang terpinggirkan, termasuk ras minoritas, wanita dan anggota komunitas LGBT.
"Argumen militan antifasis secara inheren membela diri karena kekerasan yang didokumentasikan secara historis yang diajukan oleh kaum fasis, terutama kepada orang-orang yang terpinggirkan," kata dosen sejarah di Dartmouth College, Mark Bray.
Banyak penyelenggara Antifa juga berpartisipasi dalam bentuk-bentuk pengorganisasian masyarakat yang lebih damai, tapi mereka lebih percaya bahwa menggunakan kekerasan dapat dibenarkan. Sebab, dengan cara itu pandangan mereka bisa dibiarkan berorganisasi secara bebas oleh kelompok rasis atau fasis.
"Itu pasti akan menghasilkan kekerasan terhadap masyarakat yang terpinggirkan," kata Bray, yang pembelaannya terhadap gerakan Antifa telah menghasut kritik dan menghasilkan dukungan di Dartmouth.
Lebih lanjut, Bray mengatakan, kelompok-kelompok Antifa sering menggunakan taktik yang mirip dengan kelompok-kelompok anarkis, seperti berpakaian serba hitam dan mengenakan topeng.
Kelompok-kelompok itu juga memiliki ideologi yang tumpang tindih, karena keduanya sering mengkritik kapitalisme dan berupaya membongkar struktur otoritas, termasuk rencana pasukan polisi.