Kisah Korban Penyelundupan Manusia, Sekarat dalam Kontainer
- bbc
Ketika 39 warga China ditemukan tewas di dalam truk kontainer di Essex, Inggris, ingatan Jawad Amiri langsung kembali ketika dia diselundupkan ke Inggris dan meregang nyawa lantaran nyaris kehabisan napas.
Pria asal Afghanistan berusia 28 tahun itu adalah satu dari 15 orang yang diselamatkan dari dalam kontainer tertutup di jalur tol M1 saat oksigen kian tipis.
Dia menuturkan perjalanan mengerikannya dari kamp migran di Calais, Prancis, dan bagaimana pesan ponsel dari adiknya yang berusia tujuh tahun, membuat mereka luput dari maut.
`Seperti kuburan berjalan`
Setiap malam, jaringan penyelundup manusia akan membuka kontainer dan menempatkan 20 sampai 30 orang di dalamnya. Mereka sudah mengambil uang orang-orang dan tidak peduli apakah mereka tewas atau hidup.
Saya dan adik saya, Ahmad, masuk ke dalam truk kontainer berpendingin bersama 13 orang lainnya. Mereka (penyelundup manusia) menutup pintu dan semua orang takut karena kami tidak bisa membukanya dari dalam.
Di dalam kontainer ada kardus-kardus berisi obat-obatan. Ada ruangan seluas setengah meter antara kardus-kardus dan atap kontainer. Kami harus berbaring di situ selama 15 atau 16 jam. Kami tidak bisa bergerak, duduk, atau berdiri. Rasanya seperti kuburan berjalan.
Kondisinya gelap sama sekali dan awalnya sangat dingin karena kontainer itu berpendingin. Namun, kemudian pendingin udaranya rusak dan situasinya semakin hangat.
Kami membuka selimut dan pakaian. Yang kami punya hanyalah air dan itu sudah habis. Tidak ada tempat untuk buang air.
`Kami menggedor-gedor atap`
Sangat sulit untuk bernapas. Adik saya menangis, dia takut, dan batuk-batuk. Saya terus berkata kepadanya: "Kamu akan baik-baik saja, mereka akan membuka pintu."
Kami terus berkeringat karena semakin panas dan tidak bisa bicara lancar. Kami terus-menerus memanggil sopir dan menggedor atap. Dia berhenti beberapa kali dan kami berharap dia akan membuka pintu, tapi dia tidak mau.
Dia bicara dengan bahasa sangat kasar dan berteriak menyuruh kami diam.
Beberapa orang di dalam kontainer punya ponsel, tapi mereka tidak ingin memanggil polisi karena mereka takut akan dipulangkan.
`Tidak ada oksigen`
Baterai ponsel saya sudah habis, namun Ahmad punya ponsel kecil dan dia mengirim pesan teks kepada ibu dari lembaga amal di kamp yang memberinya ponsel. Dia menyebut kami memerlukan pertolongan, supir truk tidak mau berhenti, dan tidak ada oksigen.
Dia membalas: "Jangan bergerak, relaks, jangan bicara terlalu banyak, dan kami akan memanggil polisi".
Polisi kemudian datang membawa anjing dan menemukan truk kontainer. Pintu kontainer dibuka dan saat itu semuanya senang. Beberapa orang kesal karena mereka takut akan dipulangkan.
Seorang dokter datang memeriksa kami dan mereka mengatakan kami dalam keadaan baik. Mereka lantas mengirim kami ke sebuah hostel.
`Saya sedih atas yang mereka alami`
Sekarang saya sangat gembira. Saya punya hak untuk menetap di Inggris dan kini saya menempuh pendidikan di kampus untuk dilatih menjadi ahli bangunan.
Adik saya kini berusia 10 tahun dan menciptakan realita virtual bermodal pengalaman perjalanannya dan mimpi-mimpinya. Realita virtual itu disebut Parwaz VR.
Saya sedang berada di mobil dan berbincang dengan seorang teman ketika kami mendengar kabar dari radio mengenai kematian sejumlah orang di Essex. Secara fisik, saya berada di dalam mobil. Namun, pikiran saya kembali berada di kontainer.
Kabar itu membuat saya mual dan sedih karena mendatangkan lagi pengalaman-pengalaman buruk. Saya memikirkan orang-orang itu ketika oksigen habis dan saya begitu sedih atas apa yang mereka alami.
Mereka bukan hanya 39 orang yang meninggal dunia. Mereka adalah 39 keluarga yang kehilangan adik atau kakak.
Masyarakat di Inggris pintar, baik, ramah. Saya harap ini menunjukkan bahwa kita seharusnya punya tanggung jawab lebih untuk mengurus orang-orang yang meninggalkan rumah mereka, keluarga mereka, segalanya.
Sebagaimana dipaparkan kepada Jennifer Meierhans.