Pro Kontra Pembongkaran Tugu Peringatan Bentuk Salib di AS
- feelgrafix.com
Sengketa sengit muncul di Bladensburg, Maryland, Amerika Serikat, terkait keberadaan tugu peringatan Perang Dunia I berbentuk salib setinggi 12 meter.
Tiga warga Maryland dan Asosiasi Humanis Amerika --lembaga nirlaba yang mempromosikan humanisme sekuler-- ingin tugu bernama Salib Perdamaian ini dibongkar karena didirikan di lahan publik.
Alasan mereka, salib ini bertentangan dengan prinsip pemisahan antara gereja dan negara yang tercantum dalam amandemen pertama konstitusi Amerika, biasa disebut Establishment Clause.
Klausa ini pada intinya melarang undang-undang yang memposisikan negara sebagai pendukung gereja. Klausa ini juga melarang pemerintah menerapkan peraturan yang mengutamakan satu agama atas agama-agama lain.
Roy Speckhardt, direktur Asosiasi Humanis Amerika, mengatakan tugu salib seperti mengisyaratkan bahwa Bladensburg adalah kota Kristen.
"Tugu ini juga sangat besar, Anda bisa melihatnya dari jarak hampir satu kilometer," kata Speckhardt.
Ia menambahkan bahwa orang tidak langsung tahu bahwa salib ini sejatinya adalah tugu peringatan.
"Di bagian bawah dikelilingi semak-semak. Anda harus mendekat untuk paham bahwa ini adalah tugu peringatan perang," katanya.
Sejumlah tokoh agama bertemu dengan Presiden Trump di Gedung Putih. - Getty Images
Kasus ini sudah dibawa ke Mahkamah Agung dan para hakim akan memutuskan pada Juni apakah tugu berbentuk salib ini perlu dibongkar atau tidak.
Sejumlah kalangan mengatakan kasus tugu salib ini mencerminkan ketegangan nasional yang menghadapkan prinsip kebebasan beragama dan gerakan sekuler progresif dengan agama tradisional.
Dalam beberapa kasus sebelumnya, pemerintah bisa membantu agama dengan beberapa syarat. Yaitu, tujuan utamanya adalah mendukung sekulerisme, bantuan tersebut tidak mempromosikan atau pun menghalangi agama, dan tidak ada keterlibatan yang berlebihan antara gereja dan agama.
Tiga syarat ini biasa disebut Lemon Test, yang mengacu pada satu kasus di Mahkamah Agung yang membuka tren keputusan pemerintah akan dinyatakan melanggar konstitusi jika tujuannya tidak mendukung sekulerisme dan tindakan pemerintah berdampak pada dukungan atas agama.
Dalam beberapa tahun terakhir, makin banyak sengketa kebebasan beragama yang penyelesaiannya ditentukan oleh hakim.
Di Tennessee, organisasi Muslim dilarang mendirikan masjid di kota Protestan, Murfreesboro. Pengadilan federal distrik mengeluarkan keputusan pada 2014 yang isinya mendukung komunitas Muslim untuk mendirikan masjid.
"Ada dua dimensi dari kasus-kasus ini," ujar Luke Goodrich, wakil presiden dan penasihat senior di lembaga bantuan hukum Becket Fund for Religious Liberty.
Beberapa pihak mengatakan `kebebasan beragama di Ameirkan makin rapuh`. - Getty Images
"Secara sosial dan kultural, permusuhan atau kebencian terhadap agama-agama tradisional meningkat. Kebebasan beragama makin rapuh. Tapi dari sisi hukum, sejauh ini pengadilan cenderung memihak kebebasan beragama," katanya.
Ia mencatat dari sengketa yang ia tangani dalam tujuh tahun terakhir, 90% di antaranya bisa dimenangkan.
Kemenangan ini tentu saja tak disambut baik oleh organisasi seperti Asosiasi Humanis Amerika yang khawatir dengan pemerintahan pimpinan Presiden Trump.
Ada penilaian Trump punya agenda tertentu yang membuat derajat sekulerisme di Amerika tidak sekuat dahulu.
"Tadinya, pemisahan antara negara dan gereja berjalan baik. Prinsip ini dihormati. Tapi tiba-tiba saja berubah dengan pemilihan presiden 2016 (yang dimenangkan Trump)," kata Fred Edwords, salah satu penggugat tugu Salib Perdamaian.
"Salah satu alasannya adalah kaum Evangelis memilih Trump, meski mereka tidak senang dengan masalah-masalah pribadi yang menimpanya. Mereka berharap Trump akan mengembalikan nilai-nilai konservatif," kata Edwords.
Namun Rod Dreher, penulis buku laris The Benedict Option: A Strategy for Christians in a Post-Christian Nation , mengatakan banyak kalangan Kristen yang sekarang merasa tertekan dan merasa seperti kelompok minoritas.
"Pertarungannya tak hanya antara gereja dan negara," kata Dreher.
"Karena media tidak paham masalah agama, mereka memposisikan masalah ini sebagai konflik antara kelompok mayoritas yang tercerahkan dan kelompok minoritas yang fanatik," katanya.