Ternyata Working Holiday Visa Australia Tak Semenarik yang Dibayangkan

Pemegang WHV tahun kedua Josephine tertarik untuk menjadi sukarelawan sebagai syarat tahun ketiga.
Sumber :
  • abc

Meski mendapat kesempatan untuk bisa lebih lama tinggal dan bekerja di Australia, tidak semua peserta Work and Holiday Visa (WHV) asal Indonesia mau mengambilnya jika harus menjadi relawan.

Pemegang WHV yang mau relawan bisa daftar tahun kedua. Tidak semua peserta WHV Indonesia tertarik. Peminat relawan kebanyakan dari negara Eropa dan Inggris

Pemerintah Australia menawarkan peserta WHV untuk mendapat tambahan tinggal setahun bahkan dua tahun, jika mereka mau menjadi relawan di daerah yang terkena dampak kebakaran hutan di Australia.

Peserta WHV asal Indonesia adalah salah satu dari lima negara dengan penerimaan WHV tahun kedua terbanyak di Australia.

Salah satu peserta WHV yang menyambut baik kebijakan pemerintah Australia ini adalah Josephine Theresia Devita, asal Semarang, yang saat ini sedang menjalani WHV tahun kedua.

Josephine kini bekerja di sebuah kafe di Tennant Creek, Australia Utara dan ia tak mau melewatkan kesempatan menjadi sukarelawan kedua kalinya.

"Mau banget," kata Josephine, ketika mengetahui ada kesempatan mendapat tahun ketiga jika mau menjadi relawan.

Josephine mengatakan ketika di Indonesia, ia memang pernah menjadi seorang "rescuer strays" atau penyelamat hewan di jalanan.

Melihat kesempatan untuk menjadi relawan di daerah bekas kebakaran hutan Australia, ia merasa tertantang.

"Kenapa tidak? [Walaupun] sebenarnya saya tidak suka berbagi kamar dengan orang lain dan lebih suka sewa akomodasi sendiri."

ABC Indonesia mengetahui jika peserta WHV yang mau menjadi relawan akan mendapat tanggungan makanan dan tempat tinggal, yang berbagi dengan relawan lainnya.

"Peserta WHV Indonesia lebih tertarik kerja" Menurut Nur, beberapa pemegang WHV yang mengejar tahun kedua dan tiga lebih memilih bekerja daripada menjadi sukarelawan.

Supplied: Nurwantini

Lain halnya dengan Josephine, Nurwantini yang akrab disapa Nur punya pendapat berbeda tentang kebijakan baru tersebut.

Ia sempat membagikan informasi soal kesempatan tinggal lebih lama di Australia lewat jalur relawan kepada para peserta WHV asal Indonesia di Australia Barat.

Tapi Nur mengaku ia tidak menerima banyak respon.

"Saya pikir mereka [anak Indonesia] lebih suka cari duit daripada menjadi sukarelawan, apalagi penghasilannya akan sangat berarti kalau dibawa pulang ke Indonesia."

"Anak Indonesia menurut saya lebih mudah mencari kerja untuk memenuhi persyaratan tahun kedua dan ketiga," katanya kepada Natasya Salim dari ABC News.

Menurut Nur, peserta WHV dari Indonesia di lingkungannya lebih fokus untuk memenuhi syarat tahun kedua dengan bekerja.

"Kalau pemegang visa subclass 417 [work and holiday] kadang putus asa mencari pekerjaan sesuai dengan syarat 88 hari mereka," kata Nur yang sedang bekerja di Australia Barat.

"Jadi mungkin lebih tertarik itu [untuk bekerja daripada menjadi sukarelawan]."

Untuk bisa mendapatkan visa tahun kedua, para pemegang visa WHV harus bekerja selama tiga bulan, tepatnya 88 hari di wilayah regional.

Selama itu, mereka harus bekerja di bidang budidaya binatang dan tanaman, perikanan dan mutiara, pertanian dan penebangan pohon, pertambangan atau konstruksi.

Meskipun belum banyak peserta WHV Indonesia yang menunjukkan minat mereka, menurutnya, kesempatan ini sudah diserbu "backpackers" dari negara-negara Eropa, Jerman, Italia dan Inggris.

Untungkan petani dan peserta WHV Sukarelawan 'BlazeAid' yang membangun daerah terdampak kebakaran hutan berjumlah 1.000-3.000 orang per bulan.

Facebook: BlazeAid Chat

Presiden dari organisasi relawan "BlazeAid", Kevin Butler mengatakan jumlah sukarelawan kebakaran hutan dari organisasinya sendiri mencapai 1.000-3.000 orang per hari.

"Sejauh ini, kami memiliki banyak backpacker tersebar dari Kangaroo Island [Australia Selatan] dan perbatasan Queensland," katanya kepada ABC pekan lalu.

"Sekarang, sudah terdapat 40 tempat [perkumpulan relawan]."

Terlihat dalam akun Facebook "BlazeAid", para relawan membantu mendirikan pagar-pagar yang rusak akibat bencana kebakaran hutan.

Para sukarelawan dalam organisasi tersebut disediakan tempat tidur dan makanan empat sampai lima kali sehari.

Selain itu, asuransi kesehatan menjadi tanggungan "BlazeAid", jika relawan mengalami cedera saat bertugas.

Melihat respon yang positif dari kebijakan WHV dan kegiatan sukarelawan tersebut, Kevin merasa sangat senang.

"Ini adalah hal yang paling bagus. Hal ini menguntungkan semua pihak, baik pemegang visa WHV dan para petani."

Selain mengerahkan tenaga untuk memulihkan daerah yang terkena musibah kebakaran hutan, "BlazeAid" juga membantu dari sisi perekonomian lokal.

"Kami membawa para relawan untuk membantu petani dan membeli peralatan secara lokal demi menambah penghasilan daerah [yang terkena dampak kebakaran hutan]."

Kesempatan untuk tolong sesama Josephine pernah menjadi seorang 'rescuer' atau penyelamat binatang sukarela sewaktu di Indonesia.

Supplied: Josephine Theresia Devita

Josephine mengerti bahwa kesempatan untuk menjadi relawan ini belum tentu diminati oleh semua pemegang WHV di Australia.

"Kalau berminat atau tidak, kembali ke orangnya masing-masing dan sah-sah saja, mungkin mereka memang butuh uang untuk bantu keluarga atau ada sesuatu yang mau dicapai."

Namun bagi Josephine yang harus menunggu tiga tahun hingga mendapat izin dari orangtuanya untuk merantau, peluang ini bisa digunakan untuk menolong sesama.

"Saya pribadi memang tidak begitu butuh uang, tadinya ke Australia pun juga untuk latihan mandiri dan meningkatkan Bahasa Inggris," katanya.

"Mungkin beberapa orang juga tak mau bekerja yang tidak dibayar, jadi ya nikmati saja, tapi buat saya ini suatu kebanggaan dan kesenangan sendiri bisa bantu sesama."

Saat ini sebanyak 30.000 orang bekerja di daerah pedalaman Australia demi memenuhi syarat mengajukan WHV tahun kedua.